Kantor Sekretariat Rumah Sajada

Alamat : Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman D.I. Yogyakarta

Tampak Depan PAPP Rumah Sajada

Komplek Kantor dan Asrama Putri Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman

Pendopo Rumah Sajada

Komplek Asrama Putra Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putri Rumah Sajada

Komplek Asarama Putri Wirokraman Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putra

Alamat : Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Sabtu, 26 Februari 2022

Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib Qabliyah dan Badiyah

Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib Qabliyah dan Badiyah

 

REPUBLIKA.CO.ID, — Sholat sunnah rawatib begitu sangat dianjurkan untuk dilaksanakan seorang Muslim.

Bahkan akan lebih baik lagi bila ditambah dengan sholat sunah lainnya, semisal sholat sunnah awabin yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya, serta sholat witir setelah selesai mengerjakan sholat Isya.

Berikut keutamaan-keutamaan sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat maktubah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib karya Al Mundziri.

Qabliyah fajar

 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَكْعَتَالْفَجْرِخَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَاوَمَا فِيْهَا

 

Rasulullah bersabda, “Sholat dua rakaat fajar itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”

Qabliyah dan badiyah Zuhur 

 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  مَنْ يُحَافِظُ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظًّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَاحَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ.

 

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menjaga sholat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan sholat sunnah empat rakaat setelah Zuhur, Allah SWT mengharamkan baginya neraka.

Qabliyah Ashar

 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الْعَصْرِ حَرَّمَ اللَّهُ بَدَنَهُ عَلَى النَّارِ.

 

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sholat empat rakaat sebelum sholat Ashar maka Allah mengharamkan baginya neraka.”

Badiyah Maghrib

 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً

 

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat enam rakaat setelah maghrib (sholat sunah awabin), kemudian ia tidak berbicara buruk di antara sholat tersebut, maka akan dihitung baginya dengan ibadah selama dua belas tahun.”

Badiyah Isya

 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   : مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَالْاَخِرَةَ فِى جَمَاعَةٍ وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ كَانَ كَعَدْلِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ.

 

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa sholat Isya dengan berjamaah dan kemudian sholat empat rakaat sebelum keluar dari masjid, maka yang demikian itu seperti lailatul qadar.”

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah

https://www.republika.co.id

 

Dahsyatnya Keutamaan Shalat Rawatib

Dahsyatnya Keutamaan Shalat Rawatib

 

shalat sunnah rawatib

Apa itu shalat sunnah rawatib muakkad? Bagaimana keutamaan serta waktu pengerjaannya? Yuk, ketahui penjelasannya dalam artikel ini.

Banyak jenis shalat sunnah yang bisa kamu kerjakan untuk menambah pahala. Salah satunya adalah shalat rawatib.

Untuk yang belum paham, shalat sunnah rawatib adalah ibadah sunnah yang mengiringi shalat lima waktu.

Lantas, kapan saja waktu sholat rawatib? Namun sebelum itu, yuk ketahui dahulu keutamaan dan manfaat ibadah tersebut.

1. Sebaik-baiknya Amalan

Shalat merupakan sebaik-baiknya amalan, hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah bersabda,

 

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ

 

“Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah shalat.” HR. Ibnu Majah no.277

2. Meninggikan Derajat di Surga

Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menanyakan amalan yang dapat memasukannya ke surga, lantas beliau menjawab,

 

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

 

“Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu.” HR. Muslim no 488

3. Menutup Kekurangan Shalat Wajib

Sering kali dalam menunaikan shalat lima waktu seorang muslim memiliki kekurangan di sana-sini.

Maka, untuk menutup kekurangannya tersebut disyariatkan shalat sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan?"

"Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?"

"Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.” HR. Abu Daud no.864

4. Akan Dibangunkan Rumah di Surga

Dari Ummu Habibah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

« مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

 

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Tata Cara dan Waktu Pelaksanan Shalat Rawatib

shalat sunnah rawatib

Bila kamu bingung bagaimana cara shalat rawatib, sebenarnya tidak ada yang membedakannya dengan shalat pada umumnya.

Kendati demikian, ibadah ini memiliki waktu khusus ketika pelaksanaannya dan jumlah keseluruhan dalam sehari, sebanyak 22 rakaat.

Salat rawatib terbagi menjadi dua, yakni dikerjakan sebelum (qabliyah) dan sesudah (ba'diyah) salat fardhu (wajib).

