Kantor Sekretariat Rumah Sajada

Alamat : Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman D.I. Yogyakarta

Tampak Depan PAPP Rumah Sajada

Komplek Kantor dan Asrama Putri Wirokraman RT 04 RW 13 Sidokarto Godean Sleman

Pendopo Rumah Sajada

Komplek Asrama Putra Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putri Rumah Sajada

Komplek Asarama Putri Wirokraman Sidokarto Godean Sleman

Asrama Putra

Alamat : Sorolaten Sidokarto Godean Sleman

Rabu, 31 Agustus 2022

Pentingnya Memahami Apa Hikmah Dibalik Musibah yang Diberikan Allah SWT

Pentingnya Memahami Apa Hikmah Dibalik Musibah yang Diberikan Allah SWT 

 

Suara.com - Setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya ujian, cobaan hingga musibah yang semua itu tentunya datang dari Allah SWT. Manusia hidup itu memang ada masanya akan mengalami berbagai kesusahan dan penderitaan hidu                                                                                                                                                                                                                             Setiap manusia akan dihadapkan pada ujian-ujian hidup yang sulit untuk menolaknya dan itu adalah satu ketetapan dan hukum Allah SWT yang bersifat pasti dan tetap, berlaku kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun manusia berada.

Ujian dan cobaan hidup dari Allah SWT di dunia itu tidak hanya berupa musibah atau kesengsaraan. Namun ada kalanya berupa kelapangan dan kenikmatan. Bisa berupa sehat maupun kondisi sakit, bisa juga berupa kekayaan maupun kemiskinan.

Dalam beberapa surat di Al-Quran juga disebutkan tentang ujian yang datangnya dari Allah SWT, baik kondisi senang dan kondisi sulit. Allah SWT berfirman:

"Ahasiban naasu anyu yutrakuuu any yaquuluuu aamannaa wa hum la yuftanuun".

Artinya: "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji lagi?", (QS Al-Ankabut: 2).

Dari ayat tersebut kita bisa mengambil hikmah dibalik musibah bahwa Allah SWT akan menguji hamba-Nya yang beriman sesuai dengan tingkat keimanan mereka. Apakah manusia berpikir bahwa Allah SWT akan membiarkan mereka ketika dikatakan “Kami beriman" tanpa menguji kebenaran perkataan mereka itu dengan ujian melalui harta dan diri mereka? Tentu tidaklah demikian, karena Allah SWT pasti akan menguji manusia agar menjadi jelas tingkat kebenaran dan keteguhannya.

Ustadz Syafiq Riza Basalamah menjelaskan tentang hikmah dibalik musibah yang menarik untuk kita simak bersama.

"Allah menciptakan langit ini dalam beberapa periode. Dan ketika Allah memberikan cobaan kepada hamba-Nya, petaka untuk hamba-Nya, terkadang petaka itu baik untuk kebaikan hamba-Nya", Ustadz Syafiq Riza Basalamah menyampaikan.

" Kenapa tidak Allah selesaikan secara langsung, banyak orang yang jika Allah selesaikan secara langsung mungkin tidak bersyukur kepada Allah. Jadi hikmahnya besar sekali", Ustadz Syafiq Riza Basalamah menambahkan.

Ia menambahkan, "Musibah-musibah itu Allah turunkan agar mereka kembali kepada Allah. Agar mereka datang bermunajat kepada Allah".

Perlu dipahami, bahwa meskipun Allah SWT memberikan kita ujian, cobaan, dan musibah, tapi ingatlah bahwa Allah SWT sangat menyayangi hamba-Nya, karena semua ujian yang didapatkan itu diberikan sesuai dengan kesanggupan kita. Dalam surah Al-Baqarah ayat 286 disebutkan:

"Laa yukalliful-laahu nafsan illaa wus'ahaa; lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat".

Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya", (QS Al Baqarah:286).

Seperti itulah pentingnya memahami apa hikmah dibalik musibah yang diberikan Allah SWT. Jika kalian sedang ditimpa musibah selalulah ber-husnudzon kepada Allah.

 

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

https://www.suara.com

 

Inilah Hikmah Di Balik Cobaan yang Belum Engkau Tahu

Inilah Hikmah Di Balik Cobaan yang Belum Engkau Tahu

 

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah … Ketahuilah … Allah Taala akan menguji setiap hamba-Nya dengan berbagai musibah, dengan berbagai hal yang tidak mereka sukai, juga Allah akan menguji mereka dengan musuh mereka dari orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Ini semua membutuhkan kesabaran, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tetap konsisten dalam beragama. Hendaknya setiap orang tidak tergoyahkan dengan berbagai cobaan yang ada, tidak pasrah begitu saja terhadap cobaan tersebut, bahkan setiap hamba hendaklah tetap komitmen dalam agamanya. Hendaknya setiap hamba bersabar terhadap rasa capek yang mereka emban ketika berjalan dalam agama ini.

Sikap seperti di atas sangat berbeda dengan orang-orang yang ketika mendapat ujian merasa tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah. Sikap seperti ini malah akan membuat mereka mendapat musibah demi musibah.

Renungkanlah …

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

 

“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)

Dari Mush’ab bin Sa’id (seorang tabi’in) dari ayahnya berkata,

 

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

 

“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

 

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

 

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Semoga kita yang sedang mendapat ujian atau musibah merenungkan hadits-hadits di atas. Sungguh ada sesuatu yang tidak kita ketahui di balik musibah tersebut. Maka bersabarlah dan berusahalah ridho dengan taqdir ilahi. Sesungguhnya para Nabi dan orang sholeh dahulu juga telah mendapatkan musibah sebagaimana yang kita peroleh. Lalu kenapa kita harus bersedih, mengeluh dan marah? Bahkan orang sholeh dahulu -sesuai dengan tingkatan keimanan mereka-, mereka malah memperoleh ujian lebih berat. Cobalah kita perhatikan perkataan ulama berikut.

Al Manawi mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta (tertutupi). Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.” (Faidhul Qodhir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/518, Asy Syamilah)

Semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah, baik dengan hati lisan atau pun anggota badan. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang selalu ridho dengan taqdir-Mu.

