Apa yang dimaksud
dengan Resiliensi ?
Resiliensi atau resilience mempunyai arti harfiah adalah
daya pegas, daya kenyal atau kegembiaraan. Istilah resiliensi diformulasikan
pertama kali oleh Block dengan nama ego-resillience yang diartikan sebagai kemampuan
umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat
dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Berikut adalah definisi resiliensi menurut beberapa ahli
psikologi,
·
Resiliensi sebagai kapasitas atau kemampuan untuk beradaptasi
secara positif dalam mengatasi permasalahan hidup yang signifikan. R-G Reed
·
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan
oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan
dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada
kondisi yang menekan (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan
individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan. McCubbin (2001)
·
Resiliensi sebagai kemampuan individu untuk tetap mampu
bertahan dan tetap stabil dan sehat secara psikologis setelah melewati
peristiwa-peristiwa yang traumatis. Samuel
·
Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi secara
positif ketika dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan penuh resiko.
Nurinayanti dan Atiudina (2011
·
Resiliensi merupakan presence atau kehadiran good
outcomes (hasil yang baik) dan kemampuan mengatasi ancaman dalam rangka
menyokong kemampuan individu untuk beradaptasi dan berkembang secara positif.
Roberts (2007)
·
Resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal
dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok atau komunitas mampu mencegah
atau meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka
mengalami musibah atau kemalangan. Menurutnya, resiliensi juga dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain dukungan eksternal, kekuatan personal yang
berkembang pada diri seseorang dan kemampuan sosial. Gotberg
·
Resiliensi merupakan sikap (trait). Trait ini merupakan
kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi
individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi
yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang
menarik ada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada pengghargaan
pada diri sendiri, kompetensi dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu
tersebut adalah individu yang resilien. Wolff
Menurut Emmy E Wenner, sejumlah ahli tingkah laku
menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena, yaitu:
·
Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup
dalam konteks “beresiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam
kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua.
·
Kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang
berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa disekitar perceraian orang tua
mereka; dan
·
Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa
perang saudara dan kamp konsentrasi.
Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Resiliensi
Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh
karakteristik utama yang dimiliki oleh individu resilien. Karakteristik inilah
yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah,
mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara maksimal, yaitu :
·
Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri
sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi.
·
Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian
melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri
dan peduli pada orang lain.
·
Hubungan
Seorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang
jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role
model yang sehat.
·
Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk
bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu
yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan
masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah
serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.
·
Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai
pilihan, konsekuensi dan alternative dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang
benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang dugunakan untuk
mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur
dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
·
Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan,
menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.
Individu yang resilien menggnakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup
dengan cara yang baru dan lebih ringan.
·
Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat
mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanp rasa takut akan
pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam
membantu orang lain yang membutuhkan.
Kemampuan Dasar Resiliensi
Menurut reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh
kemampuan yang membentuk resiliensi dan hampir tidak ada satupun individu yang
secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik, yaitu sebagai
berikut:
·
Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di
bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang
memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain. Semakin kita terisolasi dengan kemarahan
maka kita akan semakin menjadi seorang pemarah.
Reivich dan Shatte (2002: 38) mengungkapkan dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi,
yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola
kedua keterampialan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan
pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress yang dialami individu.
·
Pengendalian impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam
diri seseorang. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian diri yang rendah,
cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan
perlaku mereka.
·
Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis.
Optimisme adalah seseorang melihat bahwa masa depannya cemerlang dan bahagia.
Optimism yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut
yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin
terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self efficacy yang dimiliki
oleh seorang individu, yaitu kepercayaan individu bahwa ia dapat menyelesaiakan
permasalahan yang ada dan mampu mengendalikan hidupnya.
·
Analisis Penyebab Masalah
Causal analysis adalah kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan masalah secara akurat dari permasalahan yang dihadapinya.
