ASAS PENETAPAN
HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ
مَا لَا تَعْلَمُونَ
Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya
menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang
tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169]
PENJELASAN
AYAT:
KAUM
MUKMININ DIPERINTAH UNTUK MENGKONSUMSI YANG HALAL DAN BAIK
Melalui
ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memanggil seluruh umat manusia, baik yang beriman
ataupun manusia yang kufur kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan mereka
akan anugerah berupa perintah kepada mereka untuk memakan apa saja yang ada di
bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan, serta daging
hewan dan binatang dengan dua kriteria: حَلاَلاً
(yang dihalalkan bagi mereka), bukan barang yang diharamkan atau didapatkan
melalui cara yang haram seperti ghashab, mencuri dan lainnya. Kedua, طَيَّباً (yang baik), maksudnya bukan barang yang
khabîts (buruk) seperti bangkai, darah, daging babi dan barang-barang bersifat
buruk lainnya. [1]
Maksud
sesuatu yang halal adalah segala yang diizinkan oleh Allah. Sementara makna
thayyib, yaitu segala yang suci, tidak najis dan tidak menjijikkan yang dijauhi
jiwa manusia. Dengan demikian, dzat makanan (dan minuman) tersebut baik, tidak
membahayakan tubuh dan akal mereka. [2]
Pada ayat
lain, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah semakna secara khusus kepada
kaum Mukminin semata dengan berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allâh, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu beribadah [al-Baqarah/2:172].
Di sini,
Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah ini secara khusus kepada kaum Mukminin
karena mereka sajalah pada hakekatnya yang dapat mengambil manfaat dari
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, didorong keimanan mereka
kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang
baik-baik dari rezeki yang diberikan kepada mereka dan bersyukur kepada Allâh
Azza wa Jalla atas kenikmatan yang tercurahkan dengan cara mempergunakannya
dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan bekal untuk tujuan itu.
Bila
pandangan kita arahkan pada ayat ini, perintah mengkonsumsi makanan yang
tertuang di dalamnya hanya mempersyaratkan makanan yang baik-baik saja, tidak
menyinggung status halalnya. Hal ini dikarenakan keimanan yang tertanam pada
kalbu seorang Mukmin akan menghalanginya mengambil sesuatu yang tidak halal.[3]
Demikianlah
semestinya seorang Mukmin, selalu memastikan apa yang masuk ke perutnya adalah
barang-barang halal, menghindari sesuatu yang masih meragukan dan mencurigakan
agar terhindar dari yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Dan jangan pernah
berpikir untuk memakan makanan haram atau mencarinya dengan cara-cara yang
terlarang. Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri berpesan, “(Ayat ini menunjukkan)
kewajiban (seorang Mukmin) mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya
saja dalam hidup meskipun dalam kondisi sulit”.[4]
Dengan
rahmat dan kasih-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberi ruang gerak yang lebih luas
bagi manusia untuk memilih makanan dan minuman. Ini lantaran makanan yang
diharamkan jauh lebih sedikit ketimbang yang dihalalkan. Di pasar tradisional
misalnya, bila dibandingkan jumlah dagangan yang halal dengan jualan yang
dilarang, tentu lebih banyak yang pertama, bahkan jauh lebih banyak. Walillâhil
hamd.
ASAS
PENGHALALAN DAN PENGHARAMAN DALAM ISLAM
Syariat
Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan makanan selalu mempertimbangkan
kemaslahatan dan madharat (bahaya). Segala yang diharamkan pastilah mengandung
seratus persen bahaya atau memuat unsur bahaya yang dominan.[5] Demikianlah
diantara keistimewaan syariat Islam, karena bersumber dari Allâh Azza wa Jalla
, Dzat Yang Maha Bijaksana (al-Hakîm) dan Maha Mengetahui (al-‘Alîm) akan
segala kemaslahatan bagi hamba.
Selain dua
ayat yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa ayat lain yang menggariskan
dan menerangkan asas dan manhaj Islam dalam penetapan halal dan haramnya satu
makanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ
صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
Allâhlah
yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan
membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta member kamu rezeki dengan sebagian
yang baik-baik [al-Mukmin/40:64].
Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan di
(Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [al-A’râf/7:157].
Mari kita
perhatikan kaedah yang telah disimpulkan Syaikh Shaleh al-Fauzân mengenai
manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan yang menunjukkan salah satu
keindahan Islam : ‘Setiap barang yang thâhir (suci lawan dari najis), yang
tidak mengandung bahaya sama sekali, seperti biji-bijian, buah-buahan,
hewan-hewan hukumnya halal. Dan setiap barang najis, seperti bangkai dan darah,
atau barang yang mutanajjis (terkena najis) dan setiap barang yang mengandung
madharat (bahaya) semisal racun dan lainnya hukumnya haram (dikonsumsi)’
(al-Ath’imah hlm. 28).