 

Sumber Rujukan Utama : Syarh Qowaidil Arba, Syaikh Sholih bin ‘Abdillah Al Fauzan

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 

https://rumaysho.com

 

Hikmah Bala Bagi Orang Beriman

Hikmah Bala Bagi Orang Beriman

 

Allah SWT menjanjikan keutamaan besar atas mereka yang bersabar dalam ujian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam suatu hadits, Nabi SAW menegaskan seorang Muslim tidak akan senantiasa dalam kondisi merugi dalam situasi apa pun. Sebab, keimananya akan menjadikannya sebagai seorang hamba yang bersyukur, ketika mendapatkan kemudahan dan juga bersabar ketika mendapatkan kesulitan dalam hidupnya.

Dari Shuhaib, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam bersabda: "Perkara orang mukmin itu mengagumkan. Sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin; bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya, dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya." (HR. Bukhari Muslim).

Mengangkat derajat dan menghapus dosa

Hal ini sesuai hadits Rasulullah SAW, Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada diri, anak, dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa pun atasnya.” (HR. Tirmizi).

Tanda kebaikan dari Allah

“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha maka baginya keridlaan Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. Tirmizi).

Mati syahid

"Mati karena menderita tho'un adalah syahid bagi setiap Muslim.” (HR. Bukhari Muslim)

"Meninggal karena sakit perut adalah syahid, dan (meninggal) karena tho'un juga syahid.” (HR. Bukhari)

“Tidaklah seseorang yang berada di wilayah yang terjangkit tho'un, kemudian ia tetap tinggal di negerinya dan selalu bersabar, ia mengetahui penyakit tersebut tidak akan mengjangkitinya kecuali apa yang Allah tetapkan kepadanya, maka baginya seperti pahalanya orang yang mati syahid.” (HR. Bukhari).

Pahala tidak terbatas

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10).

 

Rep: Ali Yusuf/ Red: Ani Nursalikah

https://www.republika.co.id

 

Selasa, 30 Agustus 2022

Hikmah di Balik Musibah Tolak Ukur Menguji Kesabaran Orang Beriman

Hikmah di Balik Musibah Tolak Ukur Menguji Kesabaran Orang Beriman

 

HIKMAH di balik musibah patut kiranya menjadi pelajaran bagi Kaum Muslimin. Musibah adalah sunnatullah yang berlaku bagi hambaNya, dan bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya menimpa orang-orang yang ingkar dan banyak berbuat dosa, tetapi juga menimpa orang-orang beriman dan rajin beribadah. Bahkan semakin tinggi kedudukan seorang hamba di sisi Allah SWT, seringkali ujian atau musibah yang diberikan Allah kepadanya semakin berat karena Dia hendak menguji kualitas keimanan dan ketakwaan hambaNya.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah :155-157 sebagai berikut :

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ والْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْاَمْواَلِ والْاَنْفُسِ وَاثَّمَراَتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ . اَلَّذِيْنَ اِذَا اَصاَبَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قاَلُواْ اِنَّا للهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ راَجِعُوْنَ . اُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَواَتٌ مِنْ رَبِهِمْ وَ رَحْمَةٌ وَاوُلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ .

 

“ Dan sungguh Kami akan berikan ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang bila ditimpa musibah, mereka berkata :” innaa lillaahi wa innaa ilahi roojiuun “. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk “.

Dari sekian banyak musibah yang sering menimpa setiap insan, musibah kematian atau ditinggal mati oleh mereka yang dicintai adalah musibah yang dirasakan paling berat.

Ulama dan mantan Anggota Komisi Ukhuwah MUI DKI Jakarta, KH Drs Syarifuddin Mahfudz MSi menjelaskan, sesungguhnya dibalik musibah yang terjadi terdapat banyak hikmah dan pelajaran yang berharga yang bisa dipetik oleh seorang mukmin, antara lain :

1.Untuk muhasabah atau introspeksi dan mendapat ampunan dari dosa yang pernah dilakukan.

FirmanNya dalam Surat Asy Syura (42):30 sebagai berikut :

 

وَماَ اَصاَبَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِماَكَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ .

 

 “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar dari (kesalahan-kesalahanmu) “.

Dalam ayat ini terdapat kabar gembira, yakni “ Allah memaafkan sebagian besar dari (kesalahan-kesalahanmu ), dan mengingatkan bahwa musibah yang menimpa adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”.

Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda :

“ Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hingga duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu “.

2. Mendapat kebahagiaan dan pahala di akhirat.

Seorang mukmin yang mendapat musibah atau penderitaan yang dialami di dunia yang dengan keimanannya dia lebih dekat lagi dengan Allah swt, akan mendapat pahala serta kebahagiaan di akhirat yang abadi.

Dalam sebuah hadits Rasul SAW bersabda :

 

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : الدُّنْياَ سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةٌ الْكاَفِرِ .

 

“ Dari Abu Hurairah ra, ia berkata , bahwa Rasulullah saw bersabda :” Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir “. (HR Muslim no 2392).

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :

“ Kematian adalah hiburan bagi orang beriman “. (HR. Ibnu Abid Dunya ).

3. Sebagai parameter atau tolok ukur kesabaran seorang mukmin.

Satu adagium mengatakan bahwa “ Seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak kualitas kesabaran dan ketangguhan seseorang “. Dengan ujian, cobaan atau musibah yang menimpa seseorang, maka akan kelihatan, apakah yang bersangkutan bisa bersabar atau tidak.

Ulama mengatakan “ Besarnya pahala tergantung kepada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai satu kaum atau seorang mukmin, maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Siapa yang ridho dengan cobaan tersebut, maka dia akan mendapat keridhoan Allah. Siapa yang berkeluh kesah (bahkan marah-marah), dia akan mendapat murka Allah SWT .

