Shirathal Mustaqim, Petunjuk Jalan yang Lurus
Dalam surat Al Fatihah yang kita baca setiap shalat,
terkandung permohonan doa kepada Allah Ta’ala agar kita senantiasa diberi
hidayah di atas shiratal mustaqim, yaitu tatkala kita membaca firman Allah :
اهدِنَــــا
الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ
عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“(Ya
Allah). Tunjukilah kami jalan yang lurus (shiratal mustaqim), yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “ (Al
Fatihah:6-7).
Sungguh
saudaraku, nikmat berada di atas shiratal mustaqim adalah nikmat yang agung
bagi seorang hamba.
Nikmat
Hidayah Shiratal Mustaqim
Nikmat
hidayah shiratal mustaqim (jalan yang lurus) adalah nikmat yang besar bagi
seseorang. Tidak semua orang Allah beri nikmat yang mulia ini. Nikmat ini hanya
Allah berikan kepada orang-orang yang Allah kehendaki. Yang dimaksud hidayah
dalam ayat ini mencakup dua makna, yaitu hidayah untuk mendapat petunjuk
shiratal mustaqim dan hidayah untuk tetap istiqomah dalam meniti di atas
shiratal mustaqim.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Si’di rahimahullah menjelaskan : “Hidayah mendapat
petunjuk shiratal mustaqim adalah hidayah memeluk agama Islam dan meninggalkan
agama-agama selain Islam. Adapun hidayah dalam meniti shiratal mustaqim
mencakup seluruh pengilmuan dan pelaksanaan ajaran agama Islam secara
terperinci. Doa untuk mendapat hidayah ini termasuk doa yang paling lengkap dan
paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk
memanjatkan doa ini dalam setiap rakaat shalat karena betapa pentingnya doa
ini” (Taisiirul Kariimir Rahman)
Makna
Shiratal Mustaqim
Para ulama
ahli tafsir baik dari kalangan sahabat maupun yang hidup sesudahnya telah
banyak memberikan penjelasan tentang makna shiratal mustaqim.
Imam Abu
Ja’far bin Juraih rahimahullah berkata, “ Para ahli tafsir telah sepakat
seluruhnya bahwa shiratal mustaqim adalah jalan yang jelas yang tidak ada penyimpangan di
dalamnya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim)
Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah menjelaskan bahwa ada empat perkataan ulama tentang makna
shiratal mustaqim:
Pertama.
Maksudnya adalah kitabullah. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan oleh
sahabat ‘Ali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua.
Maknanya adalah agama Islam. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas,
Al Hasan, dan Abul ‘Aliyah rahimahumullah.
Ketiga.
Maksudnya adalah jalan petunjuk menuju agama Allah. Ini merupakan pendapat Abu
Shalih dari sahabat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Mujahid rahimahumullah.
Keempat.
Maksudnya adalah jalan (menuju) surga. Pendapat ini juga dinukil dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. ( Lihat Zaadul Masiir).
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mejelaskan : “Shiratal mustaqim
adalah jalan yang jelas dan gamblang
yang bisa mengantarkan menuju Allah dan surga-Nya, yaitu dengan mengenal
kebenaran serta mengamalkannya” (Taisirul Kariimir Rahman).
Syaikh
Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, “ Yang dimaksud dengan shirat (jalan)
di sini adalah Islam, Al Qur’an, dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiganya dinamakan dengan “jalan” karena mengantarkan kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan al mustaqim maknanya jalan yang tidak bengkok, lurus dan jelas yang
tidak akan tersesat orang yang melaluinya” (Duruus min Al Qur’an 54)
Perbedaan
penjelasan para ulama tentang makna shiratal mustaqim tidaklah saling
bertentangan satu sama lain, bahkan saling melengkapi. Dapat kita simpulkan
dari penjelasan di atas bahwa shiratal mustaqim adalah agama Islam yang sangat
jelas dan gamblang, yang harus diilmui dan diamalkan berdasarkan Al Qur’an dan
As Sunnah, sehingga bisa menjadikan pelakunya masuk ke dalam surga Allah
Ta’ala. Jalan inilah yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya.
