Kantor Sekretariat Rumah Sajada

Alamat : Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman D.I. Yogyakarta

Tampak Depan PAPP Rumah Sajada

Komplek Kantor dan Asrama Putri Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman

Pendopo Rumah Sajada

Komplek Asrama Putra Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putri Rumah Sajada

Komplek Asarama Putri Wirokraman Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putra

Alamat : Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Rabu, 28 Februari 2018

Sering Diucapkan Ternyata Kalimat Ini Sangat Dibenci Allah


Sering Diucapkan Ternyata Kalimat Ini Sangat Dibenci Allah

Pernahkah anda menjawab nasihat orang lain dengan kalimat “urus saja dirimu sendiri?” Kalimat ini menjadi sangat jitu membuat lawan bicara terdiam dan tidak melanjutkan percakapan.

Biasanya hal-hal yang dibicarakan terkait jawaban tersebut adalah nasihat yang berkaitan dengan perilaku, ibadah, keimanan atau urusan pribadi lainnya. Sehingga seseorang merasa jika orang lain sudah mencampuri urusannya.

Tahu kah anda jika ternyata kalimat ini menjadi salah satu kalimat yang dibenci Sang Pencipta?  Sikap ini termasuk bentuk kesombongan dan menyakiti perasaan orang yang mengajak dirinya untuk berbuat baik. Bagaimana bisa dan apa dalilnya? Berikut ulasannya.
Sesama manusia sudah selayaknya nasihat menasihati dalam kebaikan. Namun kebanyakan dari kita, tidak terima jika urusan pribadi harus mendapatkan nasihat juga dari orang lain.

Hal inilah yang menjadi salah satu bentuk kesombongan terhadap orang lain. Padahal niat dari orang yang menasihati dalam kebaikan tersebut tentu saja baik yakni agar kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Namun kerap kali jawaban kita terhadap nasihat baik ini justru menyakiti mereka yang sudah menasihati. Ternyata, selain tidak disukai oleh sesama manusia, jawaban menyakitkan tersebut juga sangat dibenci oleh Allah SWT.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Kalimat yang paling Allah benci, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, namun dia menjawab: ’Urus saja dirimu sendiri.”

(HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1/359, an-Nasai dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, 849, dan dishahihkan al-Albani dalam as-Shahihah, no. 2598).

Jawaban ini memperlihatkan kesombongan sesorang karena tidak maun mendengarkan masukan dari orang lain. Sehingga orang lain tidak boleh mengurusi urusan pribadinya termasuk dalam bertaqwa kepada Allah. Padahal sejatinya manusia seharunya bersama dalam kebaikan.

Sikap sombong ini pernah juga dialami oleh Nabi Nuh ’alaihi salam. Beliau pun mengadu kepada Allah terkait kesombongan kaum tersebut.  Hal ini dijelaskan dalam Quran Surat Nuh Ayat 5-7 yang artinya sebagai berikut:

Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri. (QS. Nuh: 5-7)

Dalam kehidupan sehari-hari sangat sering sekali kita menjawab nasihat orang lain dengan kalimat yang dibenci Allah ini. Sehingga pada akhirnya orang lain tidak lagi mau menasihati kita karena takut akan mendapatkan perlakuan serupa. Pada akhirnya, manusia hanya bergumal pada kesalahan dan tidak mau memperbaiki diri.
OLEH WIWIK SETIAWATI SELASA, 10 OKTOBER 2017



Melepas Suami Pergi Mencari Nafkah


Melepas Suami Pergi Mencari Nafkah

“Bun, pergi dulu yah…” teriak ayah di belakang motornya yang sudah siap melaju.

“Iya, ati-ati…”, teriak bunda tak kalah keras sambil terus melanjutkan cucian piringnya yang belum selesai.

Kok mirip dengan kejadian tiap pagi di rumahku yah?

Tapi itu masih lumayan dibanding yang berikut:

“Lho ayah kemana, kok sudah nggak ada?” tanya Bunda ke kakak yang sedang asyik main boneka.