Bila seorang mukmin bersabar dan imannya tetap kokoh, maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang indah, dari Suhaib riwayat Muslim no 2999 sebagai berikut :

 

عَجَباً لِأمْرِ الْمُؤْمِنِ اِنَّ اَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِاَحَدٍ اِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ اِنْ اَصاَبَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ خَيْراً لَهُ وَاِنْ اَصاَبَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكاَنَ خَيْراً لَهُ

 

“ Sungguh menakjubkan keadaan seorang Mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya.Jika memperoleh kebaikan dia bersyukur, dan itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesulitan dia bersabar, dan itu baik baginya. Hal itu tidak ada pada orang lain, kecuali ada pada orang beriman “.

4. Memurnikan tauhid dan banyak berdoa kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam Surat Fushshilat (41):51 sebagai berikut :

 

وَإذَا اَنْعَمْناَ عَلىَ الْاِ نْساَنِ اَعْرَضَ وَ نَئَا بِجاَنِبِهِ وَإذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعاَءٍ عَرِيْضٍ .

 

“ Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong), tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa “.

Musibah dapat menyebabkan seorang mukmin berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakal dan khusyu dalam berdoa. Dengan kembali kepada Allah seorang mukmin yang mendapat musibah, sakit misalnya akan merasakan manisnya iman, bahkan bisa lebih nikmat dari kesembuhan itu sendiri.

5. Mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah SWT

Karena musibah yang menimpa dirinya, seorang mukmin akan berusaha lebih dekat dengan Allah = taqarrub ilal laah, sehingga ibadahnya akan lebih khusyu dan khasysyah (rasa takut) kepada Allah swt. Betapa banyak musibah yang menyebabkan seorang mukmin istiqomah = konsisten dan konsekwen dalam agamanya. Berlari mendekat kepada Allah dan menjauhkan diri dari berbagai maksiat dan kemungkaran.

Maka marilah kita kembali kepada Allah dengan bertaubat dari segala dosa dan kekhilafan. Mari kita berintrospeksi “ Apakah termasuk orang yang mendapat musibah karena cobaan dan ujian keimanan ataukah karena wal ‘iyadzu billah , yang disiksa karena dimurkai Allah disebabkan tidak mau beribadah serta banyak melanggar laranganNya “.

 

Vitrianda Hilba Siregar

https://muslim.okezone.com

 

Empat Keutamaan Orang Bersabar Menghadapi Musibah

Empat Keutamaan Orang Bersabar Menghadapi Musibah

 

 

KHAZANAH ISLAM - Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu hadis menegaskan, seorang muslim tidak akan merugi dalam situasi apapun. Sebab, keimananya akan menjadikannya semua urusannya baik.

Ustaz Isnan Ansory Lc (pengajar rumah Fiqih Indonesia) dalam bukunya "Fiqih Menghadapi Wabah Penyakit" menukil hadis Nabi, beliau bersabda: "Perkara orang mukmin itu mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min; bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya, dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya." (HR. Al-Bukhari Muslim, dari sahabat Shuhaib)

Di samping itu, Allah Ta'ala juga menjanjikan keutamaan besar bagi meraka yang bersabar dalam menghadapi segala ujian (bala) ataupun musibah. Berikut 4 keutamaannya:

1. Mengangkat Derajat dan Menghapus Dosa.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada diri, anak dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa pun atasnya." (HR. Tirmizi)

2. Tanda Kebaikan dari Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah." (HR. Tirmizi)

3. Mati Syahid.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kabar gembira bagi yang wafat karena bala dan musibah. "(mati) karena menderita thoun adalah syahid bagi setiap Muslim." (HR. Al-Bukhari Muslim)

"(meninggal) karena sakit perut adalah syahid, dan (meninggal) karena Thoun juga syahid." (HR. Al-Bukhari)

"...Tidaklah seseorang yang berada di wilayah yang terjangkit Thoun, kemudian ia tetap tinggal di negerinya dan selalu bersabar, ia mengetahui bahwa penyakit tersebut tidak akan mengjangkitinya kecuali apa yang Allah tetapkan kepadanya, maka baginya seperti pahalanya orang yang mati syahid." (HR. Bukhari)

4. Pahala yang Tidak Terbatas.

Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (QS. Az-Zumar: ayat 10)

 

Wallahu A'lam

https://www.unpak.ac.id

 

Bersabarlah Ini 5 Hikmah ketika Kamu Tabah Menghadapi Wabah

 Bersabarlah Ini 5 Hikmah ketika Kamu Tabah Menghadapi Wabah

 

Oase.id- Tak ada perkara yang dicipta dengan nihil makna. Sudah pasti, di balik semuanya, Allah Swt telah menyisipkan serangkaian hikmah yang bisa dipelajari.

Pun seperti sekarang, setidaknya ada lima hikmah yang bisa diambil di balik datangnya ujian berupa ancaman dan musibah korona (Covid-19).

Menguatkan karakter keimanan

Allah Swt berfirman;

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)

Ath-Thabari dalam Jami Al-Bayan menjelaskan, ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah Swt kepada umat Nabi Muhammad Saw, bahwa Dia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat untuk menunjukkan siapa yang taat dan mana yang ingkar.

Dari Shuhaib, Rasulullah Saw bersabda;

"Sungguh menakjubkan keadaan seorang Mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang yang beriman. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Dan Itu pun baik baginya." (HR. Bukhari Muslim)

Imam Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir menjelaskan, bersyukur ketika mendapat kesenangan dan bersabar saat mendapatkan ujian adalah sebenar-benarnya karakter orang yang beriman.

Dua sikap itu, tulis Al-Munawi, tidak ditemukan dalam diri kalangan kafir dan munafik. Keajaiban sifat tersebut adalah ketika seseorang diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta, dan kedudukan, lalu ia bersyukur pada Allah Swt atas karunia tersebut, maka Allah akan mencatat mereka ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.

Begitu pun ketika ditimpa musibah lantas ia bersabar, maka seseorang itu pun akan dimasukkan ke dalam orang-orang yang bersabar.

