Hadits Tentang Qurban Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa Sallam
Lafaz Hadits
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ
وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ
وَقَالَ: (( بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ
يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى )).
“Diriwayatkan
dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya menghadiri
shalat idul-Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mushalla
(tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan
didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama
Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum
menyembelih di kalangan umatku”
Takhrij
Hadits
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 11051, Imam Abu Dawud dalam
Sunan-nya no. 2812, Imam At-Tirimidzi dalam Sunan-nya no. 1521 dan yang
lainnya. Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini gharib”. Syaikh Al-Albani
menshahihkan Hadits ini dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan lainnya.
Faidah-faidah
Hadits
Di antara
faidah hadits ini adalah sebagai berikut:
1. Disunnahkannya
shalat idul-adha di mushalla, yaitu tanah lapang. Begitu pula dengan shalat
idul-fithri.
2.
Khutbah
‘id dilakukan setelah mengerjakan shalat ‘id.
3. Disunnahkannya
mendatangkan mimbar ke mushalla (tanah lapang) dan imam berkhutbah di atasnya
ketika shalat ‘id.
4.
Disunnahkan
menyegerakan penyembelihan setelah shalat id selesai dan tidak ada yang
menyembelih sebelum imam menyembelih.
5.
Disunnahkan
menyembelih sendiri untuk orang yang berqurban dengan kambing,
6.
Satu
kambing untuk penyembelihan satu orang.
7.
Disyariatkan
membaca: (بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ)
sebelum menyembelih.
8. Dibolehkannya
menyertakan orang lain dalam penyembelihan agar mendapatkan pahala juga,
seperti keluarga dan orang-orang yang telah meninggal. Karena lafaz hadits ini
umum.
9. Sebagian
ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa berqurban tidak wajib, karena
ada di antara umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak
berqurban.
Syariat
berqurban/Udhhiyah (الأضحية)
Allah subhanahu
wa ta’ala mensyariatkan qurban. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163) }
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)” (QS Al-An’am: 162-163)
Hukum
berqurban, wajibkah?
Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum berqurban. Jumhur ulama, yaitu: madzhab Imam
Malik, Imam Asy-Syafii, Imam Ahmad dan yang lainnya menyatakan sunnahnya.
Madzhab Imam Asy-Syafii mengatakan sunnah muakkadah (sangat ditekankan dan
diusahakan tidak ditinggalkan kecuali ada ‘udzur). Sedangkan madzhab Imam Abu
Hanifah mengatakan wajibnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( مَنْ وَجَدَ
سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا. ))
“Barang
siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia
mendekati tempat shalat kami.”1
Para ulama
hadits berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ini. Dan mereka juga berbeda
pendapat dalam menghukumi hadits yang diriwayatkan dari Mikhnaf bin Sulaim
Al-Ghamidi radhiallahu ‘anhu:
( كُنَّا وُقُوفًا
مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
بِعَرَفَاتٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَى كُلِّ أَهْلِ
بَيْتٍ فِى كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ. هَلْ تَدْرِى مَا الْعَتِيرَةُ؟
هِىَ الَّتِى تُسَمَّى الرَّجَبِيَّةُ.))
“Kami
berwuquf di ‘Arafah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya mendengar
beliau berkata, ‘Wahai manusia! Setiap satu keluarga di setiap tahun harus
menyembelih dan juga Al-‘Atiirah. Apakah kamu tahu apa itu Al-‘Atiirah? Dia
adalah yang dinamakan Ar-Rajabiyah2.”3
Syaikh
Al-Albani menshahihkan hadits ini. Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-Abbad
mendha’ifkannya dalam penjelasan beliau terhadap Sunan Abi Dawud.
Jika
ternyata kedua hadits ini shahih atau hasan, maka ini menjadi dalil yang sangat
kuat untuk mengatakan bahwa hukum berqurban adalah wajib setiap tahun untuk
orang yang memiliki kelapangan.
Akan tetapi
terdapat atsar dari Abu Bakr, Umar bin Al-Khaththab dan Abu Mas’ud Al-Anshari
radhiallahu ‘anhuma yang menunjukkan bahwa mereka berdua sengaja meninggalkan
berqurban agar ibadah tersebut tidak dianggap wajib oleh kaum muslimin4.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
(( إِذَا دَخَلَتِ
الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ
وَبَشَرِهِ شَيْئًا.))
“Jika telah
masuk sepuluh hari (pertama di bulan Dzul-hijjah) dan seorang di antara kalian
ingin menyembelih, maka janganlah dia mengambil sedikit pun dari rambut dan
tubuhnya.”5
Wallahu
a’lam bishshawab.