Berikut ini jumlah salat sunnah rawatib muakkad, sebagaimana tertulis dalam hadist riwayat at-Tirmidzi nomor 414:

 

a. 2 rakaat sebelum salat Shubuh.

b. 4 rakaat sebelum salat Zuhur.

c. 2 rakaat sesudah salat Zuhur.

d. 2 rakaat sesudah salat Maghrib.

e. 2 rakaat sesudah salat Isya'.

 

Nah, demikianlah penjelasan mengenai keutamaan shalat rawatib dan tata cara pelaksanannya. Semoga berguna untuk kamu ya!

Oleh: Adhitya Putra

https://artikel.rumah123.com

 

5 Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib yang Dianjurkan Rasulullah

5 Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib yang Dianjurkan Rasulullah

 

Jakarta - Ada banyak ibadah sunnah yang dapat dikerjakan oleh umat Islam, salah satunya sholat sunnah rawatib. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa amalan ini memiliki banyak keutamaan, mulai dari dijauhkan dari api neraka hingga dibangunkan rumah di surga.

Sholat sunnah rawatib adalah sholat sunnah yang mengiringi sholat fardhu, baik sebelum maupun setelahnya. Sholat ini dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tertuang dalam hadits berikut,

 

أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ. [رواه البخارى: الأذان: بين كل أذانين صلاة لمن شاء]

 

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mughaffal ia berkata, Nabi SAW bersabda: "Di antara setiap dua adzan (ada) shalat, di antara setiap dua adzan (ada) shalat, kemudian beliau menekankan pada kali ketiga (dengan tambahan) bagi siapa yang menghendakinya." (HR Bukhari).

Merujuk pada hadits riwayat Muslim dan At Tirmidzi, sholat sunnah rawatib terdiri dari 12 rakaat. Antara lain dua rakaat sebelum sholat subuh, dua rakaat sebelum sholat dzuhur, dua rakaat sesudah sholat dzuhur, dua rakaat sesudah sholat maghrib, dan dua rakaat sesudah sholat isya.

Keutamaan sholat sunnah rawatib

Sholat sunnah rawatib menjadi ibadah sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Berikut lima keutamaan sholat sunnah rawatib:

1. Dijauhkan dari api neraka

Dalam sebuah hadits riwayat At Tirmidzi dan Imam Ahmad, disebutkan bahwa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat dzuhur akan dihindarkan dari api neraka.

 

مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

 

Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan dengan rutin empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka Allah mengharamkan api neraka baginya," (HR. At Tirmidzi dan Ahmad).

2. Derajatnya diangkat Allah

Dikutip dari buku Panduan Sholat Rasulullah oleh Imam Abu Wafa, Nabi Muhammad SAW pernah berpesan kepada salah seorang budak yang dibebaskan beliau yang bernama Tsauban. Dalam pesan tersebut beliau mengatakan bahwa orang yang memperbanyak sujud akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Sebagaimana sabdanya dalam sebuah hadits berikut:

 

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

 

Artinya: "Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu." Lalu Ma'dan berkata, "Aku pun pernah bertemu Abu Darda' dan bertanya hal yang sama. Lalu sahabat Abu Darda' menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku." (HR Muslim).

3. Lebih baik dari dunia dan seisinya

Pahala orang yang mengerjakan sholat sunnah rawatib disebut lebih baik daripada dunia dan seisinya. Keutamaan ini disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan orang yang mendirikan sholat sunnah rawatib subuh atau qobliyah subuh.

 

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

 

Artinya: "Dua raka'at fajar (salat sunah qobliyah subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya." (HR Muslim).

4. Amalan yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah

Keutamaan sholat sunnah rawatib selanjutnya adalah mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Disebutkan dalam sebuah riwayat Bukhari bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan sholat sunnah rawatib dzuhur dan subuh.

 

عن عائشةَ رضِيَ اللَّه عنْهَا ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم كانَ لا يدَعُ أَرْبعاً قَبْلَ الظُّهْرِ ، ورَكْعَتَيْنِ قبْلَ الغَدَاةِ . رواه البخاري .

 

Artinya: "Dari Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam itu tidak meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sebelum Subuh." (HR Bukhari).

