Meluruskan Tata
Cara Wudhu Sesuai Petunjuk Nabi
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita mempelajari berbagai macam najis,
selanjutnya kita akan mengenal bagaimanakah tata cara wudhu yang benar yang
sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan
pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada.
Hanya Allah yang beri taufik.
Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu
Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata,
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak ada
shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.”[1]
An Nawawi
–rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini adalah nash[2] mengenai wajibnya
thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan
syarat sah shalat.” [3]
Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ
أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Shalat
salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats-
sampai dia berwudhu.“[4]
Tata Cara
Wudhu
Mengenai
tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut:
حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ
أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ
فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ
ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى
الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ
مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا
يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.
Humran
pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah
meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua
telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke
hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai
ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian
mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali,
kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini,
kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian
dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang
tidak punya kaitan dengan shalat[5]), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya
yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu
seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang
hamba untuk shalat”.[6]
Dari hadits
ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai berikut.
Berniat
–dalam hati- untuk menghilangkan hadats.
Membaca
basmalah: ‘bismillah’.
Membasuh
kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
Mengambil
air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau
madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu
cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal
ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Membasuh
seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
Membasuh
tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.
Membasuh
kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah,
disahihkan oleh Al Albani). Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai
berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan
dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik
tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan
dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok
telinga bagian luar.
Membasuh
kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil
membersihkan sela-sela jemari kaki.
Berikut
catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.
Niat Cukup
dalam Hati
Yang
dimaksud niat adalah al qosd (keinginan) dan al irodah (kehendak).[7] Sedangkan
yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun
letaknya dalam hati.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan
di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala
macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak,
jihad dan lainnya.”[8]
Ibnul Qayim
–rahimahullah– mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu–
tidak pernah mengucapkan “nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk
menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak
ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat
–baik dengan sanad yang shahih maupun dho’if (lemah)- yang menyebutkan bahwa
beliau mengucapkan bacaan tadi.”[9]
Berkumur-kumur
dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan
Ibnul Qayyim menyebutkan,
“Ketika
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan
dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau
menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau
menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk
hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu
cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan
istinsyaq disambung (bukan dipisah).
Adapun
ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka
di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan
tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan
antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain[10]
dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madho
(berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu
telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain
disebutkan bahwa tamadh-madho
(berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali
cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur-kumur dan
istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).
Tidak ada
satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan istinsyaq dipisah.
Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya yang
mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara
kumur-kumur dan istinsyaq[11]. Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari
Tholhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai
seorang sahabat.”[12]
Membasuh
Kepala Cukup Sekali
Ibnul
Qayyim menjelaskan,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang
beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian
orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat
adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain
biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang
lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan
cara ini.
Adapun
hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang
haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali
tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih.
Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga
kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah
periwayat yang lemah.”[13]
Kepala
Sekaligus Diusap dengan Telinga
Telinga
hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari
kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua
telinga adalah bagian dari kepala.” [14] Hadits ini adalah hadits yang lemah
jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi
hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu
‘Umar.[15]
Ash
Shon’ani menjelaskan,
”Walaupun
sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan
satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan
bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali.
Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas,
Ar Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua
telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana
hal ini adalah makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali).
Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak
dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan
bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang
dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas
keliru.
Adapun
riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga
berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika
membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air
yang baru.”[16]
Seluruh
Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja
Allah
Ta’ala berfirman,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan
basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)
Fungsi huruf
baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan bukan li
tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika
tayamum, sebagaimana dalam ayat,
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
“Dan
basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6). Dua dalil di atas masih berada
dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian
(namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah
mengusap seluruh kepala.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila
ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh)
wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum
jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash
(membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu
sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan sering berulang-ulang
dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang
berakal.”[17]
Begitu pula
terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya
dan bukan sebagian. Dalilnya,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ
مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ
مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ،
وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ
Dari
‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian
akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap
tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian
ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya.[18]
Dalam
riwayat lain dikatakan,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ
“Beliau
membasuh seluruh kepalanya.”[19]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan
tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.”[20] Namun ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus
membasuh imamahnya.[21]
Sedangkan
untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria.
Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika
ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih
bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam.[22]
Semoga
bermanfaat.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
[1] HR. Muslim no. 224.
[2] Nash adalah dalil tegas yang tidak mengandung
kemungkinan makna kecuali itu saja.
[3] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/102, Dar Ihya’ At Turots
Al ‘Arobi, Beirut
[4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225.
[5] Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu”
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul
Muhsin Al Abbad Al Badr, 1/371, Asy Syamilah
[6] HR. Bukhari dan Muslim.
[7] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/242, Darul
Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[8] Al Fatawa Al Kubro, Ibnu Taimiyah, 2/87, Darul
Ma’rifah Beirut, cetakan pertama, 1386.
[9] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/196, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abudl Qodir Al Arnauth,
Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-17, tahun 1415 H
[10] Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh
pentahqiq Zaadul Ma’ad.
[11] Dikeluarkan oleh Abu Daud. Namun terdapat seorang
periwayat yang dho’if dan Mushorrif –ayah Tholhah- itu majhul. Lihat catatan
kaki Zaadul Ma’ad, hal. 192.
[12] Zaadul Ma’ad, 1/192-193.
[13] Zaadul Ma’ad, 1/193.
[14] HR. Abu Daud no. 134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah
no. 443, dan Ahmad (5/264).
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[16] Subulus Salam, Ash Shon’ani, 1/136-137, Mawqi’ Al
Islam.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 21/123
[18] HR. Bukhari no. 197.
[19] HR. Ibnu Khuzaimah (1/81). Al A’zhomi mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih.
[20] Majmu’ Al Fatawa, 21/122.
[21] Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At
Taufiqiyah.
[22] Idem
https://rumaysho.co