Sikap yang
sebaiknya kita ambil dalam permasalahan seperti ini adalah bersikap hati-hati
(wara’). Seandainya pendapat yang mewajibkannya benar, maka kita selamat dari
dosa meninggalkannya. Kalaupun ternyata salah, maka kita telah mengerjakan
amalan sunnah dan syiar Islam.
{ ذَلِكَ وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
}
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS Al-Hajj : 32)
Apa batas
kelapangan sehingga seseorang sangat dianjurkan untuk menyembelih?
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini. Di dalam madzhab Imam Syafii, seseorang
dikatakan memiliki kelapangan apabila dia memiliki nafkah untuk diri dan
keluarga yang ditanggungnya pada hari idul-adhha dan ketiga hari tasyriq
(tanggal 11, 12 dan 13 Dzul-hijjah). Allahu a’lam bishshawab. Jika semua orang
yang memiliki kelapangan mau berqurban insya Allah daging qurban akan melimpah
di masyarakat kaum muslimin, sehingga seluruh kaum muslimin bergembira dengan
hari raya qurban ini.
Bolehkah
orang yang berqurban mengikutkan pahalanya untuk keluarganya?
Boleh,
sebagaimana dilakukan oleh para sahabat di zaman dahulu. Diriwayatkan dari Abu
Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata:
(كَانَ الرَّجُل فِي
عَهْد النَّبِيّ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْل بَيْته فَيَأْكُلُونَ
وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاس فَصَارَ كَمَا تَرَى.)
“Dulu
pernah ada seorang laki-laki di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih kambing untuk dirinya dan keluarga, kemudian mereka pun makan dan
memberi makan (orang lain), kemudian orang-orang berlomba-lomba untuk
melakukannya, hingga menjadi seperti yang engkau lihat”6
Lafaz-lafaz
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak menyembelih hewan qurban
Diwajibkan
mengucapkan (بسم الله)/bismillah ketika
menyembelih dan disunnahkan menambahkannya dengan (والله
أكبر)/wallahu akbar.
Ada beberapa
riwayat yang menunjukkan lafaz penyembelihan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antaranya:
Hadits yang
sedang kita bahas ini.
(بِاسْمِ اللَّهِ
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ)
/Dengan
nama Allah. Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan Umat
Muhammad.7
(بِسْمِ اللهِ
وَاللهُ أَكْبَرُ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ مَنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ
وَشَهِدَ لِي بِالْبَلاَغِ)
/Dengan
nama Allah. Ini dari Muhammad dan umatnya yang bertauhid kepada-Mu dan bersaksi
bahwa aku telah menyampaikan (risalah).8
Dan ada
beberapa lafaz lagi yang mirip dengan di atas, sebagian riwayatnya lemah
(dha’if).
Hukum
mengucapkan nama orang yang berqurban
Disunnahkan
mengucapkan nama-nama orang yang berqurban jika dia mewakilkannya kepada orang
lain. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib9, Ibnu
‘Abbas10, Al-Hasan Al-Bashri11 bahwa mereka menyembelih dengan mengucapkan
tambahan lafaz “(اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ)/Ya
Allah terimalah dari si Fulan.” Hadits yang sedang kita bahas ini terdapat
keumuman bahwa Rasulullah mengucapkan qurbannya tersebut untuk dirinya dan
orang lain.
Hukum
berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia
Berqurban
untuk orang yang sudah meninggal dunia terbagi menjadi tiga macam:
Orang yang
hidup mengikutkan pahala berqurban untuk orang-orang yang telah meninggal
dunia.
Orang yang
sebelum meninggal dunia, berwasiat untuk berqurban.
Mengkhususkan
hewan qurban untuk orang yang sudah meninggal dunia.
Untuk macam
pertama dan kedua para ulama membolehkannya. Akan tetapi untuk macam yang
ketiga terjadi perselisihan di kalangan ulama. Jumhur ulama memandang tidak
bolehnya, sedangkan madzhab Imam Ahmad memandang hal tersebut diperbolehkan.
Allahu
a’lam, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut
diperbolehkan. Pendapat inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah,
kemudian ulama-ulama abad ini seperti: Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin.
Dalil yang
menunjukkan hal tersebut di antaranya hadits yang sedang kita bahas ini dan
hadits-hadits yang lainnya yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengikutkan orang-orang yang telah meninggal dunia di
dalam penyembelihannya. Dalil ini bersifat umum akan kebolehan berqurban untuk
orang yang telah meninggal dunia.
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia termasuk jenis sedekah untuk orang yang
telah meninggal dunia. Dan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia
diperbolehkan oleh para ulama.