5. Dibangunkan Rumah di Surga

Keutamaan sholat sunnah rawatib lainnya adalah akan dibangunkan rumah di surga. Hal ini merujuk pada hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

 

‏ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ ‏

 

Artinya: "Jika seorang hamba Allah SWT sholat demi allah SWT 12 raka'at (sunah) setiap hari, sebelum dan setelah sholat wajib, maka Allah SWT akan membangunkannya sebuah rumah di surga atau rumah akan dibangun untuknya di surga. Aku tidak pernah absen melakukannya, sejak mendengarnya dari Rasulullah SAW." (HR Muslim).

 

https://www.detik.com

https://apps.detik.com/detik

Kristina - detikEdu

 

 

Jumat, 25 Februari 2022

Makna Rezeki dan Cara Mencarinya

Makna Rezeki dan Cara Mencarinya

 

Apa yang dimaksud dengan rezeki? Apa rezeki itu identik dengan harta dan uang? Bagaimana cara kita memanfaatkan rezeki?

Makna Rezeki

Apa itu rezeki?

Rezeki adalah:

 

هُوَ كُلُّ مَا تَنْتَفِعُ بِهِ مِمَّا اَبَاحَهُ اللهُ لَكَ سَوَاءٌ كَانَ مَلْبُوْسٌ اَوْ مَطْعُوْمٌ … حَتَّى الزَّوْجَة رِزْق، الاَوْلاَدُ وَ البَنَاتُ رِزْقٌ وَ الصِّحَةُ وَ السَّمْعُ وَ العَقْلُ …الخ

 

“Segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah halalkan untukmu, entah berupa pakaian, makanan, sampai pada istri. Itu semua termasuk rezeki. Begitu pula anak laki-laki atau anak peremupuan termasuk rezeki. Termasuk pula dalam hal ini adalah kesehatan, pendengaran dan penglihatan.”

Dari pengertian di atas, rezeki ternyata tidak identik dengan harta dan uang. Jadi, janganlah kita sempitkan pada maksud tersebut saja.

Pemanfaatan Rezeki

Rezeki yang kita peroleh wajib dimanfaatkan untuk hal yang baik. Disebut dalam ayat,

 

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

 

“Dan menafkahkan (mengeluarkan) sebagian rezeki yang dinafkahkan untuk mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3)

Jika rezeki berupa harta, maka wajib diperhatikan zakat dari harta tersebut atau mengeluarkannya untuk sedekah yang sunnah. Ada pula rezeki selain harta yang juga diperintahkan untuk dimanfaatkan untuk hal-hal baik, seperti rezeki berupa akal, pendengaran dan penglihatan.

Adapun pemanfaatan rezeki dengan dua acara:

1- Rezeki atau nikmat dimanfaatkan untuk melakukan ketaatan pada Allah.

2- Rezeki tersebut dimanfaatkan untuk memberi manfaat pada kaum muslimin yang lain.

Ibnu Hazm berkata,

 

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ

 

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82)

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا

 

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Carilah Rezeki dengan Cara yang Halal

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

 

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).

Dalam hadits disebutkan bahwa kita diperintah untuk mencari rezeki dengan cara yang baik atau diperintahkan untuk “ajmilu fit tholab”. Apa maksudnya?

Janganlah berputus asa ketika belum mendapatkan rezeki yang halal sehingga menempuh cara dengan maksiat pada Allah. Jangan sampai kita berucap, “Rezeki yang halal, mengapa sulit sekali untuk datang?”

Jangan sampai engkau mencelakakan dirimu untuk sekedar meraih rezeki.

Dalam hadits di atas berarti diperintahkan untuk mencari rezeki yang halal. Janganlah rezeki tadi dicari dengan cara bermaksiat atau dengan menghalalkan segala cara. Kenapa ada yang menempuh cara yang haram dalam mencari rezeki? Di antaranya karena sudah putus asa dari rezeki Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Intinya karena tidak sabar. Seandainya mau bersabar mencari rezeki, tetap Allah beri karena jatah rezeki yang halal sudah ada. Coba renungkan perkataan Ibnu ‘Abbas berikut ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

 

ما من مؤمن ولا فاجر إلا وقد كتب الله تعالى له رزقه من الحلال فان صبر حتى يأتيه آتاه الله تعالى وإن جزع فتناول شيئا من الحرام نقصه الله من رزقه الحلال

 

“Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberi, niscaya Allah akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi kemudahan untuk meraih rezeki yang halal.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 

Artikel Rumaysho.Com

https://rumaysho.com

 

Karakter Dosa Kecil yang Bisa Menjerumuskan Umat Islam

Karakter Dosa Kecil yang Bisa Menjerumuskan Umat Islam

 

Dosa kecil bisa menjerumuskan umat Islam bila terus dilakukan.