Pintu kesabaran dalam menghadapi musibah ialah dengan mengucapkan istirja, alias kalimat "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun." Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar melengkapinya sebagai doa sebagaimana yang pernah diucapkan Rasulullah Saw;

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlif li khairan minha. Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik dari padanya." (HR Muslim)

Mengangkat derajat dan menghapus dosa

Allah Swt berfirman;

"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang'. Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." (QS. Al Anbiya': 83-84)

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib mengisahkan, bahwa pada mulanya Nabi Ayub merupakan seorang yang kaya raya, memiliki anak-anak, dan istri yang sangat dicintainya. Nabi Ayub, sama sekali tak memiliki kesulitan untuk berdoa dan beribadah kepada Allah Swt karena serba berkecukupan.

Kemudian, Allah Swt menguji Nabi Ayub berupa penyakit hingga ia ditinggalkan para pengikutnya, termasuk keluarga dan anak-anaknya. Tak hanya itu, kekayaan Nabi Ayub pun habis tiada bersisa.

Akan tetapi, Nabi Ayub tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran dan dengan ketakwaan yang kian meningkat. Kemudian Allah pun mengembalikan seluruh kekayaan Nabi Ayub dengan berlipat ganda, dan anak-anak yang lebih banyak ketimbang sebelumnya.

Rasulullah Saw bersabda;

"Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada diri, anak, dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa pun atasnya." (HR. At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain, Nabi bersabda;

"Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seorang Muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR. Muslim)

Ada pula riwayat hadis berbunyi, "Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Tanda cinta dan kebaikan Allah Swt

Musibah atau ujian juga bisa menjadi penanda atas cinta dan kebaikan Allah Swt kepada makhluk-Nya. Nabi Saw bersabda;

"Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barang siapa yang rida maka baginya keridaan Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah." (HR. Tirmizi).

Rasulullah Saw juga bersabda, "Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah)

Apabila Allah mencintai seseorang, maka bisa saja Allah menujukkan rasa kasih sayang-Nya melalui sebuah ujian dan musibah. Allah menjadikan musibah sebagai pengganti siksa di akhirat yang kadarnya akan jauh lebih pedih.

Rasulullah Saw bersabda;

"Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi)

Dalam Faidh Al-Qadir, Al-Munawi menegaskan, hal itu juga bisa menunjukkan sebaliknya. Allah Swt akan mengakhirkan siksa yang berlibat di akhirat kelak, kepada siapa saja yang tidak dicintai-Nya dan siapa saja yang dikehendakinya buruk.

Setara syahid

Anjuran bersabar dalam menghadapi musibah dan ujian, terutama yang berupa wabah ditegaskan Nabi Saw melalui sabdanya;

 "Wabah penyakit adalah sejenis siksa (azab) yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi kaum Muslimin. Tidak ada seorang pun yang terserang wabah, lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala, juga mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah mentakdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid." (HR. Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad)

Dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan, makna gamblang dan akurat (manthuq) hadis ini adalah orang yang memiliki sifat tersebut (Berdiam diri di rumah saat terjadi wabah) akan mendapatkan pahala syahid walaupun yang bersangkutan tidak sampai meninggal dunia.

Pahala tanpa batas

Allah Swt berfirman;

"... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan mengutip Al-Auza'iy mengatakan, yang dimaksud dengan pahala tanpa batas adalah kebaikan orang-orang yang sabar tidak akan ditakar atau ditimbang. Mereka langsung dimasukkan ke surga tanpa perhitungan.

 

 Sobih AW Adnan

https://m.oase.id

 

Senin, 29 Agustus 2022

Tiga Kondisi yang Menuntut Kesabaran

Tiga Kondisi yang Menuntut Kesabaran

 

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kondisi seorang mukmin begitu mengagumkan. Semua kondisinya merupakan kebaikan, dan tidak akan ditemukan hal semacam ini kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, dan kondisi ini adalah kebaikan untuknya dan jika ia ditimpa keburukan ia bersabar dan kondisi ini juga kebaikan untuknya.” (HR. Mulim No. 2999)

Kondisi seorang mukmin senantiasa baik, karena ia diliputi oleh dua keadaan, yaitu ia bersabar terhadap hal yang ia benci dan bersyukur dengan hal yang ia sukai. Sebagian salaf mengatakan,

 

اَلْإِيْمَانُ نِصْفَانِ نِصْف صَبْر، وَنِصْف شُكْر

 

“Iman terdiri dari 2 bagian, sebagiannya adalah sabar dan sebagian yang lain adalah syukur.” (Qaa’idah fi Ash-Shab, hal. 2)

Seorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah hendaknya melazimkan kesabaran dalam tiga kondisi:

Pertama, bersabar di atas ketaatan hingga ia melaksanakannya.

Melaksanakan ketaatan butuh kesabaran, karena umumnya raga ingin bermanja-manja dan hawa nafsu mendorong untuk melakukan perbuatan sia-sia.

Allah Ta’ala berfirman.

 

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

 

“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah  dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132)

Bersabarlah dalam ketaatan, niscaya Allah akan tumbuhkan nikmat iman dengan sebab kesabaran. Jika nikmat dalam melaksanakan perintah Allah telah diraih, maka ketaatan tidak lagi menjadi beban atau penggugur kewajiban, tapi ketaatan akan menjadi kebutuhan dan sumber kebahagiaan bagi seorang hamba. Sebagaimana seseorang yang melaksanakan shalat untuk menggugurkan kewajibannya, bisa jadi ia merasa berat di awal, tapi jika ia jujur dalam niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan tumbuhkan iman dalam dirinya, sehingga shalat akan menjadi kebutuhan dan sebab kebahagiaannya. Demikianlah aqidah islam, iman akan meningkat dengan sebab ketaatan yang bertambah.

Kedua, bersabar untuk meninggalkan larangan.

Sebagian orang mengira bahwa meninggalkan larangan lebih mudah dari melaksanakan perintah, karena melakukan sesuatu butuh usaha lebih besar daripada meninggalkan sesuatu. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Setan senantiasa menghiasi larangan dengan keindahan dan perkara yang disukai hawa nafsu.