Tampak
bahwa yang halal adalah hal-hal yang baik, dan yang diharamkan adalah hal-hal
yang buruk dan berbahaya.
Dalil yang
menunjukkan diperhitungkannya kesucian (tidak najisnya) barang yang dikonsumsi
firman Allâh Azza wa Jalla:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi [al-Mâidah/5:3]
Bangkai
darah dan daging babi merupakan barang najis secara dzat, dan barang najis
adalah khabîts (buruk).[6]
Sementara
di antara dalil yang mengharuskan bebasnya barang konsumsi dari unsur yang
berbahaya firman Allâh Azza wa Jalla.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
[al-Baqarah/2:195]
Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ
Dan
janganlah kamu membunuh dirimu [an-Nisâ/4:29]
Ayat-ayat
ini menunjukkan bahwa segala yang khabîts atau membahayakan diharamkan
dikonsumsi dan dimanfaatkan. [7]
Demikian
manhaj penghalalan dan pengharaman sesuatu seperti manhaj Islam dalam seluruh
aspek kehidupan yang mengedepankan kemaslahatan dan perlindungan terhadap jiwa,
badan, akal. Sementara di masa Jahiliyah, penetapan halal dan haram merujuk
hawa nafsu dan taklid buta terhadap ajaran nenek moyang. Begitu pula yang
terjadi pada agama Nasrani, halal dan haram berdasarkan kehendak pemuka agama
mereka.
Dari sini,
seorang Mukmin harus mengutamakan dan mendahulukan ketetapan Allâh Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya saat berhadapan dengan ketetapan adat atau budaya yang
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Islam, atau sebaliknya menghalalkan
sesuatu yang diharamkan oleh Islam. Sebab secara prinsip, penetapan halal dan
haram adalah hak Allâh Azza wa Jalla . Barang siapa mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram pada hakekatnya telah memposisikan diri sebagai sekutu
Allâh Azza wa Jalla dalam hak tasyrî’ (penetapan syariat). Karenanya, Allâh
Azza wa Jalla mencela kaum Yahudi dan Nasrani karena ketaatan mereka yang
berlebihan terhadap para pemuka agama mereka, sampai menghalalkan dan
mengharamkan apa yang dikatakan oleh pemuka agama mereka. Dengan ini, mereka
telah menjadikan para pendeta itu sebagai tandingan-tandingan Allâh.
Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allâh [at-Taubah/9:31]
Begitu
pula, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin pada masa Jahiliyah yang
menghalalkan bangkai yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan mengharamkan
beberapa jenis binatang ternak yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla ,
karena mengikuti warisan budaya nenek moyang dan hawa nafsu mereka.
Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ
بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ﴿١٠٣﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Allâh
sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sâibah, washîilah dan
hâm, akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allâh , dan
kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul, mereka menjawab,
Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan
apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang itu
tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâidah/5:103-104].
BAHAYA
KONSUMSI HARAM
Konsumsi
barang halal dan baik berpengaruh positif pada kejernihan hati dan
dikabulkannya doa dan diterimanya ibadah oleh Allâh Azza wa Jalla . Sebaliknya,
makanan haram akan menghalangi diterimanya doa dan ibadah. Allâh Azza wa Jalla
berfirman tentang kaum Yahudi.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ
وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿٤١﴾سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ
Mereka itu
(orang Yahudi) adalah orang-orang yang Allâh tidak hendak mensucikan hati
mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram [al-Mâidah/5:41-42].
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allâh itu
Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik (saja), dan sesungguhnya Allâh
memerintahkan kepada kaum mukminin dengan yang diperintahkanNya kepada para rasul.
Allâh berfirman : {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”} (al-Mukminûn/23:51). Allâh berfirman: {“Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”} .
Selanjutnya, beliau menceritakan seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh,
dalam keadaan rambut acak-acakan, berdebu, ia menengadahkan dua tangannya ke
arah langit (seraya berdoa) ya rabbi, ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya
haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram serta dirinya dinutrisi dengan
haram, bagaimana doanya dikabulkan?”. [HR. Muslim no. 1015]
LARANGAN
MENGIKUTI LANGKAH SETAN
Setelah
memerintahkan para hamba-Nya untuk mematuhi perintah-Nya karena akan
mendatangkan kebaikan bagi mereka, Allâh melarang mereka mengikuti
langkah-langkah setan. Yang dimaksud langkah-langkah setan adalah segala cara
dan upaya setan untuk menyesatkan para pengikutnya, seluruh maksiat yang ia
perintahkan seperti kekufuran, perbuatan fusûq )keluar dari ketaatan kepada
Allâh Azza wa Jalla ) dan perbuatan kezhaliman yang bertentangan dengan
ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Di antara contoh langkah setan adalah
mengharamkan bahîrah, sâibah dan washîlah[9] serta lainnya.