Akan
tetapi, orang yang berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia, tidak
boleh mengambil sedikit pun dari hewan qurban tersebut, karena dia telah
meniatkannya sebagai sedekah.
Imam
At-Tirmidzi berkata:
وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ
اْلعِلْمِ أَنْ يُضَحِّىَ عَنِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحِّىَ
عَنْه, وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ: أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَتَصَدَقَ
وَلَا يُضَحِّى عَنْه وَإِنْ ضَحَّى فَلَا يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقْ
بِهَا كُلَّهَا
“Sebagian
ahli ilmu memberikan rukhshah (keringanan) untuk berqurban untuk orang yang
sudah meninggal, sebagian lagi mengatakan tidak boleh. ‘Abdullah bin Al-Mubarak
berkata, ‘Yang lebih aku sukai adalah dia cukup bersedekah dan tidak berqurban.
Apabila dia berqurban (untuk orang yang telah meninggal) maka dia tidak boleh
makan sedikit pun darinya, dia harus mensedekahkan seluruhnya.”12
Kalau kita
perhatikan perkataan Abdullah bin Al-Mubarak di atas, kita bisa memahami bahwa
menyembelih untuk orang yang sudah meninggal diperbolehkan tetapi hukumnya
tidak sunnah. Dan beliau lebih menyukai bersedekah untuk orang yang sudah
meninggal daripada menggantikan sedekah tersebut dengan qurban. Allahu a’lam,
pendapat inilah yang rajih (lebih kuat).
Demikian.
Mudahan tulisan ini bermanfaat.
Catatan
Kaki
1 HR Ahmad
dalam Musnad-nya no. 8273, Ad-Daruquthni dalam Sunannya no. 4762 dan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak 7565. Di dalam sanad Ahmad dan Al-Hakim terdapat Abdullah
bin ‘Ayyasy, dia shaduq yaghlath sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam
At-Taqrib, di dalam sanad Ad-Daruquthni terdapat ‘Amr bin Al-Hushain dan Ibnu
‘Ulatsah keduanya matruk. Kedua jalur yang seperti ini tidak bisa saling
menguatkan sehingga dzhahir sanad hadits ini lemah. Syaikh Al-Albani mengatakan
hadits ini hasan dalam Takhrij Musykilail-Faqr no. 102. Sedangkan para imam
seperti At-Tirmidzi, Ibnu ‘Abdl-Barr, Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar merajihkan
hadits tersebut mauquf. (As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi no. 19485, Bulughul
maram).
2 Maksudnya
sembelihan di awal bulan Rajab. Allahu a’lam Jumhur ulama memandang tidak
disunnahkan menyembelih di bulan Rajab karena ada hadits yang menghapuskan
(me-naasikh) hukumnya. Untuk penjelasan lebih lanjut silakan melihat buku-buku
penjelasan (syarh) hadits ini.
3 HR Abu
Dawud no. 2790, At-Tirmidzi no. 1518 dan Ibnu Majah no. 3125. Abu Dawud
berkata, “Al-‘Atiirah dihapuskan hukumnya (mansukh). Khabar (hadits) ini
mansukh.”
4 Lihat
Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar lil-baihaqi no. 5832 dan 5833.
5 HR Muslim
no. 1977.
6 HR
At-Tirmidzi no. 1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
7 HR Muslim
1967.
8 HR Musnad
Abi Ya’la no. 1792.
9 Lihat
Syu’abul-Iman. Imam Al-Baihaqi. Hadits no. 6958.
10 Lihat
As-Sunan Al-Kubra. Imam Al-Baihaqi. Hadits no. 19642.
11 Lihat
Al-Mathalib Al-‘Aliyah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Hadits no. 2367.
12 Lihat di
dalam Sunan At-Tirmidzi di bawah hadits no. 1495.
Daftar
Pustaka
Ahkamul-Udhhiyah
wadz-Dzakah. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Al-Mufashshal
fi Ahkamil-Udhhiyah. Hisamuddin ‘Afanah.
Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Wizarah Al-Auqaf Wasy-Syu-un Al-Islamiyah.
Ahadits fi
Masyru’iyatil-‘Udhhiyah wal-Amru biha. www.assunnah.org.sa . tanpa disebutkan nama penulisnya.
Buku-buku
hadits dalam catatan kaki dan lain-lain sebagian besar sudah dicantumkan di
footnotes.
—
Artikel Muslimah.Or.Id
Penulis: Ustadz Sa’id Ya’i Ardiansyah, Lc., M.A.
0 komentar:
Posting Komentar