Sebagian salaf mengatakan,

 

أَعْمَالُ الْبِرِّ يَفْعَلُهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِ الْمَعَاصِى إِلَّا صَدِّيْقٌ

 

“Amal kebaikan bisa dilakukan oleh orang yang baik maupun fajir (jahat), namun hanya orang jujur yang mampu meninggalkan maksiat.” (Qaa’idah fi Ash-Shabr, hal. 3)

Di antara contoh kesabaran dalam meninggalkan larangan adalah kisah Nabi Yusuf ‘‘alaihissalam yang memilih tidak berzina karena ketaqwaannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang perkataan nabi Yusuf ‘alaihissalam

 

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

 

“Yusuf berkata, ‘Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)

Ketiga, bersabar dalam menghadapi takdir Allah.

Takdir Allah ada yang disukai adapula yang tidak disukai. Sedangkan orang yang beriman dalam menyikapi takdir Allah tidak lepas dari dua perkara, yaitu syukur dengan takdir yang ia sukai dan sabar menerima dan menghadapi takdir yang tidak menyenangkan baginya seperti sakit, musibah kehilangan anggota keluarga dan harta benda atau buruknya sikap manusia kepadanya.

Tidaklah Allah menghendaki suatu musibah atau kesempitan menimpa seorang hamba kecuali ada hikmah kebaikan untuk dirinya, dan Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya daripada dirinya sendiri.

 

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Realisasi bersabar dengan takdir Allah adalah dengan :

1. Menjaga lisan dari mengumpat dan mengeluh

2. Tidak melakukan hal-hal yang menunjukan penentangan terhadap ketetapan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya, seperti : memukul-mukul wajah, merobek-robek baju dan yang semisalnya.

Hendaknya seseorang yang ditimpa musibah bersabar dan menghibur dirinya dengan janji Allah berupa pahala tanpa batas. Allah Ta’ala berfirman,

 

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

 

“Hanya orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Semoga kita termasuk orang-orang yang Allah teguhkan di atas kesabaran, baik untuk menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan menerima setiap takdir yang telah Allah tetapkan.

Wallaahu a’lam

 

Referensi:

Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah, Qaa’idah fi Ash-Shabr, Daarul Qaasim

Terjemahan Al-Qur’an Al-Kariim

 

Penulis : Titi Komalasari

Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Artikel Muslimah.or.id

https://muslimah.or.id

 

Keutamaan Syukur Nikmat Dibanding Sabar atas Musibah

Keutamaan Syukur Nikmat Dibanding Sabar atas Musibah

 

Imam Al-Ghazali menjelaskan keutamaan nikmat dibanding musibah bagi umat Islam. Dari banyak dalil keutamaan sabar, kita seakan memahami bahwa musibah atau bala lebih utama. Lalu apakah kita meminta musibah?

Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa nikmat lebih utama daripada bala atau musibah. Tidak ada jalan bagi kelebihan musibah atau bala di atas nikmat karena Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya selalu meminta kebaikan dunia dan akhirat.

 

عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يستعيذ فى دعائه من بلاء الدنيا وبلاء الآخرة وكان يقول هو والأنبياء عليهم السلام ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة  وكانوا يستعيذون من شماتة الأعداء وغيرها

 

Artinya, “Dari Rasulullah SAW, ia memohon perlindungan dalam doanya dari bala dunia dan bala akhirat. Ia dan para nabi berdoa, ‘Tuhan kami, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,’ (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai). Mereka juga berlindung dari caci maki musuh dan keburukan lain,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 140).

Imam Al-Ghazali membawa riwayat Sayyidina Ali perihal keutamaan nikmat dibanding musibah atau bala. Suatu hari Sayyidina Ali berdoa, “Ya Allah, aku memohon kesabaran.” Rasulullah kemudian mengoreksinya. “Kau tadi meminta bala kepada Allah? Mintalah afiat kepada-Nya,” kata Rasulullah SAW, (HR At-Tirmidzi). (Al-Ghazali, 2018 M: IV/140).

Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq ra meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan, “Mintalah kesehatan kepada Allah. Tidak ada pemberian untuk seseorang yang melebihi kesehatan selain keyakinan,” (HR Ibnu Majah). Keyakinan yang dimaksud dalam hadits ini adalah kesehatan batin dari penyakit hati seperti kebodohan dan keraguan.

Imam Al-Ghazali juga mengutip Imam Al-Hasan Al-Bashri yang mengatakan, “Kebaikan yang tidak mengandung kekurangan padanya adalah kesehatan yang disertai syukur nikmat. Pasalnya, berapa banyak orang yang dianugerahi nikmat tidak mensyukurinya?”

Mutharrif bin Abdullah, kutip Imam Al-Ghazali, mengatakan, “Aku sehat dan aku mensyukurinya lebih kusukai daripada aku diberi musibah dan aku bersabar.” (Al-Ghazali, 2018 M: IV/141).

Rasulullah dalam doanya yang diriwayatkan Ibnu Ishak dalam sirahnya mengatakan, “Ya Allah, nikmat sehat dari-Mu lebih aku sukai.” (Al-Ghazali, 2018 M: IV/141).

Dari berbagai riwayat ini, Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa syukur atas nikmat lebih utama daripada sabar atas bala atau musibah. Artinya, kalau boleh memilih kondisi, tentu kita memilih kondisi pertama sebagaimana doa para nabi. Tetapi tetap saja, ketika kenyataannya kita mengalami musbah, kita harus bersabar dan ridha. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan).

 

https://islam.nu.or.id

 

BERSYUKUR SAAT MENDAPAT KESENANGAN DAN SABAR SAAT MENDAPAT COBAAN

BERSYUKUR SAAT MENDAPAT KESENANGAN DAN SABAR SAAT MENDAPAT COBAAN

 

Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ  إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

 

Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2999 (64); Ahmad, VI/16; Ad-Darimi, II/318 dan Ibnu Hibban (no. 2885, at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân).

KOSA KATA HADITS

1.    عَجَبًا : Menakjubkan sekali. Setiap manusia akan kagum atau heran jika melihat sesuatu yang luar biasa dan tidak masuk akal.

2.    السَّرَّاءُ : Kegembiraan, yaitu sesuatu yang menyenangkan dirinya.