Ini
berdasarkan hadits ‘Iyâdzh bin Himâr al-Mujâsyi Radhiyallahu anhu dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
كُلُّ مَا نَحَلْتُهُ عَبْدًا
حَلَالٌ وَإِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَـفَاءَ كلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ
الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَْيْهِمْ مَا
أَحْلَلْتُ لَهُمْ
Allâh
berfirman: “Sesungguhnya setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka
itu adalah halal bagi mereka. Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan
hanif (lurus). Lalu setan mendatangi mereka, dan menyeret (menyimpangkan)
mereka dari agama mereka (yang lurus), serta mengharamkan atas mereka yang Aku
halalkan bagi mereka”. [HR. Muslim hadits no.2865]
Selanjutnya,
Allâh Azza wa Jalla memberitahukan alasan agar kita semua menjauhi
langkah-langkah setan karena merupakan musuh yang nyata kaum Mukminin.
Permusuhan setan kaum Mukminin sangat jelas. Setan tidak menghendaki kecuali
menipu dan menjadikan mereka penghuni neraka Sa’ir. Di sini, Allâh Azza wa
Jalla tidak hanya melarang mengikuti langkah-langkah setan, akan tetapi juga
menyebutkan permusuhannya yang sangat besar agar kita mewaspadainya serta
menerangkan bahwa segala yang diperintahkan dan dibisikkan setan adalah
perkara-perkara yang paling buruk dan mendatangkan kerusakan paling parah. [10]
Imam Ibnu
Katsîr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya setan , musuh kalian itu,
menyuruh kalian melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Yang lebih keji (parah
dari itu), menyuruh berbuat faahisyah (perbuatan keji) seperti perzinaan dan
lainnya. Dan (menyuruh) yang lebih buruk lagi dari itu, yaitu mengatakan
sesuatu tentang Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (dari-Nya). Termasuk orang
yang berkata mengenai Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (sembarangan) adalah
setiap orang kafir dan orang yang berbuat bid’ah”. [11]
RENUNGAN
Syaikh
‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah mengajak kita sekalian untuk melakukan
introspeksi diri. Setelah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla hanya
memerintahkan kepada keadilan, kebaikan, dan memberi kaum kerabat dan melarang
dari perbuat keji, mungkar dan kezhaliman beliau berkata, “Hendaknya seseorang
melihat dirinya, apakah ia mengikuti seruan Allâh yang menghendaki kebaikan dan
kebahagiaan abadi bagi dirinya di dunia dan akherat, atau mengikuti ajakan
setan yang merupakan musuh manusia yang hanya menginginkan keburukan baginya
dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membinasakannya di dunia dan
akherat? ”.[12]
BEBERAPA
PELAJARAN DARI AYAT:
1.Kewajiban
mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup.
2. Hukum
asal makanan dan minuman adalah ibâhah (diperbolehkan) untuk dikonsumsi maupun
dimanfaatkan, sampai ada larangan khusus.
3. Yang
halal adalah segala yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan yang haram
adalah yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dalam masalah ini, akal tidak
berperan sama sekali.
4. barang
haram ada dua jenis: barang yang memang diharamkan dzatnya, sesuatu yang
khabiits (jelas keburukannya), lawan dari thayyib, atau diharamkan karena
berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak Allâh Azza wa Jalla karena
didapatkan melalui cara yang haram atau melanggar hak sesama manusia karena
diambil dari orang lain dengan paksa misalnya.
5. Wajib
menjauhi segala hal yang buruk dan keji yang dibisikkan oleh setan.
6. Haramnya
mengikuti langkah-langkah setan yang mencakup setiap keyakinan, perbuatan dan
perkataan yang dilarang syariat. Wallâhu a’lam.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm.68
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Aisarut Tafâsir 1/70
[3]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm.70
[4]. Aisarut Tafâsir 1/71
[5]. Adapun larangan mengkonsumsi sebagian yang baik-baik
pada bangsa Yahudi, itu merupakan hukuman bagi mereka atas tindak kezhaliman
yang mereka perbuat. Lihat QS. an-Nisâ`:/4:160 , al-An’âm/6:146
[6]. Lihat juga QS. al-A’raf:157
[7]. Al-Ath’imah hlm. 28
[8]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 1/102, Tafsir Ibnu
Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[9]. Bahîrah ialah unta betina yang telah beranak lima
kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya,
dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Sâibah adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu
nazar. Washîlah yaitu seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari
jantan, dan betina, maka yang jantan ini disebut washîlah, tidak boleh
disembelih dan diserahkan kepada berhala..
[10]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[11]. Tafsir Ibnu Katsir 1/483
[12]. Tafsir as-Sa’di hlm. 69 secara ringkas.
Oleh Ustadz Abu
Minhal Lc
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Suntuk di rumah yuk gabung dan menangkan permainan kartu bersama kami hanya di ARENADOMINO 8 game kami sediakan untuk kalian semua so tunggu ap lagi yukk... WA +855 96 4967353
Posting Komentar