Perintah Mensucikan
Hati dan Keutamaannya
Allah berfirman yang artinya, “(Yaitu) pada hari harta
dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)
Ibnu Katsir berkata, “‘(Yaitu) pada hari harta dan
anak-anak laki-laki tidak berguna’ Artinya, harta seseorang tidak akan bisa
menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan
emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya
tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus
dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya. Yang
bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan
peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para
pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ Yaitu, hati yang terhindar dari
kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”
Imam asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa
memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan
manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat
adalah hati seorang mukmin yang sejati.”
Ayat-Ayat yang Lain
1. Allah berfirman,
“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya
dengan hati yang suci.” (QS. ash-Shaffat: 84)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya,
“Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan,
syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui
kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari
hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala
keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan
kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia
selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari
berbagai bentuk akhlak yang tercela.”
2. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyanyang.'” (QS. al-Hasyr: 10)
Imam asy-Syaukani berkata tentang ayat di atas yang
maknanya bahwa yang dimaksud orang-orang yang datang setelah para sahabat
adalah semua orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Dalam ayat ini
Allah memerintahkan mereka untuk memohon ampunan untuk diri mereka sendiri dan
juga untuk para pendahulu mereka yang telah mendahului mereka dalam beriman.
Allah juga memerintahkan mereka untuk berdoa kepada-Nya agar dihilangkan dari
hati mereka perasaan ghill, yaitu rasa dendam, dongkol, dan dengki terhadap
kaum mukminin -dan tentunya yang menduduki peringkat utama dalam golongan kaum
mukminin adalah para sahabat karena merekalah generasi paling mulia dari umat
ini.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Doa ini berlaku
secara umum untuk semua kaum mukminin baik dari kalangan sahabat atau umat
sebelum sahabat atau generasi-generasi setelah sahabat. Dan ini termasuk di
antara keutamaan-keutamaan iman, yaitu bahwa kaum mukminin itu saling memberi
manfaat satu sama lain, saling mendoakan satu sama lain. Semua itu karena
adanya kebersamaan dalam keimanan yang berimplikasi adanya ikatan ukhuwwah
antar mukmin, yang di antara cabangnya adalah saling mendoakan dan saling
mencintai antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, Allah menyebutkan
dalam doa tersebut permintaan dihilangkannya rasa ghill dari hati mereka,
sedikit ataupun banyak. Apabila sifat ghill tersebut telah hilang dari hati,
maka akan muncul sifat yang menjadi lawan dari sifat tersebut, yaitu rasa cinta
antara sesama mukmin, saling menolong dan menasehati, serta sifat-sifat terpuji
lainnya yang termasuk hak-hak orang mukmin yang harus ditunaikan.”
Hadits-Hadits Rasulullah
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau
berkata, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah
orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya
dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah
kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih
hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada
Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta
tidak ada pula dendam dan hasad.'” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 4216 dan
Thabarani, dan dishahihkan oleh Imam Albani di dalam Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah)
2. Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata,
“Rasulullah bersabda, ‘… Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada
segumpal darah. Apabila dia baik, maka menjadi baik pula semua anggota
tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya.
Ketahuilah dia itu adalah hati.'” (Muttafaq ‘alaihi)
3. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata,
“Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah. Tiba-tiba beliau berkata,
‘Akan lewat di hadapan kalian saat ini seorang calon penghuni surga.’ Lalu
lewatlah seorang pemuda Anshar dalam keadaan dari jenggotnya menetes sisa-sisa
air wudhu dan tangan kirinya menenteng sandal. Pada keesokan harinya,
Rasulullah bersabda lagi persis sebagaimana sabdanya kemarin, lalu lewatlah
pemuda tersebut dengan keadaan persis dengan keadaannya yang kemarin. Dan pada
hari yang ketiga Rasulullah mengulang lagi sabdanya seperti sabdanya yang
pertama dan pemuda itu pun muncul lagi dengan keadaan seperti keadaannya yang
pertama. Maka, ketika Rasulullah beranjak pergi, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
segera mengikuti pemuda tersebut (ke rumahnya), lalu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya
antara aku dan bapakku telah terjadi perselisihan, maka aku bersumpah tidak
akan masuk ke rumahnya selama 3 hari. Jika engkau tidak keberatan, aku ingin
menumpang padamu selama 3 hari tersebut.’ Pemuda tersebut berkata, ‘Ya, tidak
apa-apa.'”
Selanjutnya Anas berkata, “Maka Abdullah menceritakan
bahwa selama 3 hari bersama pemuda tersebut, dia tidak melihatnya melakukan
qiyamul lail (shalat malam) sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah bertakbir dan
berzikir setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas tempat tidurnya sampai
dia bangun untuk shalat shubuh. Selain itu, Abdullah berkata, ‘Hanya saja, aku
tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik. Setelah 3 hari
berlalu dan hampir saja aku meremehkan amalannya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai
hamba Allah, sebenarnya tidak pernah ada pertengkaran antara aku dengan
bapakku, dan tidak pula aku menjauhinya. Sebenarnya, aku hanya mendengar
Rasulullah berkata tentang engkau tiga kali, ‘Akan muncul di hadapan kalian
saat ini seorang laki-laki calon penghuni surga.’ Dan ternyata engkaulah yang
muncul sebanyak 3 kali itu. Karena itu, aku jadi ingin tinggal bersamamu agar
aku bisa melihat apa yang engkau lakukan untuk kemudian aku tiru. Akan tetapi,
aku tidak melihat engkau melakukan amalan yang besar. Lantas, amalan apa
sebenarnya yang bisa menyampaikan engkau kepada kedudukan sebagaimana yang
dikatakan oleh Rasulullah?’ Orang tersebut berkata, ‘Aku tidak melakukan
kecuali apa yang kamu lihat.’ Maka ketika aku telah berpaling (pergi), dia memanggilku
dan berkata, ‘Sebenarnyalah aku memang tidak melakukan apa-apa selain yang
engkau lihat. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah merasa dongkol dan dendam
kepada seorang pun dari kaum muslimin, serta tidak pernah menyimpan rasa hasad
terhadap seorang pun terhadap kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya.’