3.    الضَّرَّاءُ : Kesusahan, yaitu sesuatu yang membahayakan atau menimpa badannya. Termasuk juga (segala sesuatu yang buruk) yang berkenaan (menimpa) keluarga, anak, dan hartanya.[1]

SYARAH HADITS

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ

 

Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan sesuatu, baik itu taqdir kauni atau syar’i, melainkan di dalamnya terkandung kebaikan dan rahmat bagi para hamba-Nya. Di dalam cobaan, ujian, musibah, petaka, kesulitan, kefakiran, penyakit, dan kematian, semua ini terkandung hikmah yang amat besar yang tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Andai kata kita bisa menggali hikmah Allâh Azza wa Jalla yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun, akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia (tidak ada artinya) jika dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia (tidak ada artinya) di bawah sinar matahari. Dan ini pun hanya gambaran saja, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”[2]

Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, penyakit, kesulitan, dan kesengsaraan mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat banyak.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 

إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

 

Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya

Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya untuk memberikan cobaan dan ujian, lalu Dia menuntut konsekuensi dari kesenangan, yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan, yaitu sabar.

Jika seseorang benar-benar beriman, maka segala urusannya merupakan kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan ketika susah, ia bersabar.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allâh supaya kamu beruntung. [Ali ‘Imran/3:200][3]

Orang-orang yang sabar lagi bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , Dia Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya petunjuk di dunia dan di akhirat.

Menurut para Ulama, “Iman itu ada dua bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.” Para Ulama salaf berkata, “Sabar adalah sebagian dari iman.” Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan sabar dan syukur dalam al-Qur’an, yaitu dalam firman-Nya:

 

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

 

Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi orang yang selalu bersabar dan banyak bersyukur.  [Asy-Syûrâ/42:33[4]

Iman dibangun atas dua rukun, yaitu yakin dan sabar. Dua rukun ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

 

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

 

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.  [As-Sajdah/32:24]

Dengan keyakinan, seseorang akan tahu hakikat perintah dan larangan, ganjaran dan siksaan. Dan dengan kesabaran ia bisa melaksanakan perintah-Nya dan menahan diri dari semua larangan-Nya.[5]

Sabar dibagi menjadi tiga macam:

1.    Sabar dalam melaksanakan perintah dan ketaatan.

2.    Sabar dalam menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

3.    Sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian yang pahit.[6]

Syukur adalah pangkal iman, dan dibangun di atas tiga rukun:

1.    Pengakuan hati bahwa semua nikmat Allâh yang dikaruniakan kepadanya dan kepada orang lain, pada hakekatnya semua dari Allâh Azza wa Jalla .

2.    Menampakkan nikmat tersebut dan menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat-nikmat itu.

3.    Menggunakan nikmat itu untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan beribadah dengan benar hanya kepada-Nya. Wallâhu a’lam.[7]

Sabar dan syukur merupakan faktor penyebab bagi pelakunya untuk dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allâh. Karena iman dibangun di atas sabar dan syukur. Sesungguhnya pangkal syukur adalah tauhid dan pangkal sabar adalah meninggalkan hawa nafsu.[8]

Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa musibah, penderitaan, penyakit serta kematian itu merupakan hal yang lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti akan menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

 

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. [Al-Baqarah/2: 155]

 

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿١٥٦﴾ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

 

 (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sesungguhnya kami milik Allâh dan kepada-Nyalah kami kembali)’. Mereka itulah yang memperoleh shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itu­lah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah/2:156-157]

Mengenai firman Allâh Azza wa Jalla :

 

مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ

 

Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan …” [Al-Baqarah/2: 214],

al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Cobaan itu berupa penyakit, penderitaan, musibah, dan bencana.”[9]

Cobaan dan Ujian yang Menimpa akan Menghapus Dosa dan Kesalahan

Musibah dan penyakit yang menimpa seorang hamba itu bisa menjadi sebab diampuninya kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan (mulut), dan dengan seluruh anggota tubuhnya. Dan terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari suatu dosa yang pernah dilakukan seseorang, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

 

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

 

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy-Syûra/42:30]

Disegerakannya hukuman bagi seorang Mukmin di dunia justru itu baik baginya sehingga dengan itu Allâh akan menghapuskan dosa-dosanya dan ia akan berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla dalam keadaan bersih dan selamat.

Hadits-hadits yang menjelaskan pengampunan dosa karena adanya musibah dan penyakit sangat banyak, di antaranya:

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

 

Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit atau sejenisnya, melainkan Allâh akan menggugurkan dosa-dosanya bersamanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ، وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

 

Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan, termasuk duri yang menusuknya, melainkan Allâh akan menghapus sebagian dari kesalahan-kesalahannya.[11]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ، حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

 

Tidaklah seorang Mukmin ditimpa rasa sakit yang terus menerus,[12] kepayahan, penyakit, dan kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya,[13] melainkan  akan dihapus dosa-dosanya dengan sebab itu.[14]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa apa saja yang menimpa seorang Mukmin berupa kesedihan, kesusahan, penyakit atau kematian, semuanya akan menghapuskan dosa-dosa seorang hamba.

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Beritahukan kepadaku tentang penyakit-penyakit yang menimpa kami ini, apa yang akan kami peroleh karenanya?’

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Pengampunan dosa-dosa.’ Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Sekalipun penyakit itu sedikit?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, ‘Sekalipun sebuah duri dan yang lebih kecil lagi …’”[15]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga  bersabda:

 

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِيْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

 

Bencana akan senantiasa menimpa orang Mukmin dan Mukminah pada dirinya, anaknya, dan hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allâh dalam keadaan tidak ada kesalahan pun pada dirinya.[16]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِالسَّقَمِ حَتَّى يُكَفِّرَ ذٰلِكَ عَنْهُ كُلَّ ذَنْبٍ

 

Sesungguhnya Allâh benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya.[17]

Dicatat Sebagai Kebaikan dan Derajat Ditinggikan dengan Sebab Musibah yang Menimpa Seorang Hamba

Di antara faedah cobaan, jika seseorang bersabar, ia akan diberi pahala dengan dituliskan kebaikan dan diangkatnya derajat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اللّٰهُمَّ أْجُرْ نِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا) إِلَّا أَجَرَهُ اللهُ فِي مُصِيْبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