Shiratal
Mustaqim Hanya Satu
Shiratal
mustaqim yang merupakan jalan kebenaran jumlahnya hanya satu dan tidak
berbilang, Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن
سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa
(yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan
tersebut, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa“ (Al An’am:153).
Hal ini
dipertegas oleh penafsiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sllam tentang ayat di
atas. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullh
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
خطَّ لنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله. ثم خط عن يمين ذلك الخطّ وعن شماله
خطوطًا فقال: هذه سُبُل، على كل سبيل منها شيطانٌ يدعو إليها. ثم قرأ هذه
الآية:(وأن هذا صراطي مستقيمًا فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله)
Suatu
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat satu garis
lurus, kemudian beliau bersabda, “ Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau
membuat garis-garis yang banyak di samping kiri dan kanan garis yang lurus
tersebut. Setelah itu beliau bersabda , “Ini adalah jalan-jalan (menyimpang).
Di setiap jalan tersebut ada syetan yang menyeru kepada jalan (yang menyimpang)
tersebut.“ (H.R Ahmad 4142).(Lihat Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiil Al Qur’an)
Mereka yang
Telah Meniti Shiratal Mustaqim
Shiratal
Mustaqim adalah jalannya orang-orang yang telah Allah beri nikmat. Allah Ta’ala
berfirman :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ
عَلَيهِمْ
“(Shiratal
mustaqim) yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka“ (Al Fatihah:6).
Lalu
siapakah orang-orang yang telah Allah beri nikmat yang dimaksud dalam ayat di
atas? Hal ini dijelaskan oleh firman Allah dalam ayat yang lain:
وَمَن يُطِعِ الله
وَرَسُولَهُ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الذين أَنْعَمَ الله عَلَيْهِم مّنَ النبيين
والصديقين والشهداء والصالحين وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقاً
“Dan
barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para
shiddiiqiin , orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya” (An Nisaa’:69).
Sehingga
shiratal mustaqim telah di tempuh oleh para Nabi, para shiddiiqin, syuhada, dan
shalihin.
Golongan
yang Menyimpang dari Shiratal Mustaqim
Selain
menunjukkan golongan yang telah berada di atas shiratal mustaqim, Allah juga
menjelaskan tentang golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus ini. Dalam
lanjutan ayat di surat Al Fatihah Allah berfirman :
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ
وَلاَ الضَّالِّينَ
“(shiratal
mustaqim) bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan
orang-orang yang sesat “ (Al Fatihah:6-7).
Dalam ayat
ini dijelaskan tentang dua golongan yang telah menyimpnag dari shiratal
mustaqim :
Pertama. Golongan
(المَغضُوبِ), yaitu orang-orang yang dimurkai oleh
Allah. Mereka adalah orang-orang yang mngenal kebenaran namun mereka tidak mau
mengamalkannya. Sifat ini seperti orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka.
Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang Yahudi dalam firman-Nya :
فَبَآؤُواْ بِغَضَبٍ عَلَى
غَضَبٍ
“mereka
mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan “ (Al Baqarah :90)
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُم
بِشَرٍّ مِّن ذَلِكَ مَثُوبَةً عِندَ اللّهِ مَن لَّعَنَهُ اللّهُ وَغَضِبَ
عَلَيْهِ
“Katakanlah:
“Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk
pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang
dikutuki dan dimurkai Allah “ (Al Maidah:60)
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ
الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّهِمْ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan
menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka “ (Al A’raaf:152)
Kedua.
Golongan (الضَّالِّينَ), yaitu orang-orang
yang sesat. Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas
kejahilan dan kesesatan. Sifat ini seperti orang-orang Nasrani dan yang
mengikuti mereka. Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang Nasrani dalam
firman-Nya :
وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء
قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء
السَّبِيلِ
“Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus “ (Al Maidah:77)
(Lihat
Taisirul Kariimir Rahman, Adhwaul Bayan)
Hal ini
dipertegas dengan sabda Nabi yang diriwayatkan dari sahabat Adi bin Hatim
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إن المغضوب عليهم هم اليهود ،
وإن الضالين النصارى
“
Sesungguhnya (المغضوب) adalah Yahudi dan (الضالين) adalah Nasrani” (H.R Ahmad, Tirmidzi, dan
yang lainnya. Dihasankan oleh Imam Tirmidzi) (Lihat Fathul Qadir)
Sebab
Menyimpang dari Shiratal Mustaqim
Setelah
mengetahui kelompok yang menyimpang, kita bisa mengetahui sebab kesesatan
mereka. Ada dua hal pokok yang menyebabkan sesorang bisa menyimpang dari
shiratal mustaqim.
