Sibuk Hitung Pahala
Malah Lupa Beribadah
Hidayatullah.com–Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali pernah
mengingatkan, orang yang tertipu di akhirat kelak adalah orang yang jika
berbuat baik, dia berkata, “Akan diterima amal kebaikanku”. Jika berbuat
maksiat, dia berkata:”Akan diampuni dosaku.” (Ihya Ulmuddin).
Saat beribadah, kerap kita didatangi perasaan, “Telah
banyak ibadah yang saya kerjakan”, atau pertanyaan, “Berapa rupiah uang yang
sudah saya sedekahkan”. Bahkan sering juga hati bergumam, “Kiranya semua
dosa-dosaku pasti telah diampuni, karena aku shalat sunnah sekian kali setiap
hati”.
Perasaan, angan-angan dan pertanyaan seperti tersebut di
atas bisa merusak amal perbuatan. Bahkan bisa berakibat meremehkan (tahawun)
perbuatan dosa.
Sehingga, ibadahnya bisa menjadi sia-sia. Sebab, semangat
ibadahnya bukan lagi karena takwa kepada Allah SWT, tapi ingin jadi kaya atau
ingin disebut ahli ibadah.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW di atas, orang seperti
tersebut di atas disebut rakus. Beribadah banyak tanpa disertai pengetahuan
ancaman-ancaman Allah SWT dalam al-Qur’an. Ancaman-Nya dianggap lalu saja.
Rasulullah SAW member gambaran: “Sesungguhnya orang
mukmin itu memandang dosa-dosanya seperti orang yang berdiri di bawah gunung,
yang mana dia (sentiasa) rasa takut yang gunung itu nanti akan
menghempapnya,dan orang yang keji pula memandang dosa-dosa mereka seperti
seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, yang berkata : dengan hanya begini
sahaja (iaitu dengan hanya ditepis dengan tangan sahaja) maka dengan mudah
sahaja lalat itu terbang. “ (HR. Bukhari Muslim)
Imam al-Ghazali mengingatkan, meremehkan dosa dan over
confident terhadap amal perbuatannya adalah sangat berbahaya. Sebab katanya,
orang yang sibuk menghitung-hitung pahala biasanya lupa terhadap banyaknya
dosa.
Orang seperti ini akan mendapatkan kekecewaan di akhirat.
Ketika di dunia ia lupa mengkalkulasi berapa banyak dosa yang telah dilakukan,
sehingga dosa-dosanya lupa dimintakan ampun kepada Allah SWT. Ia hanya sibuk
mengkalkulasi jumlah shalat, zakat, puasa dan sedekah yang dilakukan.
a tidak mengetahui seberapa besar kalkulasi pahalanya
jika dibanding dosanya. Maka, saat di akhirat ia menyangka membawa pahala,
padahal pahalanya berguguran sementara dosanya menumpuk. Inilah fenomena yang
disinyalir akan banyak terjadi pada akhir zaman.
Maka dalam beribadah kita mesti memiliki pengetahuan
seimbang antara kabar baik dan ancaman Allah SWT. Ancaman-ancaman Allah yang
tersebut dalam al-Qur’an harus menjadi perhatian kita, agar tidak terjebak di
dalamnya. Sementara orang yang hanya berfokus pada jumlah pahala (kabar baik)
disebut sebagai jahil. Tidak mengetahui bahwa setiap harinya diawasi oleh
Malaikat Raqib dan ‘Atid yang mencatat kebaikan dan keburukan.
Kita pun terkadang terlalu ‘asyik’ melafalkan huruf demi
huruf al-Qur’an, tapi lupa isi dan pelajaran di baliknya. ‘Keasyikan’ itu
menimbulkan kebanggaan hati, bahwa ia telah melakukan amal baik – yaitu membaca
al-Qur’an sebanyak-banyaknya.
Pernahkan terbesit di dalam hati kita kata-kata ini:
“Alhamdulillah, sudah sekian kali al-Qur’an telah aku khatamkan. Pasti aku
masuk surga”. Ini kata-kata yang menipu. Memastikan diri ini cukup berbahaya.
Bisa menimbulkan ‘ujub, bahkan melalaikan dosa.
Fenomena ini pernah terjadi pada masa umat nabi Musa a.s,
seperti tertulis dalam al-Qur’an: “…Maka datanglah sesudah mereka, yaitu
generasi yang mewarisi Taurat, yang menghambil harta benda dunia yang rendah
ini, seraya berkata: ‘Kami akan diberi ampunan oleh Allah.’” (QS. Al-A’raf:
169). Generasi tersebut, berbuat dosa akan tetapi merasa mereka diampuni oleh
Allah.
Imam al-Ghazali menjelaskan : “Jika kita terlena
menghitung pahala tetapi dosa-dosa dilupakan. Maka kita menjadi orang tertipu
terhadap amal kita sendiri. Pada hari penghitungan amal, kita akan terkejut.
Sebab ternyata timbangan amal lebih berat daripada pahala yang kita
sangka-sangka telah menumpuk.”
Maka, jangan kita tertipu oleh perasaan diri kita
sendiri. Yang perlu kita lakukan, bukan asyik mengkalkulasi pundi-pundi pahala.
Setelah beramal, biarlah kita serahkan kepada-Nya. Allah SWT Maha Bijaksana,
Dia yang mengatur pahala kita secara adil. Jangan pula buru-buru mengatakan
“Saya telah ikhlas!”. Biasanya orang yang terang-terangan berkata demikian
justru sebaliknya, tidak ikhlas, sebab membawa perasaan ‘ujub di hatinya.
Agar tidak terjebak, kita harus mengkalkulasi dosa yang
telah kita perbuat. Sempatkanlah satu waktu dalam sehari untuk menghitung,
berapa kali dosa yang telah kita perbuat sehari ini. Jika tidak ada kalkulasi
dosa, kita akan terus merasa tidak pernah berbuat dosa.
Allah SWT berfirman: “Tidak ada satu kata pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qaaf:
18). Perasaan selalu diawas ini akan menjadikan kita orang yang selalu
berhati-hati dalam beribadah. Tidak asal ibadah, tapi tahu ilmu tentang ibadah.
Kita boleh saja memikirkan pahala-pahala dari ibadah,
akan tetapi hal itu jangan sampai membuat kita terlena dengan
keutamaan-keutamaannya (fadlilah). Keutamaan ini menjadi penyemangat kita bukan
memperlemah. Mengetahui keutamaan ibadah sekaligus memahami akibat dari
melakukan dosa. Inilah keseimbangan yang perlu dijaga dalam beribadah.
Rep: Kholili Hasib
Editor: Cholis
Akbar
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Hadir dan Menangkan hadiah nya tempat bermain poker 8 game dengan hanya 1 userid saja sudah bisa menikmati permainan kami di arenadomino(com)
silahkan langsung daftarkan diri anda bersama kami dengan pelayanan 24jam dan proses cepat yang kami berikan untuk kenyamanan anda semua dalam bermain di tempat kami segera bergabung peluang menang menunggu anda...
WA +855 96 4967353
Posting Komentar