 

Tidaklah seorang hamba ditimpa suatu musibah lalu mengucapkan: ‘Sesungguhnya kami milik Allâh dan akan kembali kepada-Nya. Ya Allâh, berilah aku ganjaran dalam musibahku ini, dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang lebih baik daripadanya.’ Melainkan Allâh memberikan pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan untuknya dengan yang lebih baik daripadanya.[18]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا، إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ

 

Tidaklah seorang Muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya.[19]

Bisa jadi seseorang mempunyai kedudukan yang agung di sisi Allâh Azza wa Jalla , tetapi dia tidak mempunyai amal yang bisa mengantarkannya kepada kedudukan tersebut. Lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya sehingga dia pun layak mendapatkan kedudukan itu dan sampai kepadanya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكُوْنُ لَهُ عِنْدَ اللهِ الْمَنْزِلَةُ، فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَمَا يَزَالُ اللهُ يَبْتَلِيْهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ إِيَّاهَا

 

Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allâh, namun tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allâh senantiasa mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukannya itu.[20]

Di antara Hikmah Musibah yaitu Merupakan Jalan Menuju Surga

Surga tidak bisa diperoleh melainkan dengan sesuatu yang tidak disukai jiwa manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

 

Surga  itu dikelilingi dengan hal-hal yang  tidak disukai  dan  neraka itu dikelilingi  dengan  berbagai  macam syahwat.[21]

Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam hadits qudsi:

 

اِبْنَ آدَمَ ، إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلَى ، لَمْ أَرْضَ ثَوَابًا دُوْنَ الْجَنَّةِ

 

Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari ganjaran pada saat awal musibah (yang menimpa), maka Aku tidak meridhai pahala bagimu selain surga.[22]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللهُ تَعَالَى لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُم وَلَدَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُوْلُ اللهُ: اُبْنُوْا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.

 

Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan berkata kepada para Malaikat-Nya: ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?’ Para Malaikat menjawab: ‘Ya, benar.’ Setelah itu, Dia bertanya lagi: ‘Apakah kalian telah mengambil buah hatinya?’ Mereka pun menjawab: ‘Ya.’ Kemudian, Dia berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’ Mereka menjawab: ‘Dia memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râ­ji’ûn).’ Allâh Azza wa Jalla berfirman: ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku sebuah rumah di dalam Surga dan namailah dengan Baitul Hamd (rumah pujian).’”[23]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِيْ جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةَ

 

Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Tidak ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika Aku telah mencabut nyawa orang kesayangannya dari penduduk dunia kemudian dia mengharapkan pahala (dengan musibah itu), kecuali surga.’[24]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إِنَّ اللهَ l قَالَ: إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِيْ بِحَبِيْبَتَيْهِ، فَصَبَرَ {وَاحْتَسَبَ} عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ

 

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya, lalu dia bersabar {dan mengharapkan pahala}, maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.’[25]

Yang dimaksud dengan (dua hal yang dicintainya) adalah kedua matanya.

Atha’ bin Abi Rabah Radhiyallahu anhu berkata, “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pernah berkata kepadaku, ‘Maukah kutunjukkan kepadamu salah seorang wanita penghuni surga?’ Saya jawab, ‘Ya.’ Beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘(Yaitu) wanita yang hitam ini. Ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Aku terkena penyakit ayan, dan auratku selalu terbuka (jika penyakit itu kambuh), maka berdoalah kepada Allâh untukku.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Jika engkau mau, engkau harus bersabar dan bagimu adalah surga. Dan jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan kesembuhan kepadamu.’ ‘Aku bersabar,’ jawab wanita tersebut. Lalu, ia berkata lagi: ‘Sesungguhnya aku takut auratku akan terbuka, maka berdoalah kepada Allâh Azza wa Jalla bagiku agar auratku tidak terbuka.’ Maka, Beliau berdoa bagi wanita itu.”[26]

Wahai saudaraku yang sedang tertimpa musibah, nash-nash ini menunjukkan secara gamblang bahwa musibah, penyakit, kematian dan kesedihan merupakan sebab yang bisa mengantarkan kita ke surga. Karena itu kita wajib bersabar dan ridha atas semua musibah serta wajib bersyukur atas semua nikmat. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memasukkan kita semua kedalam surga dengan rahmat-Nya, amin.

FAWAA’ID HADITS

1.    Kebaikan dan keburukan sudah ditakdirkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

2.    Wajib beriman kepada takdir baik dan buruk.

3.    Seorang Muslim wajib mensyukuri semua nikmat yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya. Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita tidak akan dapat kita hitung.

4.    Syukur kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

5.    Kalau kita berpikir dengan akal yang waras dan hati yang sadar, maka kita mendapati bahwa diri kita pada hakikatnya belum bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenarnya.

6.    Orang Mukmin yang sempurna keimanannya dan tulus keyakinannya akan senantiasa bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika merasakan kegembiraan.

7.    Seorang Mukmin harus senantiasa memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar menjadi hamba yang selalu bersyukur kepada-Nya.

8.    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu sebuah do’a yang selalu dibaca di akhir shalat yang wajib:

اَللهم أَعِنِّيْ عَلَىٰ ذِكْرِكَ ، وَشُكْرِكَ ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

 

Ya Allâh, tolonglah aku untuk dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.[27]

9. Seorang Mukmin wajib bersabar dalam melaksanakan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

10. Hidup ini merupakan cobaan dan ujian. Maka konsekuensi dari segala macam cobaan dan ujian adalah sabar.

11. Orang Mukmin yang sempurna keimanannya akan senantiasa bersabar atas kesulitan, kesedihan ,musibah, penyakit dan lainnya yang menimpanya.

12. Sabar adalah ibadah yang sangat mulia. Seseorang meraih pahala dan surga dengan sabar.

13. Sabar bukan berarti pasrah, tapi sabar adalah berjuang melawan hawa nafsu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

14. Tingkatan ujian dan musibah yang menimpa manusia berbeda-beda tergantung kepada kehendak Allâh Yang Maha Mengetahui, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana.