REPUBLIKA.CO.ID,

 

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ

 

''Awaslah kalian dari dosa-dosa kecil yang biasa diremehkan, sebab itu semua dapat terkumpul sehingga dapat membinasakan orangnya.'' Lalu beliau membuat perumpamaan, suatu kaum (rombongan) yang turun berkemah di hutan dan ketika tiba waktunya makan, tiap orang keluar mencari lidi serta dahan pohon. Setiap orang mendapatkan satu dahan sehingga terkumpul banyak dan dinyalakan api yang dapat memasak makanan. (HR Ahmad).

Pepatah mengungkapkan, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Begitulah jika dosa-dosa kecil kita kerjakan secara terus menerus. Karena terasa remeh, boleh jadi banyak perkara yang sebenarnya tercela di sisi Allah SWT, tanpa disadari ternyata sudah menambah saldo dosa kita. Kita pun membiarkannya terus menumpuk.

Dalam kehidupan sehari-hari, dosa-dosa kecil tersebut mudah sekali terjadi. Terlambat menepati janji, berkata kotor dan jorok, berlebihan dalam berbicara (dibuat-buat), mengolok-ngolok orang lain, menangguhkan hak orang lain, dan sebagainya, merupakan contoh akhlak yang tercela. Semua itu membawa konsekuensi dosa.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan bahwa dahulu pada masa Rasulullah SAW, orang-orang Yahudi menganggap bahwa mereka hanya sebentar saja kelak mendapat siksa di neraka. Karena itu mereka merasa puas dan untung atas perbuatan dosa atau kejahatannya, sehingga tidak bertobat dari dosa yang meliputi dirinya, dan mereka mati dalam kekafiran.

Jika tidak hati-hati, anggapan orang Yahudi tersebut mungkin juga menjadi bagian keyakinan seorang muslim. Karena mengganggapnya tidak seberapa, kita lantas menjadi biasa dan semakin berani melakukan dosa-dosa kecil. Padahal Anas bin Malik mengatakan:

 

عنْ أَنَس قالَ: إِنَّكُمْ لَتَعْملُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدقُّ في أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، كُنَّا نَعْدُّهَا عَلَى عَهْدِ رسولِ اللَّهِ مِنَ الْمُوِبقاتِ 

 

Rasulullah SAW telah bersabda, ''Sesungguhnya Anda semua melakukan amal yang lebih kecil dari rambut dalam pandangan Anda semua, meski kami memandangnya (di masa Rasulullah SAW) termasuk perkara yang merusak.'' (HR Bukhari)

Agar kita terhindar dari langkah menabung dosa akibat kesalahan-kesalahan kecil, yang disengaja maupun tidak, maka Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar mengerjakan amalan-amalan yang disunnahkan. Banyak hal sunnah tersebut yang dapat menghapuskan dosa seseorang.

Ada juga kiat lain yang bisa dipakai untuk menipiskan tabungan dosa kita. Sebuah hadis dari Abu Hurairah menjelaskan, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

 

  عَنْ أبي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله   صَلاَةُ الرَّجُلِ في جماعةٍ تزيدُ عَلَى صَلاَتِهِ في سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بضْعاً وعِشْرينَ دَرَجَةً، وذلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِد لا يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ، لا يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ، لَمْ يَخطُ خُطوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِها دَرجةٌ

 

''Sholatnya seorang laki-laki dengan berjamaah, melebihi sholatnya di rumah dan di pasar dua puluh lima derajat. Hal ini didapatkannya karena jika ia berwudhu dengan baik, kemudian keluar untuk shalat, ia tidak keluar kecuali hanya untuk keperluan sholat saja. Maka setiap kali ia melangkah pasti akan diangkat satu derajat baginya dan akan dihapus satu kesalahan darinya.'' (HR Bukhari Muslim).