“Kayaknya sudah berangkat deh Bun, waktu Bunda lagi cuci baju di belakang” jawab kakak.
Hmm… jadi penasaran, apa yang dilakukan Rasulullah ketika pergi meninggalkan rumah?
‘Aisyah berkata : “Rasulullah menciumku, kemudian beliau pergi ke mesjid untuk melakukan shalat tanpa memperbarui wudlunya” (HR Abdurrazaq, Ibnu Majjah, Aththabrani, dan Daraqutni)

Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa Rasulullah berdoa:

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Bismillaahi Tawakkaltu ‘Alallaah Laa Haula wa Laa Quwwata Illaa Billaah
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.”

Dilanjutkan dengan doa ini:

اللّهُـمَّ إِنِّـي أَعـوذُ بِكَ أَنْ أَضِـلَّ أَوْ أُضَـل ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَل ، أَوْ أَظْلِـمَ أَوْ أَُظْلَـم ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُـجْهَلَ عَلَـيّ

Allaahumma Innii A’udzubika an Adhilla au Udhalla, au Azilla au Uzalla, au Azhlima Au Uzhlama, au Ajhala au Yujhal ‘Alayya

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzhalimi diriku atau dizhalimi orang lain, dari berbuat bodoh atau dijahilkan orang lain.”

Subhanallah….
Ternyata begitulah cara suami meninggalkan istrinya di rumah. Sungguh indah, penuh kesan.

Mencium dan mendoakan. Mudah dan sederhana, tapi dalam maknanya.
Kita tidak pernah tahu kapan ajal menjemput. Sebagaimana kita tahu, melepas suami pergi bekerja itu adalah sama dengan melepas suami pergi berjihad.

Apakah kenangan saling berteriak itu yang ingin kita kenang dalam melepas kepergian suami? Atau kenangan suami “hilang” begitu saja tanpa pamit? Tentu tidak. Sepanjang sisa hari, sang istri akan teringat ciuman di kening yang romantis… Ah… membayangkan saja sudah tersenyum.

Suami pun pergi tenang dengan membawa kenangan wangi rambut istrinya. Plus bonus senyuman terindah yang diberikan sang istri tercinta yang melepas kepergiannya di depan pintu rumah.

Dalam doa yang dipanjatkan, ada makna penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Menitipkan anggota keluarga yang dicintai hanya kepada Allah. Memohon perlindungan bagi fitnah dunia yang mungkin terjadi.

Jadi bagaimana, berani terima tantangan ini?

Suami: Cium kening dan doakan Istri tercinta…

Istri: Antarlah suami hingga ke pintu depan. Lepas kepergiannya dengan mengamini doanya dan berikan senyuman terindah…

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad..

-S’moga Esok Lebih Baik…-

Oleh Ustadz Riky Abu Musa, Lc


Shirathal Mustaqim, Petunjuk Jalan yang Lurus


Shirathal Mustaqim, Petunjuk Jalan yang Lurus

Dalam surat Al Fatihah yang kita baca setiap shalat, terkandung permohonan doa kepada Allah Ta’ala agar kita senantiasa diberi hidayah di atas shiratal mustaqim, yaitu tatkala kita membaca firman Allah :

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

“(Ya Allah). Tunjukilah kami jalan yang lurus (shiratal mustaqim), yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “ (Al Fatihah:6-7).

Sungguh saudaraku, nikmat berada di atas shiratal mustaqim adalah nikmat yang agung bagi seorang hamba.

Nikmat Hidayah Shiratal Mustaqim

Nikmat hidayah shiratal mustaqim (jalan yang lurus) adalah nikmat yang besar bagi seseorang. Tidak semua orang Allah beri nikmat yang mulia ini. Nikmat ini hanya Allah berikan kepada orang-orang yang Allah kehendaki. Yang dimaksud hidayah dalam ayat ini mencakup dua makna, yaitu hidayah untuk mendapat petunjuk shiratal mustaqim dan hidayah untuk tetap istiqomah dalam meniti di atas shiratal mustaqim.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Si’di rahimahullah menjelaskan : “Hidayah mendapat petunjuk shiratal mustaqim adalah hidayah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama selain Islam. Adapun hidayah dalam meniti shiratal mustaqim mencakup seluruh pengilmuan dan pelaksanaan ajaran agama Islam secara terperinci. Doa untuk mendapat hidayah ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk memanjatkan doa ini dalam setiap rakaat shalat karena betapa pentingnya doa ini” (Taisiirul Kariimir Rahman)

Makna Shiratal Mustaqim

Para ulama ahli tafsir baik dari kalangan sahabat maupun yang hidup sesudahnya telah banyak memberikan penjelasan tentang makna shiratal mustaqim.