15. Peringatan untuk selalu husnuz zhann (berprasangka baik) kepada Allâh dalam takdir (ketentuan)-Nya yang pahit bagi kita.

16. Terkadang seseorang tidak menyukai sesuatu padahal itu baik baginya, sebaliknya terkadang seseorang itu menyukai sesuatu padahal itu buruk baginya.

17. Tanda yang menunjukkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-Nya adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian dan cobaan (seperti musibah dan yang lainnya) kepadanya.

18. Penetapan adanya hikmah bagi Allâh Azza wa Jalla dalam perbuatan-perbuatan-Nya.

19. Balasan (baik dan buruk) disesuaikan dengan amalan seseorang.

20. Dorongan untuk bersabar atas musibah yang menimpa, karena bisa jadi musibah itu merupakan tanda kecintaan Allâh dan semakin besar musibah yang menimpa, maka semakin besar pula ganjarannya.

21. Seluruh perkara kehidupan seorang mukmin adalah baik. Pahala untuknya di sisi Allâh sama, baik yang tampak olehnya buruk maupun baik.

MARAAJI’:

1.    Kutubus sittah dan kitab-kitab hadits lainnya.

2.    Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilaly.

3.    Syifâ-ul ‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. II Dâr ash-Shumai’iy, th. 1434 H.

4.    ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id, th. 1436 H.

5.    Fat-hul Majîd lisyarhi Kitâbit Tauhîd, ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq DR. al-Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Aalu Furayyan, cet. VI, Dar Aalamil Fawaa`id, th. 1420 H.

6.    Al-Qaulus Sadîd fii Maqâshidit Tauhîd, oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.

7.    Fawâ-idul Fawâ-id oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet. Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.

8.    Tafsîr Ibni Katsir, cet. Dâr Thaybah.

9.    Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.

10.  Hikmah di Balik Musibah, karya penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.

_______

Footnote

[1] Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, I/82

[2] Syifâ-ul ‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, III/1083

[3] Lihat sebagian ayat tentang sabar: QS. Al-Baqarah/2:45, 153-157; QS. Ali ‘Imrân/3:142; QS. An-Nahl/16:126-127; QS. Luqmân/31:17; QS. Az-Zumar/39:10; QS. Al-Muzzammil/73:10, dan lainnya.

[4] Lihat juga al-Qur’an surat Ibrahim/14:5; QS. Luqmân/31:31 dan QS. Sabâ’/34:19

[5] Lihat ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 205) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id, th. 1436 H.

[6] ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 128) dan Fat-hul Majîd Syarah Kitâbit Tauhîd (II/604).

[7] Lihat al-Qaulus Sadîd fî Maqâshidit Tauhîd (hlm. 140) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.

[8] Lihat Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 149) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet. Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.

[9] Tafsîr Ibni Katsir (I/575), cet. Dâr Thaybah.

[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571  dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu

[11] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5641, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Abu Sa’id Radhiyallahu anhu

[12] Kata al-washab berarti rasa sakit yang terus-menerus. Dan kata ini ada pada firman Allâh Azza wa Jalla : وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ “…Dan bagi mereka siksaan yang kekal.” (Ash-Shâffât/37:9). Maksudnya, terus menerus. Lihat juga Syarh an-Nawawi (XVI/130).

[13] Dikatakan (menurut suatu pendapat), dengan memberikan harakat fat-hah pada huruf ya’ dan dhammah pada huruf ha’, yakni( يَهُمُّهُ ) artinya menyusahkannya. Dan ada juga yang mengatakan dengan memberikan harakat dhammah pada huruf ya’ dan fat-hah pada huruf ha’, yakni ( يُهَمُّهُ ) (Keduanya adalah benar. Lihat Syarh an-Nawawi (XVI/130)).

[14] Shahih: HR. Muslim, no. 2573 dari Sahabat Abu Sa’id Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .

[15] Hasan: HR. Ahmad, III/23 dan Ibnu Hibban, no. 692 – Mawârid). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (II/302), “Rawi-rawinya tsiqah.” Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Mawâridizh Zham-ân, no. 571

[16] Hasan shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2399; Ahmad, II/450; al-Hakim, I/346, IV/314 dan Ibnu Hibban (no. 697 – Mawâridizh Zham-ân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 2280 dan Shahîh Mawâridizh Zham-ân (no. 576).

[17] Shahih: HR. Al-Hakim, I/347-348 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 3393 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 1870

[18] Shahih: HR. Muslim, no. 918 [4]  dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha . Beliau Radhiyallahu anha berkata, “Tatkala Abu Salamah wafat, aku mengucapkan sebagaimana yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan aku, maka Allâh mengganti yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

[19] Shahih: HR. Muslim, no. 2572  dari Aisyah Radhiyallahu anha .

[20] Shahih: HR. Abu Ya’la, no. 6069; Ibnu Hibban, no. 693—Mawârid; dan al-Hakim, I/344. Ia berkata, “Sanadnya shahih.” Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâid, II/292, “Rawi-rawinya tsiqah.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 2599 dan Shahîh al-Mawârid, no. 572

[21] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6487 dan Muslim, no. 2822, 2823. Lafazh ini milik Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu

[22] Hasan: HR. Ibnu Majah, no. 1597. Maksud hadits di atas: Apabila seorang hamba ridha dengan musibah yang menimpanya, maka Allâh ridha memberikan pahala kepadanya dengan surga.

[23] Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 1021 dan Ibnu Hibban, no. 726 – Mawârid  dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu . Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1408

[24] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6424 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[25] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5653. Dan kata yang berada di antara dua kurung tersebut dari kitab Sunan at-Tirmidzi, no. 2401

[26] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5652 dan Muslim, no. 2576

[27] Shahih: HR. Ahmad, V/244-245, 247; Abu Dawud, no. 1522; an-Nasa-I, III/53; Ibnu Khuzaimah, no. 751; Ibnu Hibban, no. 2017, 2018–At-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Hakim, I/273; III/273-274) beliau menshahih-kannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu

https://almanhaj.or.id

 

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله