Taat Suami Magnet Rezeki
BETAPA sempurna Islam mengatur urusan seorang Muslim mulai dari perkara
besar seperti politik negara dan pemerintahan hingga urusan pribadi dan rumah
tangga. Islam mengatur perihal kepemimpinan termasuk di dalamnya kepemimpinan dalam
kehidupan rumah tangga.
Betapa mulia kedudukan suami di hadapan istrinya sampai-sampai ada hadits
yang berbunyi: “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain
niscaya aku akan menyuruh seorang isteri untuk sujud kepada suaminya,” (H.R.
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Selama perintah suami sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan
dengan agama, maka istri wajib menaatinya. Laki-laki adalah pemimpin (qawwam)
dalam rumah tangga. Maka selayaknya kita menempatkan hal ini sesuai porsinya.
Idealnya suami yang bekerja mencari nafkah dan istri menjalankan fungsi
utamanya sebagai al ‘umm wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga).
Adapun jika istri bekerja di luar rumah hendaknya peran ideal dari suami dan
istri bisa kita jaga tetap pada porsinya dan tidak tumpang tindih.
Sepanjang suami mengizinkan dan ridha, maka istri tetap bisa bekerja,
asalkan tetap menjaga batasan hukum syariat seperti tidak bercampur-baur dengan
laki-laki non-mahram (tidak berikhtilat) dan mengenakan pakaian syar’i yaitu
jilbab (gamis) dan khimar (kerudung) serta tidak berlebihan dalam berdandan
(tidak tabarruj).
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan karena Allah telah melebihkan
sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan dengan
sebab sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh adalah yang taat lagi memelihara diri di
belakang suaminya sebagaimana Allah telah memelihara dirinya,” (Q.S. An Nisa :
34).
Bagaimana hubungan antara ketaatan istri kepada suami dengan masalah
rezeki? Rezeki memang di ‘tangan’ Allah SWT dan hubungan tersebut bisa jadi
tidak linier dan berbentuk sebab akibat yaitu jika istri taat suami maka rezeki
otomatis akan mengalir. Kita tidak mampu memastikan hal itu karena rezeki di
tangan Allah (arrizqu biyadillah).
Namun demikian, kita harus ingat bahwa rezeki tidak selalu berupa materi
(uang). Ketenangan (sakinah) dalam rumah tangga juga merupakan rezeki dari
Allah SWT. Ketaatan seorang istri kepada suaminya akan membuat hati suami
tenang dan damai. Itu rezeki. Suami tidak khawatir akan perilaku istri sehingga
bisa lebih fokus dan optimal dalam menjalankan kewajibannya mencari rezeki yang
halal untuk keluarga.
Dalam hal ini kita bisa rasakan bagaimana rezeki berupa ketenangan itu
lebih mudah didapatkan terlepas dari nominalnya apakah besar atau kecil yang
merupakan rahasia Allah SWT.
Berbeda halnya jika istri tidak taat kepada suami, seenaknya sendiri, tidak
taat kepada syariat Allah seperti selingkuh bahkan berzina dengan laki-laki
lain (na’uzubillahi minzalika). Maka kita bisa memperkirakan apa yang akan
terjadi pada rumah tangganya? Berantakan!
Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap ketenangan suami dalam mencari
nafkah yang halal untuk keluarga. Suami menjadi tidak fokus dan banyak kasus
bermunculan dalam rumah tangga. Broken home! Secara kasat mata rezeki berupa
sakinah (ketenangan) dalam rumah tangga telah menjauh dari keluarga tersebut.
Setelah menyadari akan hal ini maka selayaknya ketaatan istri kepada suami
juga bukan dalam rangka semata-mata supaya mendatangkan rezeki dari Allah SWT.
Namun ketaatan istri kepada suami adalah kewajiban, apapun motivasinya.
Sebaik-baik motivasi tersebut adalah mencari keridaan Allah SWT. Karena jika
Allah sudah ridha maka itu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan dengan
apapun di dunia ini. Masya Allah.
Semoga ketaatan kita sebagai istri kepada suami mendatangkan kebahagiaan
dan ketenangan (sakinah) dalam keluarga dan menjadi magnet rezeki yang halal
dan barakah bagi keluarga kita.
Rasulullah SAW bersabda: “Hai manusia, sesungguhnya salah seorang kalian
tidak akan mati sampai Allah menyempurnakan rezekinya. Karena itu janganlah
kalian menganggap lelet rezeki, dan bertakwalah kepada Allah. Hai manusia,
baguslah dalam meminta, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram,” (HR
al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Majah). []
https://www.islampos.com
0 komentar:
Posting Komentar