Maka Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang membuatmu sampai pada derajat
tinggi, dan inilah yang tidak mampu kami lakukan.'” (HR. Ahmad)
Perkataan Para Salaf
1. Abu Dujanah berkata, “Tidak ada sebuah amalan yang
paling aku yakini bisa memberi manfaat bagiku di akhirat selain dua perkara.
Yang pertama, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku.
Dan yang kedua, selamatnya hatiku terhadap kaum muslimin.” (Siyar A ‘lam
an-Nubala’ I/243).
2. Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu
Bisyr -dan dia termasuk di antara murid-murid Ali bin Abu Thalib-, ‘Beri tahu
kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita.’ Dia berkata, ‘Mereka sedikit
beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak.’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa
demikian?’ Dia berkata, ‘Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka.'” (Az-Zuhud
II/600).
3. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan bisa
mengejar kami orang yang mengejar dengan memperbanyak puasa dan shalat, akan
tetapi kami hanya bisa dikejar dengan bermurah hati dan selamatnya hati dan
memberi nasehat kepada umat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/225).
4. Ibnul Qayyim berkata, “Jadi, hati adalah ibarat raja
bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh
hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati. Anggota tubuh tidaklah akan
melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi,
hati tersebut merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang
pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Jika demikian adanya, maka
upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan
meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan
penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang
paling besar.” (Ighatsah al-Lahfan halaman 5).
Di tempat yang lain beliau berkata, “Jenis hati yang
ketiga adalah hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun berpenyakit. Dengan
begitu, di dalam hati tersebut terdapat dua unsur, di mana unsur yang pertama
terkadang mengalahkan yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan hati
sendiri akan mengikuti yang menang di antara keduanya.
Di dalam hati tersebut terdapat perasaan cinta dan iman
kepada Allah, ikhlas dan bertawakkal hanya kepada-Nya. Semua itu merupakan
unsur kehidupan hati. Namun, di dalam hati tersebut juga terdapat perasaan
cinta kepada syahwat, lebih mementingkan syahwat dan berupaya untuk
memperturutkannya, dan terdapat pula rasa hasad, sombong, ujub, dan ambisi
untuk menjadi orang yang paling unggul, serta bertindak semena-mena di muka
bumi dengan kekuasaan yang dimiliki. Semua itu merupakan unsur yang akan
membuat diri hancur dan binasa.”
Beliau juga berkata, “Karena itu, surga tidak bisa
dimasuki oleh orang-orang yang berhati kotor, dan tidak pula bisa dimasuki oleh
orang yang di hatinya terdapat noda-noda dari kotoran tersebut. Barangsiapa
yang berusaha untuk mensucikan hatinya di dunia, lalu menemui Allah (mati)
dalam keadaan bersih dari najis-najis hati, maka dia akan memasuki surga tanpa
penghalang. Adapun tentang orang yang belum membersihkan hatinya selama di
dunia, maka jika najis hati tersebut najis murni -seperti hatinya orang-orang
kafir-, maka dia tidak bisa masuk surga sama sekali. Dan jika najis tersebut
sekadar noda-noda yang mengotori hati, maka dia akan memasuki surga tersebut
setelah dia disucikan di dalam neraka dari najis-najis tersebut.”
5. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah
apabila menghendaki kebaikan pada seseorang, maka dia akan dibuat mengetahui
aibnya. Barangsiapa yang mempunyai mata hati yang tajam, maka tidak akan
tersembunyi baginya aib-aib dirinya, dan apabila dia telah mengenali
aib-aibnya, maka memungkinkan baginya untuk mengobatinya penyakit-penyakit
tersebut. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenal aib-aib dirinya sendiri.
Mereka bisa melihat kotoran yang ada di mata saudaranya, tetapi tidak bisa
melihat anak sapi yang ada di matanya sendiri.”
Di tempat yang lain beliau berkata, “Barangsiapa yang
mengenal hatinya, maka dia akan mengenal Rabbnya. Sayangnya, kebanyakan manusia
tidak mengenali dirinya sendiri. Allah-lah yang menghalangi antara seseorang
dengan hatinya, dan penghalang tersebut berupa ketidakmampuan seseorang
mengenali hatinya dan terhalangnya dirinya dari mengawasi hatinya, padahal
mengenali hati dan sifat-sifatnya adalah merupakan pokok agama.”
Penutup
Kita akhiri pembahasan ini dengan doa yang diajarkan oleh
Rasulullah: Allohumma aati nafsii taqwaahaa wa zakkihaa anta khoiru man zkkaahaa.
Aamiin. “Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah ia
karena Engkaulah sebaik-baik zat yang bisa membersihkannya.” Amin.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Player vs Player WOW langsung saja kunjungin kami di ARENADOMINO tempat bermain Poker dan kartu yang sangat menyenangkan dan hadiah nyata menanti anda semua.. WA +855 96 4967353
Posting Komentar