Imam Abu Ja’far bin Juraih rahimahullah berkata, “ Para ahli tafsir telah sepakat seluruhnya bahwa shiratal mustaqim adalah jalan yang  jelas yang tidak ada penyimpangan di dalamnya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan bahwa ada empat perkataan ulama tentang makna shiratal mustaqim:

Pertama. Maksudnya adalah kitabullah. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Ali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua. Maknanya adalah agama Islam. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan, dan Abul ‘Aliyah rahimahumullah.

Ketiga. Maksudnya adalah jalan petunjuk menuju agama Allah. Ini merupakan pendapat Abu Shalih dari sahabat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Mujahid rahimahumullah.

Keempat. Maksudnya adalah jalan (menuju) surga. Pendapat ini juga dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. ( Lihat Zaadul Masiir).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mejelaskan : “Shiratal mustaqim adalah jalan yang jelas dan gamblang  yang bisa mengantarkan menuju Allah dan surga-Nya, yaitu dengan mengenal kebenaran serta mengamalkannya” (Taisirul Kariimir Rahman).
Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, “ Yang dimaksud dengan shirat (jalan) di sini adalah Islam, Al Qur’an, dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiganya dinamakan dengan “jalan” karena mengantarkan kepada Allah Ta’ala. Sedangkan al mustaqim maknanya jalan yang tidak bengkok, lurus dan jelas yang tidak akan tersesat orang yang melaluinya” (Duruus min Al Qur’an 54)

Perbedaan penjelasan para ulama tentang makna shiratal mustaqim tidaklah saling bertentangan satu sama lain, bahkan saling melengkapi. Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa shiratal mustaqim adalah agama Islam yang sangat jelas dan gamblang, yang harus diilmui dan diamalkan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga bisa menjadikan pelakunya masuk ke dalam surga Allah Ta’ala. Jalan inilah yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Shiratal Mustaqim Hanya Satu

Shiratal mustaqim yang merupakan jalan kebenaran jumlahnya hanya satu dan tidak berbilang, Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa“ (Al An’am:153).

Hal ini dipertegas oleh penafsiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sllam tentang ayat di atas.  Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

خطَّ لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله. ثم خط عن يمين ذلك الخطّ وعن شماله خطوطًا فقال: هذه سُبُل، على كل سبيل منها شيطانٌ يدعو إليها. ثم قرأ هذه الآية:(وأن هذا صراطي مستقيمًا فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله)

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda, “ Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat garis-garis yang banyak di samping kiri dan kanan garis yang lurus tersebut. Setelah itu beliau bersabda , “Ini adalah jalan-jalan (menyimpang). Di setiap jalan tersebut ada syetan yang menyeru kepada jalan (yang menyimpang) tersebut.“ (H.R Ahmad 4142).(Lihat Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiil Al Qur’an)

Mereka yang Telah Meniti Shiratal Mustaqim

Shiratal Mustaqim adalah jalannya orang-orang yang telah Allah beri nikmat. Allah Ta’ala berfirman :

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

“(Shiratal mustaqim) yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka“ (Al Fatihah:6).

Lalu siapakah orang-orang yang telah Allah beri nikmat yang dimaksud dalam ayat di atas? Hal ini dijelaskan oleh firman Allah dalam ayat yang lain:

وَمَن يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الذين أَنْعَمَ الله عَلَيْهِم مّنَ النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقاً

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiiqiin , orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An Nisaa’:69).

Sehingga shiratal mustaqim telah di tempuh oleh para Nabi, para shiddiiqin, syuhada, dan shalihin.

Golongan yang Menyimpang dari Shiratal Mustaqim

Selain menunjukkan golongan yang telah berada di atas shiratal mustaqim, Allah juga menjelaskan tentang golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus ini. Dalam lanjutan ayat di surat Al Fatihah Allah berfirman :

غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

“(shiratal mustaqim) bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “ (Al Fatihah:6-7).

Dalam ayat ini dijelaskan tentang dua golongan yang telah menyimpnag dari shiratal mustaqim :

Pertama. Golongan (المَغضُوبِ), yaitu orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang mngenal kebenaran namun mereka tidak mau mengamalkannya. Sifat ini seperti orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang Yahudi dalam firman-Nya :

فَبَآؤُواْ بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ

“mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan “ (Al Baqarah :90)

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُم بِشَرٍّ مِّن ذَلِكَ مَثُوبَةً عِندَ اللّهِ مَن لَّعَنَهُ اللّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ

“Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah “ (Al Maidah:60)

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka “ (Al A’raaf:152)

Kedua. Golongan (الضَّالِّينَ), yaitu orang-orang yang sesat. Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kejahilan dan kesesatan. Sifat ini seperti orang-orang Nasrani dan yang mengikuti mereka. Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang Nasrani dalam firman-Nya :

وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus “ (Al Maidah:77)

(Lihat Taisirul Kariimir Rahman, Adhwaul Bayan)

Hal ini dipertegas dengan sabda Nabi yang diriwayatkan dari sahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إن المغضوب عليهم هم اليهود ، وإن الضالين النصارى

“ Sesungguhnya (المغضوب) adalah Yahudi dan (الضالين) adalah Nasrani” (H.R Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya. Dihasankan oleh Imam Tirmidzi) (Lihat Fathul Qadir)

Sebab Menyimpang dari Shiratal Mustaqim

Setelah mengetahui kelompok yang menyimpang, kita bisa mengetahui sebab kesesatan mereka. Ada dua hal pokok yang menyebabkan sesorang bisa menyimpang dari shiratal mustaqim.

Pertama. Meninggalkan ilmu. Inilah sikap kelompok (الضَّالِّينَ), yaitu orang-orang yang sesat. Sebab kesesatan mereka adalah kejahilan karena meninggalkan ilmu.

Kedua. Meninggalkan amal. Inilah sikap kelompok (المَغضُوبِ), yaitu orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang mengenal kebenaran namun mereka tidak mau mengamalkannya. Mereka dimurkai karena membangkang dengan tidak mau beramal dengan ilmu yang dimiliki.

Oleh karena itu agar seseorang bisa tetap istiqomah di atas shiratal mustaqim, dia harus senantiasa di atas jalan ilmu dan amal. Mempelajari ilmu agar dia terhindar dari kelompok yang tersesat, serta beramal dengan ilmu yang dimiliki agar dia terhindar dari kolompok yang dimurkai Allah. Yang lebih penting juga senantiasa berdoa kepada Allah, Zat yang senatiasa memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Rintangan dalam Meniti Shiratal Mustaqim

Meniti shiratal mustaqim tidak lepas dari berbagai rintangan dan hambatan. Orang yang meniti jalan ini diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disukai, diliputi dengan kesusahan dan hal-hal yang memberatkan. Oleh karena itu perlu kesabaan ekstra dalam meniti jalan ini. Allah Ta’ala berfirman :

 وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar” (Fushilat:35)

Faedah

Shiratal mustaqim terkadang disandarkan kepada Allah dan terkadang disandarkan kepada orang yang menitinya. Disandarkan kepada Allah, misalnya dalam firman –Nya,

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus “ (Al An’am :153)

Demikian juga firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. “ (Asy Syuura:52-53)

Disandarkan kepada Allah karena Dia-lah yang membuat syariat jalan tersebut, menunjukkan kepada jalan tersebut, dan yang menjelaskan kepada manusia tentang jalan tersebut. Penyandaran kepada Allah adalah penyandaran dalam bentuk pemuliaan serta menunjukkan bahwa jalan tersebut mengantarkan kepada Allah Ta’ala.

Namun terkadang shiratal mustaqim disandarkan kepada kepada orang-orang yang meniti jalan tersebut. Misalnya dalam firman-Nya,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

“orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka “ (Al Fatihah:6).
Dalam ayat di atas shiratal mustaqim disandarkan kepada orang-orang yang telah Allah beri nikmat kepada mereka, karena merekalah yang berada dia tas jalan tersebut. Berbeda dengan orang-orang yang sesat yang berjalan di atas jalan kesesatan. (Lihat Duruus min Al Qur’an 55-56).