 

Red: Nashih Nashrullah

https://www.republika.co.id

 

Penjagaan Allah Kepada Hamba-Nya

Penjagaan Allah Kepada Hamba-Nya

 

Penjagaan Allah Kepada Hamba-Nya

Allah ‘Azza wa Jalla berjanji kepada setiap orang yang senatiasa menjaga Allah, maka Allah pun akan menjaganya. Hal ini sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

 

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ

 

” Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. “ (H.R Tirmidzi)

Berkenaan dengan penjagaan Allah kepada para hamba, Syaikh ‘Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah memberikan penjelasan sebagai berikut :

Barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah dan memenuhi hak-hak-Nya, maka Allah pasti akan senantiasa menjaganya karena sesungguhnya balasan akan setimpal dengan amalan. Penjagaan Allah bagi para hamba-Nya meliputi dua hal :

Penjagaan Dalam Urusan Dunia

Allah akan menjaga hamba tersebut dalam kebaikan urusan dunianya, seperti menjaga tubuhnya, anak-anaknya, keluarganya, dan kekayaannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

 

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ

 

“ Bagi setiap manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. “ (Ar Ra’d : 11)

Ibnu ‘Abbas radhiyalahu ‘anhuma berkata :

 

هم الملائكة يحفظونه بأمر الله ، فإذا جاء القدر خلَّوا عنه

 

“Mereka adalah para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah. Jika ada takdir yang akan menimpanya maka malaikat ini akan menyingkir darinya.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

 

إن مع كل رجلٍ ملَكين يحفظانه مما لم يُقدَّر فإذا جاء القدر خلَّيا بينه وبينه ، وإن الأجل جُنّة حصينة

 

“ Setiap orang disertai dua malaikat yang menjaganya dari segala sesuatu yang tidak ditakdirkan padanya. Jika datang takdir Allah padanya, maka keduanya meninggalkannya dan apa yang ditakdirkan tersebut. Sesungguhnya ajal merupakan perisai yang melindungi.“

Penjagaan Dalam Perkara Agama

Bentuk kedua dari penjagaan Allah merupakan bentuk penjagaan yang paling mulia, yaitu penjagaan Allah dalam perkara agama dan imannya. Allah menjaga kehidupannya dari berbagai macam racun pemikiran sesat dan dari berbagai syahwat yang haram. Allah akan menjaga agamanya ketika akhir hayatnya sehingga orang tersebut meninggal dalam keadaan beriman. Ini yang dimaksud dalam hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau :

 

للَّهُمَّ احْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ قَائِمًا ، وَاحْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ قَاعِدًا ، وَاحْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ رَاقِدًا ، وَلاَ تُشْمِتْ بِي عَدُوًّا حَاسِدًا

 

“ Ya Allah jagalah aku selalu di atas Islam baik ketika berdiri, duduk, dan berbaring. Jangan jadikan musuh dan orang yang hasad menguasai diriku.” (Diriwayatkan Al Hakim dalam mustadraknya)

 

Alih bahasa : dr. Adika Mianoki, Sp.S

.Artikel: Muslim.or.id

https://muslim.or.id

 

Kamis, 24 Februari 2022

Di Balik Bulan Rajab

Di Balik Bulan Rajab

 

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena beberapa hari lagi kita akan memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya.

Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.A

Rajab Di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

 

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

 

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

 

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arf, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, ”Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ’atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ’atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ’atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

 

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

 

”Tidak ada lagi faro’ dan  ’atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Tidak ada lagi ’atiiroh dalam Islam. ’Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ’atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ’ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ’Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ’ied.

’Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ’ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ’ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ’ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

 

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ’Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ’Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ’Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ’ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ’ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ’ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ’ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

 

***

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

https://rumaysho.com

 

Bahaya Pencampur Adukan Kebenara dan Kebatilan

Bahaya Pencampur Adukan Kebenara dan Kebatilan

 

Profetik UM Metro – Allah SWT Berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 42).

Kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika hatinya mampu menerima segala yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur [24]: 51-52).  Juga dalam ayat yang lain “Dan apa yang diberikan Rasulullah SAW  kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr: 7).

Demikianlah seharusnya orang mukmin ketika al Qur’an di hadapanya maka dia memperlakukan dirinya seperti gelas kosong yang siap diisi oleh Allah SWT, apapun isinya, karena seorang mukmin sangat yakin Allah SWT akan mengisi gelas (hati) yang kosong tersebut dengan curahan air kebaikan, walaupun serasa pahit. Bisa saja Allah swt mengisi dengan air susu yang nikmat, madu bahkan kopi manis, yang semua mukmin akan merasakan kenikmatan langsung. Akan tetapi bisa jadi Allah SWT mengisi gelas mukmin dengan jamu yang sangat pahit, yang mana tidak semua mukmin mampu meminumnya, akan tetapi Allah SWT menjadikan jamu untuk mengobati penyakit yang ada pada diri mukmin tersebut, sehingga esok harinya dirinya akan sehat dan bugar.

