Shaum sunnah yang
dianjurkan oleh Rosul SAW itu apa saja, dan keutamaan dan pahalanya
1. Puasa Daud
Bentuknya adalah puasa sehari dan berbuka
sehari. Puasa ini termasuk puasa sunnah yang paling
afdhal (utama)
dibandingkan dengan puasa-puasa sunnah lainnya
berdasarkan sabda nabi
SAW:
Shalat (sunnah) yang paling dicintai oleh Allah adalah
shalat (seperti) Nabi Daud as. Dan puasa (sunnah) yang
paling dicintai
Allah adalah puasa (seperti) Nabi Daud as. Beliau tidur
separuh malam,
lalu shalat 1/3-nya dan tidur 1/6-nya lagi. Beliau puasa
sehari dan
berbuka sehari.
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Puasalah sehari dan berbukalah sehari.
Itu adalah puasanya
nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku
menjawab,"Aku
mampu lebih dari itu." Nabi SAW bersabda,
"Tidak ada lagi yang lebih
utama dari itu." (HR Bukhari - Shahih Bukhori Juz 2
halaman 697 hadits
nomor 1875)
2. Puasa Asyura dan Tasu’a.
Yaitu puasa pada hari kesepuluh dan kesembilan bulan
Muharram, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Dari
Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi
Sufyan RA
berkata, "Wahai penduduk Madinah, di mana ulama
kalian? Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, "Ini hari Assyura, dan
Alloh tidak mewajibkan
shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum,
maka siapa yang
mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka
hendaklah ia
berbuka." (HR Bukhori 2003)
Juga ada hadits lainnya berikut ini:
Dari
Ibnu Abbas r.a, ia berkata, "Ketika Rasulullah SAW
tiba di kota Madinah
dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum
assyuraa,
beliau pun bertanya? Mereka menjawab, "Ini hari
baik, hari di mana
Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu
Musa shaum pada
hari itu. Maka Rasulullah SAW menjawab, "Aku lebih
berhak terhadap Musa
dari kalian, maka beliau shaum pada hari itu dan
memerintahkan untuk
melaksanakan shaum tersebut.""" (HR
Bukhori 2004)
Dari Ibnu Abbas
RA, ia berkata, "Pada saat Rasulullah SAW
melaksanakan shaum Assyura
dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya,
mereka berkata,
"Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah
hari yang
diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani."
Maka Rasulullah SAW
bersabda, "Insya Allah jika sampai tahun yang akan
datang aku akan
shaum pada hari kesembilannya." Ibnu Abbas berkata,
"Rasulullah SAW
meninggal sebelum sampai tahun berikutnya." (HR
Muslim 1134)
Rasulullah
SAW bersabda, "Shaumlah kalian pada hari assyura dan
berbedalah dengan
orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau
sehari
sesudahnya." (HR Thohawy dan Baihaqy serta Ibnu
Huzaimah 2095)
Adapun
keutamaan shaum tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam
hadits dari Abu
Qatadah, bahwa shaum tersebut bisa menghapus dosa-dosa
kita selama
setahun yang telah lalu. (HR Muslim 2/819)
Imam Nawawy ketika
menjelaskan hadits di atas beliau berkata, "Yang
dimaksud dengan
kafarah dosa adalah penghapus dosa-dosa kecil, akan
tetapi jika orang
tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan
shaum
tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun
tidak memiliki
dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang
tersebut di
sisi-Nya."
3. Puasa Hari Arafah dan Tarwiyah
Puasa
Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Zul-Hijjah,
sedangkan puasa
tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Zul-Hijjah.
Puasa sunnah itu
berdasarkan dalil berikut:
Puasa hari Arafah itu -ahtasibu alallah- bahwa dia itu
menggugurkan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. (HR Muslim)
Sedangkan dalil puasa 8 hari bulan Zulhijjah adalah sebagai
berikut:
Empat
hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW:
puasa hari
Asyura, puasa 1-8 Zulhijjah, 3 hari tiap bulan dan dua
rakaat sebelum
fajar. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Dari Ibni Abbas ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada amal yang lebih
dicintai Allah dari
hari ini, (yaitu 10 hari bulan Zulhijjah)." Mereka
bertanya, "Ya
Rasulullah SAW, dibandingkan dengan jihad fi
sabilillah?" "Meskipun
dibandingkan dengan jihad fi sabililllah." (HR
Jamaah keculai Muslim
dan Nasai Lihat Nailul Authar: 3/312).
Tidak ada hari dimana
Allah SWT membebaskan hamba-Nya dari api neraka
dibandingkan hari lain
kecuali pada hari Arafah. (HR Muslim).
4. Puasa 6 Hari pada Bulan Syawwal
Ketentuan
tentang masyru’iyah puasa sebanyak 6 hari di bulan
syawwal didasarkan
pada Rasulullah SAW yang shahih riwayat Imam Muslim.
Dari Abi
Ayyub Al-Anshari r.a. bahwa orang yang puasa Ramadhan
lalu dilanjutkan
dengan puasa 6 hari Syawwal, maka seperti orang yang
berpuasa setahun.
(HR Muslim).
