Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga
Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita.
Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun
ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama,
tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.
Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan
hal seperti ini di kitab-kitab fikih.
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban
setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan
qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban
beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik
radhiallahu’anhu, beliau berkata:
ضحَّى
رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ
وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk
salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang
yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al
Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).
Demikian
juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala
keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri
mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:
كانَ الرَّجلُ في عَهدِ
النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ
فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى
“Dahulu di masa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing
yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan
tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai
berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR.
Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu
Majah).
Syaikh Ibnu
Al Utsamin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban
atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:
لا.السنة أن يضحي رب البيت
عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه:
( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو
كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن
زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى
الله عليه وسلم
“Tidak.
Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap
anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban
dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari
berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI
berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”.
Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya
masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui
bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang
berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam“.
Beliau juga
mengatakan:
فإن قال قائل: لعل ذلك
لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من
أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية
“Jika ada
orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat
miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita
pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5)[1].
Dan perlu
diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah
Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah
berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa
menghanguskan pahala amalan. Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama
istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya
dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits
Abu Ayyub di atas disebutkan:
ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ
كما ترى
“Kemudian
setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”
Yaitu
menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.
Di sisi
lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang
berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu
keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:
والأصل في ذلك حديث أبي أيوب
كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك
وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا
إذا كان في نفقته وبيته
“Landasan
dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu
kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam
riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir
yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk
orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang
lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya'”
Sehingga
dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban
tidak mencukupi seluruh keluarga.
Walhasil,
kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan,
“wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang
lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban
melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan
terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.
Syaikh
Walid Saifun Nashr menjawab:
لا أعلم له أصلا
“Saya tidak
mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [2]
Syaikh Dr.
Aziz Farhan Al Anazi menjawab:
الأصل أن على ان أهل كل بيت
أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده
“Asalnya
tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab
untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada
istri-istri dan anak-anaknya” [3].
Adapun
mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah
seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban
terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan
tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Kesimpulannya,
yang lebih mendekati sunnah Nabi dan para sahabat, yang berqurban cukuplah
suami saja sebagai kepala keluarga. Tidak perlu dipergilirkan kepada anggota
keluarga yang lain. Dan tidak ada keutamaan khusus dengan mempergilirkan
demikian. Namun jika anggota keluarga yang lain berqurban atas nama dirinya,
itu pun boleh saja dan sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunnah Nabi dan
para sahabat sebagaimana telah dijelaskan.
Satu Qurban
untuk Satu Keluarga, Apa Maksud Satu Keluarga?
Wallahu
a’lam.
***
Catatan
kaki
[2] Kami
tanyakan melalui Whatsapp Messenger
Penulis: Yulian Purnama, S Kom
Artikel Muslim.or.id