Akan tetapi betapa banyak hari ini orang yang ragu akan hal ini, mereka hanya siap ketika menerima kenikmatan tetapi ragu bahkan tidak terima dengan pahitnya kehidupan. Banyak syariat Allah SWT yang logik mudah diterima manusia, dan mudah dilaksanakan, akan tetapi betapa banyak syariat Allah SWT sebagai ujian yang diragukan bahkan ditolak oleh manusia.

Penolakan akan syariat dengan berbagai dalih, salah satunya adalah dalih keilmiahan. Dalih keilmiahan sering menjadi justifikasi atau pembenaran akan konsep seseorang, yang kadang mengkaburkan ajaran syariat itu sendiri, dia melakukan proses talbis (pencampur adukan) antara teori manusia yang memperkosa konsep kebenaran mutlak al-Qur’an dan sunnah. Dan pola ini sangatlah berbahaya.

Surat al baqarah ayat 42 ada dua karakter manusia yang menolak ajaran kebenaran, tetapi tidak dengan terang-terangan, mereka menggunakan dua pola yang seakan dianggap baik dan ilmiah: yang pertama, pola talbis ( cammpur aduk kebenaran dan kebatilan)  dan yang kedua, Menyembunyikan kebenaran yang diketahui (kitman al haq).

Yang pertama, Campur aduk Kebenaran dan Kebatilan (talbis al haq wa al bathil)

Allah swt berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Ayat ini adalah larangan untuk mencampur adukan kebenaran dan kebatilan. Kata larangan (al-nahyu) dalam kaidah ushul fiqih adalah keharaman, karena asal dari larangan adalah haram. Ayat ini jelas menunjukan keharaman melakukan pencampur adukan kebenaran dengan kebatilan, karena akan menyebabkan ketidak jelasan kebenaran itu sendiri. Ini adalah pola tasybih (membuat syubhat) sebuah konsep kebenaran, tasywih (membuat samar kebenaran) dan talfiq al batil (pencampuran yang batil).

Saat ini diakui trend pengkajian pola integrasi keilmuan, yang memadukan agama dengan keilmuan umum, agar umat Islam mampu berfikir secara universal. Hal ini adalah sebuah keharusan, karena semua ilmu diyakinin datang dari Allah SWT, tetapi pola integrasi adalah untuk menguatkan keilmuan itu sendiri, membangun keyakinan dan menjalankan perintah Allah SWT dan mengetahui hikmah dari sebuah pelarangan.

Berbeda dengan pola talbis ini, karena ini mencoba memperkosa kebenaran dengan segala nilai yang bertentangan dengan kebenaran.

Imam Jalaluddin dalam Kitab Tafsirul Jalalain mengatakan, kata “al-haqq” atau kebenaran pada Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah kitab suci yang diturunkan kepada Ahli Kitab. Sedangkan kebatilan pada Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah keterangan dusta yang mereka ada-adakan. Sementara kebenaran yang mereka sembunyikan adalah sifat Nabi Muhammad SAW.

Imam Al-Baidhawi dalam Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, kata “talbisū” atau mencampur adalah tindakan membuat sesuatu menjadi mirip dengan yang lain. Dengan demikian, makna Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah, “Jangan kalian mencampur kebenaran yang diturunkan kepada kalian dengan kebatilan yang kalian rekayasa dan menyembunyikan kebenaran tersebut sehingga keduanya tidak dapat dibedakan.”

Pencampur adukan ini sering terjadi dalam konteks kehidupan, berdalih toleransi maka harus melunturkan prinsip keyakinan, misal harus bersama merayakan hari raya. Bahkan muncul banyak pemahaman yang terkait kesatuan agama (wihdatul adyan) sehingga tidak nampak prinsip dan cabang dalam sebuah agama. Akhirnya efek dari pencampur adukan ini menyebabkan kerusakan faham beragama, terutama agama Islam.

Pencampur adukan biasa dilakukan oleh para ilmuwan yang berpaham pluralisme. Hakikatnya penulis tidak menolak pluralitas (perbedaan agama) akan tetapi memahami semua agama adalah sama, mengakibatkan sebuah masalah besar, karena umat tidak akan mampu memahami mana agama yang dianggap benar. Paham pluaralisme sangat berbeda dengan paham pengakuan akan pluralitas beragama, karena Islam sendiri menerima pluralitas agama, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (al maidah 48)

Namun, Islam menolak pluralisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.