Juga ada hadits lainnya yang juga menguatkan masyru’iyah
puasa Syawwal, yaitu hadits Tsauban berikut ini:
Dari
Tsauban r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasa
Ramadhan pahalanya
seperti puasa 10 bulan. Dan puasa 6 hari setelahnya
(Syawwal) pahalanya
sama dengan puasa 2 bulan. Dan keduanya itu genap
setahun."
Sebagian
kalangan Al-Hanafiyah tidak menganggapnya sunnah dan
merupakan pendapat
menyendiri dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah.
Diriwayatkan bahwa
Al-Imam Abu Hanifah menghukumi karahah puasa 6 hari
Syawwal baik
berturut-turut maupun tidak berturutan. Sedangkan Abu
Yusuf, salah
seorang ulama dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa
karahahnya
hanyalah bila puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan dengan
cara
berturut-turut. Sedangkan bila dilakukan dengan tidak
berturut-turut,
maka tidak makruh.
Namun para ulama Al-Hanafiyah dari kalangan
mutaakhirin tidak berpendapat sebagaimana pendapat
Al-Imam Abu Hanifah.
Mereka sebagaimana pendapat dari mazhab lainnya
menyatakan bahwa puasa
6 hari di bulan Syawwal itu memang hukumnya sunnah.
Sedangkan
jumhur fuqaha (mayoritas ulama fiqih) baik dari kalangan
Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah mapun Al-Hanabilah semua sepakat
mengatakan bahwa puasa
6 hari di bulan Sawwal itu hukumnya sunnah. Meskipun
mereka berbeda
pendapat tentang cara melakukannya.
Haruskah dilakukan berturut-turut atau tidak?
a. Asy-Syafi’iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan
bahwa afdhalnya
puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secara berturut-turut
selepas hari
raya Iedul Fithri. Yaitu tanggal 2 hingga tanggal 7
Syawwal. Dengan
alasan agar jangan sampai timbul halangan bila
ditunda-tunda.
b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi
kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan
apakah harus
berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh
dari segi
keutamaan. Dan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari
Syawwal ini
hukumnya tidak mustahab bila yang melakukannya adalah
orang yang tidak
puasa bulan Ramadhan.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan
kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6
hari syawwal
mengatakan bahwa lebih utama bila dilakukan dengan tidak
berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan 2 hari
dalam satu
minggu.
d. Mazhab Al-Malikiyah
Adapun kalangan fuqaha
Al-Malikiyah justru mengatakan bahwa puasa itu menjadi
makruh bila
dikerjakan bergandengan langsung dengan bulan ramadhan.
Yaitu bila
langsung dikerjakan mulai pada tanggal 2 Syawwal selepas
hari ‘Iedul
fithri. Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu
juga
disunnahkan di luar bulan Syawwal, seperti 6 hari pada
bulan Zulhijjah.
5. Puasa Ayyamul Biidh
Yaitu puasa pada tanggal 13, 14 dan 15 bulan-bulan
hijriyah (qamariyah). Berdasarkan dalil berikut ini:
Dari
Abu Zar Al-Ghifari ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Wahai Aba
Zarr, bila kamu puasa tiga hari dalam sebulan, maka
puasalah pada
tanggal 13, 14 dan 15."
Dari Qatadah bin Milhan bahwa Rasulullah
SAW memerintahkan kami untuk puasa pada hari-hari putih
(ayyamul
biidh), yaitu tanggal 13, 14 dan 15. Puasa di hari-hari
itu seperti
puasa selamanya.
6. Puasa Senin Kamis
Ketentuan tentang masyru‘iyah puasa Senin Kamis
didasarkan pada hadits yang di dalamnya ada komentar Rasulullah SAW tentang
munasabah-nya.
Yaitu pada hari Senin dan Kamis diserahkan amal manusia.
"Sesungguhnya
amal manusia itu diperlihatkan/dilaporkan setiap hari
Senin dan Kamis.
Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukimin,
kecuali
mutahajirin. Beliau berkata, "Akhir dari
keduanya." (HR Ahmad dengan
sanad shahih).
Rasulullah SAW juga ditanya tentang puasa hari
Senin. Beliau menjawab, "Itu hari kelahiranku dan
diturunkan wahyu."
(HR Muslim dan Ahmad) .
7. Puasa bulan Sya’ban
Rasulullah
saw paling banyak puasa Sunnah di bulan Sya’ban, beliau
mencontohkan
langsung kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di
bulan Syaban,
sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah r.a. berkata,
"Saya tidak melihat
Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan
Ramadhan. Dan
saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak
puasanya kecuali
pada bulan Sya’ban." (HR Muslim).
Bulan Sya’ban adalah bulan dimana amal shalih diangkat ke
langit. Rasulullah SAW bersabda:
Dari
Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya, "Wahai
Rasulullah saw, saya
tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak
melebihi bulan
Sya’ban." Rasul saw bersabda, "Bulan tersebut
banyak dilalaikan
manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat
amal-amal
kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya
diangkat sedang saya
dalam kondisi puasa." (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i
dan Ibnu Huzaimah)
Namun,
ada hadits lain yang melarang puasa Sya’ban jika sudah
masuk setengah
bulan menuju Ramadhan. Kecuali yang biasa puasa Senin
Kamis. Jadi pada
prinsipnya dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban
tapi jangan
disamakan dengan bulan Ramadhan.
Sumber : Eramuslim.com