Demikian pembahasan tentang ringkas tentang makna shiratal mustaqim. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik kepada kita untuk senantiasa istiqomah di atas jalan shiratal mustaqim. Wallahul musta’an.

 Penulis : dr. Adika Mianoki
Artikel Muslim.Or.Id

 Sumber :
Tafsir Al Qur’an Al Azim, Al Imam Ibnu Katsir
Duruus min Al Qur’an Al Kariim, Syaikh Shalih Al Fauzan
Zaadul Masiir fii ‘Ilmi Tafsiir, Imam Ibnul Jauzi
Adhwaul Bayaan fii Idhaahi Al Qur;an bil Qur’an, Al Imam Muhammad Al Amiin An Syinqiithi
Taisiir Kariimir Rahman fii Tafsiir Kalaam Al Manaan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Fathul Qadir Al Jaami’ baina fir Riwayah wad Dirayah min ‘Ilmi Tafsir, Imam Asy Syaukani
Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiili Al Qur’an, Imam Abu Ja’far At Thabari


Selasa, 27 Februari 2018

Tujuh Amal Jariyah Yang Pahalanya Mengalir Sampai Hari Kiamat


Tujuh Amal Jariyah Yang Pahalanya Mengalir Sampai Hari Kiamat

Segala pujian hanya kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Sholawat serta salam teriring kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa  istiqamah menjalani sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW hingga ke hari kiamat.

Sahabat yang dirahmati Allah,

Amal Jariyah adalah sebuah amalan yang pahalanya akan terus menerus mengalir hingga hari kiamat, walau pun orang yang melakukan amalan tersebut sudah meninggal dunia.

Hadis tentang amal jariyah yang popular dari Abu Hurairah menerangkan bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya" (Hadis Riwayat Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariyah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda maksudnya, "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya meninggal dunia ialah ilmu yang disebarluaskannya, anak soleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibina, rumah yang dibina untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang ramai, dan harta yang disedekahkannya "(Hadis Riwaya Ibnu Majah).

Berikut Penjelasannya :

Di dalam hadits diatas disebutkan tujuh macam amal yang tergolong amal jariah, ke tujuh amalan tersebut adalah :

1. Ilmu yang di sebarluaskan :

Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal (seperti sekolah, universitas , lembaga kursusj dan institusi) dan pendidikan tidak formal seperti perbincangan ilmiah, tazkirah di masjid-masjid, ceramah umum, kursus motivasi, program dakwah dan tarbiah dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini adalah menulis buku-buku yang berguna , menulis kitab-kitab agama dan menyebarkan bahan-bahan pendidikan Islam melalui artikel-artikel tazkira facebook atau blog.

2. Anak soleh yang ditinggalkan :

Didiklah anak mu menjadi anak yang soleh, karena Anak yang soleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia dan selalu mendo'akan orangtuanya. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang diperbuat oleh anak soleh pahalanya sampai kepada orang tua yang mendidiknya yang telah meninggal dunia tanpa mengurangkan nilai atau pahala yang diterima oleh anak-anak tadi. Doa anak yang soleh kepada orang tuanya mustajab di sisi Allah SWT.

3. Mushaf (kitab-kitab agama) yang diwariskannya :

Mewariskan kitab suci al-Quran, kitab tafsir al-Quran, mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya. Untuk sekolah-sekolah agama dan maahad tahfiz dan untuk perpustakaan awam. Selagi kitab-kitab tersebut digunakan sebagai bahan bacaan dan rujukan maka orang yang mewakafkan akan mendapat pahala yang terus-menerus mengalir.

4. Masjid yang dibina :

Membangun masjid. Perkara ini selaras dengan sabda Nabi SAW yang bermaksud, "Barangsiapa yang membangunkan sebuah masjid kerana Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga" (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Orang yang membina masjid tersebut akan menerima pahala seperti pahala orang yang mengerjakan amal ibadah di masjid tersebut. Termasuk juga mewakafkan tanah untuk pembinaan masjid.

5. Rumah yang dibina untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan :

Membangun rumah musafir atau pondok bagi orang-orang yang bermusafir untuk kebaikan adalah suatu amalan sangat di anjurkan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk beristirahat sebentar maupun untuk bermalam dan keperluan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang menyediakannya. Termasuk juga kita membina pondok peristirahatan ditepi-tepi jalan yang tidak di kelola oleh pemerintah.

6. Sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang ramai,

Mengalirkan air secara baik dan bersih ke tempat-tempat orang yang memerlukannya atau menggali sumur di tempat yang sering dilalui atau didiami orang ramai. Setelah orang yang mengalirkan air itu meninggal dunia dan air itu tetap mengalir serta terjaga dari pencemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia mendapat pahala yang terus mengalir.
Semakin ramai orang yang memanfaatkannya semakin banyak ia menerima pahala di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang membuat sebuah telaga / danau lalu airnya diminum oleh jin atau burung yang kehausan, maka Allah akan memberinya pahala kelak di hari kiamat." (Hadis Riwaya Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

7. Harta yang disedekahkannya :

Menyedekahkan sebahagian harta. Sedekah yang diberikan secara ikhlas akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Selain daripada harta yang diberikan sebagai sedekah, termasuk juga mewakafkan tanah untuk pembangunan pendidikan Islam, rumah anak yatim, maahad tahfiz, tanah perkuburan dan rumah oarng-orang jompo. Selagi tanah tersebut digunakan untuk kebaikan maka pahalanya akan terus-menerus mengalir kepada pemberi tanah wakaf tersebut.

Nabi SAW bersabda "Sesungguhnya sedekah itu benar-benar dapat memadamkan panasnya siksa kubur bagi pelakunya, sesungguhnya orang mukmin kelak di hari kiamat hanyalah bernaung dibawah naungan sedekahnya. (Hadis Riwayat Al-Tabrani)

Sedekah dapat di jadikan sebagai pemberi syafaat bagi pelakunya . Di dalam kubur ia mendapatkan kesejukan berkat sedekahnya dan terhindar dari panasnya kubur. Demikian pula di hari kiamat, ia akan mendapatkan naungan dari amal sedekahnya, padahal ketika itu kebanyakan manusia berada di dalam kepanasan yang tiada taranya. Dalam hadis lain di sebutkan bahawa sedekah itu dapat menolak kemurkaan Allah.

Sahabat yang dimuliakan,

Sifat yang perlu dihindari atau di cegah adalah sifat bakhil, kecintaan yang berlebihan terhadap nikmat dunia dan kurang peka terhadap keperluan orang lain. Sikap mementingkan diri sendiri sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam.

Lihatlah bagaimana mereka yang orang-orang mukmin yang kaya raya seperti Usman bin Affan, Abdul Rahman bin Auf. Mereka tidak bahil dengan harta yang mereka miliki, sebaliknya merekalah yang muncul sebagai penyumbang utama kepada usaha meningkatkan syiar agama termasuk dalam aspek menyalurkan aneka bantuan kepada masyarakat.

Sejarah dengan jelas mencatatnya dalam tinta emas kedudukan mereka itu yang begitu berkepribadian luhur dalam usaha membantu golongan miskin. Inilah sebenarnya yang Islam kehendaki, yaitu yang kaya membantu mereka yang miskin. Barulah bermakna dan bermanfaat segala harta dunia yang dimiliki.

Firman Allah SWT berikut ini wajar kita ingat selalu : "Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu (keperluan dan bekalanmu) dari dunia dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian rahmat-Nya yang melimpah-limpah) dan janganlah engkau melakukan kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berbuat kerusakan." (Surah al-Qasas ayat 77)

Justru, daripada apa yang dinyatakan Allah SWT itu jelaslah bahwa kita diwajibkan berusaha menggandakan usaha mencari kekayaan dunia tetapi dalam kerangka kehidupan yang seimbang untuk dunia dan akhirat. Dengan demikian kita sebenarnya dianjurkan berusaha dengan keras memperoleh kekayaan dunia agar dapat meningkatkan kualitas ibadah yang berhubungan secara langsung dengan Allah SWT dan sesama manusia. Inilah yang diajarkan kepada kita semua.

Allah SWT berfirman "Orang yang membelanjakan (mendermakan) hartanya pada waktu malam dan siang, dengan cara tersembunyi atau berterang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka dan tiada kebimbangan (daripada berlakunya kejadian yang tidak baik) kepada mereka, dan mereka pula tidak akan bersedih" (Surah al-Baqarah ayat 274).

Berkaitan dengan firman Allah ini, Imam al-Khazin dalam tafsirnya memberitahu kita bahwa: "Dikatakan bahwa ayat ini berlaku umum untuk setiap orang yang membelanjakan harta mereka pada setiap waktu dan merata untuk semua kalangan, baik yang berada dalam kesulitan memenuhi keperluan, dan mereka yang meminta-minta serta hidup dalam kemelaratan."

Sahabat yang dikasihi,

Rasulullah SAW sepanjang hayat baginda sangat memandang tinggi sikap dermawan yang tidak bakhil dengan menyumbangkan hartanya ke jalan kebaikan. Dengan kenyataan yang juga berbentuk satu motivasi buat umatnya, baginda berpesan kepada kita: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta." (Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Teruskan beramal jariah kerana inilah jenis amalan yang terus menerus mengalir umpama air sungai yang mengalir kepada mukmin yang melakukannya samasa ketika mereka masih hidup di dunia ataupun ketika telah meninggal dunia.



Hindari Perbuatan Ini Kalau Ibu dan Ayah Anda Sudah Meninggal Dunia


Hindari Perbuatan Ini Kalau Ibu dan Ayah Anda Sudah Meninggal Dunia

Orang tua adalah surga atau neraka seorang anak. Siapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya atas nama iman kepada Allah Ta’ala, bagi sang anak surga yang dipenuhi nikmat. Sedangkan siapa yang durhaka kepada orang tua, baginya bagian siksa di neraka. Siksa yang berat, pedih, dan perih.

Berbakti kepada kedua orang tua harus dibiasakan sejak dini. Dilatih sejak kecil agar menjadi sebuah kebiasaan positif. Siapa yang berbakti kepada kedua orang tua, maka kelak anak-anaknya akan berbakti kepadanya. Sebaliknya; tidaklah seorang ayah atau ibu didurhakai oleh anaknya kecuali karena ia dahulu berlaku durhaka kepada bapak dan ibunya.

Berbakti kepada kedua orang tua juga tidak terbatas waktu. Baik keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia. Banyak riwayat menyebutkan, berbakti kepada orang tua saat keduanya telah tiada jauh lebih berat di banding tatkala keduanya masih hidup.

Tatkala orang tua sudah meninggal dunia, hendaknya seorang anak senantiasa mendoakan, bergaul dengan kerabat-kerabat dekat orang tua, senantiasa beramal shalih dan lain sebagainya.

Selain itu, ada juga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang anak jika orang tuanya sudah meninggal dunia. Sebab, jika larangan ini dilanggar, selain dosa yang didapat, orang tuanya pun akan mengalami kesedihan mendalam di alam kubur.

Adalah Rawahah bin ‘Abdullah yang menuturkan sebagaimana dikutip oleh Dr ‘Umar ‘Abdul Kafi dalam al-Wa’dul Haq, “Setiap kali melakukan kebaikan, aku melihat ayahku tersenyum di dalam mimpiku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah Ta’ala memuliakanmu dengan kebaikan. Engkau telah memuliakan aku di antara para penghuni kubur.’”

Kemudian ketika Rawahah bin ‘Abdullah absen dari kebaikan dan justru melakukan tindakan yang tidak bernilai pahala, ia kembali melihat ayahnya di dalam mimpi dengan kondisi yang berbeda.

“Tatkala aku terjerumus dalam perbuatan buruk,” tutur Rawahah bin ‘Abdullah, “aku melihat ayahku menggigit jari-jemarinya. Beliau bertutur, ‘Engkau telah membuatku sedih, anakku. Jangan kau ulangi lagi. Karena aku tidak berani bertemu dengan para penghuni kubur lainyya (lantaran rasa malu).’”

Kawan, apakah orang tua kita sudah meninggal dunia? Jika sudah, apa yang menjadi kebiasaan kita sepanjang hari? Jika keburukan yang menjadi langganan, ingatlah bahwa Anda telah membuat mereka bersedih lantaran mengetahui keburukan yang Anda kerjakan.
Wallahu a’lam.

Sumber: alamatalamatkiamat.blogspot.co.id