Pluralisme didefinisikannya sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan, karena itu, tiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan agama lainnya salah. Adapun liberalisme agama dimaknai MUI sebagai paham yang hanya menerima doktrin agama yang sesuai kebebasan akal pikiran saja. Kemudian, sekularisme agama sebagai paham yang ingin agar agama hanya mengatur soal hablu minaallah, sedangkan habluminannas mesti diatur via konvensi sosial. Dalam masalah akidah dan ibadah, demikian fatwa MUI, umat Islam wajib bersikap eksklusif. Namun, di saat yang sama, sifat eksklusif demikian tidak menghalangi orang Islam untuk berinteraksi secara wajar dengan umat agama lain.

Hakikatnya secara eksplisit pencampur adukan ini tidak nampak, akan tetapi bagi mereka yang memiliki dasar dan prinsip beragama yang kuat akan memahami hal ini. Banyak kajian-kajian ilmiah yang secara dzohir sangat bagus, sistematis dan logis, akan tetapi menggiring umat untuk tidak memiliki prinspi beragama sama sekali, akhirnya sisipan-sisipan kebatilan berkedok keilmiahan dan riset yang secara metodologis benar itu, diakui oleh umat dan dunia.

Yang kedua, menyembunyikan kebenaran dan ilmu (kitman al haq)

Larang Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 42 adalah menyembunyikan kebenaran. Hakikatnya hal ini terjadi pada orang-orang yahudi yang menyembunyikan kebenaran kerasulan nabi Muhammad saw oleh para rahib mereka, bahkan mereka merubah ayat atau menghapusnya. Sehingga umat benar-benar tersesat dengan keinginan dan nafsu para Rahib mereka.

Hakikatnya penyakit ini juga banyak terjadi pada kalangan ilmuwan muslim, yang mereka menyembunyikan ayat Allah SWT yang tidak sesuai dengan nalar berfikir mereka, karena mereka lebih mengedepankan logika mereka. Bahkan kadang mereka asyik dengan mengambil sebagian yang mereka sukai, dan meninggalkan ayat yang mereka sendiri ragu dan berat melakukan. Sebagaimana Allah SWT berfirman: Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir pada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami ingkar terhadap (sebagian yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan,” (QS. An-Nisa: 150-151).

Begitu indah ayat al-Qur’an, dengan ungkapan dalih mencari jalan tengah akan tetapi harus menyembunyikan kebenaran. Banyak sekali ayat al Qur’an disembunyikan baik sengaja maupun tidak sengaja, misal ayat tentang jihad harus ditafsiri dengan tafsir yang menghilangkan makna hakikinya, bahkan sangat jarang sekali mendapatkan porsi pembahasan. Ayat dalam keluarga misal poligami, selalu diragukan dengan dalih keadilan, akhirnya mayoritas umat ragu dan dianggap tidak baik. Ayat tentang warisan, yang seakan tidak adil mendapatkan sorotan tajam dalam konteks keadilan dan kesetaraan. Dan masih banyak lagi ayat yang tidak mendapatkan perhatian, dengan berbagai macam cara untuk mendistorsi ayat tersebut.

Seharusnya orang beriman menjadikan hati untuk mengimani, kemudian iman melakukan dorongan (drive) kepada akal untuk mengungkap makna (hikmah) dan melakukan relation of understanding sehingga menghadirkan pemahaman yang baik. Tentu ini adalah kerja akademis yang tidak mudah, sehingga membutuhkan kemampuan ilmu dan iman yang totalitas.

Insan profetis hendaknya meninggalkan dua larangan ini, karena ini sangat bahaya bagi umat, terkecuali karena ketidak tahuanya. Akan tetapi ketika ada kesengajaan mencampur adukan karena sebuah proyek akademik, atau menyembunyikan dengan berbagai dalih, karena ketidak cocokan atau keraguan, maka sungguh Allah SWT akan tusuk mereka dengan api neraka sebagaimana hadits nabi: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan dikekang dengan tali kekang dari neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 261; Syaikh al-Albani menyatakan tentang hadits ini ‘Hasan Shahîh).

 

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an!

Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)

https://ummetro.ac.id