Pertama.
Meninggalkan ilmu. Inilah sikap kelompok (الضَّالِّينَ),
yaitu orang-orang yang sesat. Sebab kesesatan mereka adalah kejahilan karena
meninggalkan ilmu.
Kedua.
Meninggalkan amal. Inilah sikap kelompok (المَغضُوبِ),
yaitu orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang
mengenal kebenaran namun mereka tidak mau mengamalkannya. Mereka dimurkai
karena membangkang dengan tidak mau beramal dengan ilmu yang dimiliki.
Oleh karena
itu agar seseorang bisa tetap istiqomah di atas shiratal mustaqim, dia harus
senantiasa di atas jalan ilmu dan amal. Mempelajari ilmu agar dia terhindar
dari kelompok yang tersesat, serta beramal dengan ilmu yang dimiliki agar dia
terhindar dari kolompok yang dimurkai Allah. Yang lebih penting juga senantiasa
berdoa kepada Allah, Zat yang senatiasa memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus.
Rintangan
dalam Meniti Shiratal Mustaqim
Meniti
shiratal mustaqim tidak lepas dari berbagai rintangan dan hambatan. Orang yang
meniti jalan ini diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disukai, diliputi
dengan kesusahan dan hal-hal yang memberatkan. Oleh karena itu perlu kesabaan
ekstra dalam meniti jalan ini. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar” (Fushilat:35)
Faedah
Shiratal
mustaqim terkadang disandarkan kepada Allah dan terkadang disandarkan kepada
orang yang menitinya. Disandarkan kepada Allah, misalnya dalam firman –Nya,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيماً
“dan bahwa
(yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus “ (Al An’am :153)
Demikian
juga firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى
صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Yaitu)
jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. “ (Asy Syuura:52-53)
Disandarkan
kepada Allah karena Dia-lah yang membuat syariat jalan tersebut, menunjukkan
kepada jalan tersebut, dan yang menjelaskan kepada manusia tentang jalan
tersebut. Penyandaran kepada Allah adalah penyandaran dalam bentuk pemuliaan
serta menunjukkan bahwa jalan tersebut mengantarkan kepada Allah Ta’ala.
Namun
terkadang shiratal mustaqim disandarkan kepada kepada orang-orang yang meniti
jalan tersebut. Misalnya dalam firman-Nya,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ
عَلَيهِمْ
“orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka “ (Al Fatihah:6).
Dalam ayat
di atas shiratal mustaqim disandarkan kepada orang-orang yang telah Allah beri
nikmat kepada mereka, karena merekalah yang berada dia tas jalan tersebut.
Berbeda dengan orang-orang yang sesat yang berjalan di atas jalan kesesatan.
(Lihat Duruus min Al Qur’an 55-56).
Demikian
pembahasan tentang ringkas tentang makna shiratal mustaqim. Semoga Allah Ta’ala
senantiasa memberikan taufik kepada kita untuk senantiasa istiqomah di atas
jalan shiratal mustaqim. Wallahul musta’an.
Penulis : dr. Adika Mianoki
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber :
Tafsir Al Qur’an Al Azim, Al Imam Ibnu
Katsir
Duruus min Al Qur’an Al Kariim, Syaikh
Shalih Al Fauzan
Zaadul Masiir fii ‘Ilmi Tafsiir, Imam
Ibnul Jauzi
Adhwaul Bayaan fii Idhaahi Al Qur;an
bil Qur’an, Al Imam Muhammad Al Amiin An Syinqiithi
Taisiir Kariimir Rahman fii Tafsiir
Kalaam Al Manaan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Fathul Qadir Al Jaami’ baina fir
Riwayah wad Dirayah min ‘Ilmi Tafsir, Imam Asy Syaukani
Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiili Al
Qur’an, Imam Abu Ja’far At Thabari