Selingman mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis
penyebab masalah yaitu gaya berfikir eksplanatory. Gaya berfikir eksplanatory
adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal itu
baik dan buruk yang terjadi pada dirinya. Gaya berfikir dengan metode ini dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Saya - bukan saya (personal)
Gaya berfikir “saya” adalah individu yang cenderung
menyalahkan diri sendiri atas masalah yang menimpanya. Sedangkan gaya berfikir
“bukan saya” adalah menitik beratkan pihak lain yang menjadi penyebab atas
kesalahan yang terjadi.
2. Selalu - tidak selalu (permanen)
Seseorang yang berfikir “selalu” beasumsi bahwa ketika
terjadi kegagalan maka akan timbul kegagalan berikutnya yang menyertainya.
Individu tersebut akan selalu merasa pesimis. Sedangkan individu yang optimis,
cenderung memandang kegagalan dari sisi positif dan berusaha melakukan yang
lebih baik dalam setiap kesempatan.
3. Semua - tidak semua (pervasive)
Gaya befikir “semua” memandang kegagalan pada sisi
kehidupan akan menjadi penyebab kegagalan pada sisi kehidupan yang lain.
Sedangkan gaya befikir “tidak semua” mampu menjelasakan penyebab dari suatu
masalah yang ia hadapi.
Menurut Revich, K., & Shatte, A. (2002) Individu yang
resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat
demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah.
Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendalli
mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan
masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan
hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.
·
Empati
Empati mengaitkan bagaimana individu mampu membaca
tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu
memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa non verbal yang
ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa
tubuh dan menangkap apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain. Oleh karena
itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan
sosial yang positif. Sedangkan individu dengan empati yang rendah cenderung
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Revich, K., & Shatte,
A. 2002).
·
Efikasi Diri
Efikasi diri (Revich, K., & Shatte, A. 2002) adalah
sebuah keyakinan bahwa individu mampu memecahkan dan menghadapi masalah yang
dialami secara efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu,
berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri yang tinggi memiliki komitmen
dalam memecahkan masalahnya dan tidak menyerah ketika menemukan bahwa strategi
yang sedang digunakannya itu tidak berhasil. Efikasi diri adalah hasil
pemecahan masalah yang berhasil sehingga seiring dengan individu membangun
keberhasilan sedikit demi sedikit dalam mengahdapi masalah, maka efikasi diri
tersebut akan terus meningkat. Sehingga hal tersebut menjadi sangat penting
untuk mencapai resiliensi.
·
Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
bukan hanya seorang individu yang memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan
dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan
kapasitas individu meraih aspek positif dari sebuah keterpurukan yang terjadi
dalam dirinya (Revich, K., & Shatte, A. 2002).
Fungsi Resiliensi
Rutter mengungkapkan, ada empat fungsi resiliensi, yaitu:
·
Untuk mengurangi resiko mengalami konsekuensi-konsekuansi
negative setelah adanya kejadian hidup yang menekan.
·
Mengurangi kemungkinan munculnya rantai reaksi yang
negatif setelah peristiwa hidup yang menekan.
·
Membantu menjaga harga diri dan rasa mampu diri .
·
Meningkatkan kesempatan untuk berkembang.
Resiliensi bukanlah karakteristik kepribadian atau trait,
tetapi lebih sebagai proses dinamis dengan disetainya sejumlah faktor yang
membantu mengurangi resiko individu dalam menghadapi tekanan kehidupan. Hal
serupa juga dijelaskan oleh O’leary dan Ickoviks yang menyatakan meskipun
seorang individu mungkin memperoleh keuntungan dan perubahan positif dari sebuah
tantangan hidup , namun tidak ada jaminan bahwa hasil yang sama akan nampak
ketika menghadapi tantangan lain yang hampir bersamaan terjadi.
Tahapan Resiliensi
O’Leary dan Ickovics menyebutkan empat tahapan yang
terjadi ketika seseorang mengalami situasi dari kondisi yang menekan
(significant adversity) antara lain yaitu :
·
Mengalah
Yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau
menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau keadaan yang menekan. Level ini
merupakan kondisi ketika individu menemukan atau mengalami kemalangan yang
terlalu berat bagi mereka. Outcome dari individu yang berada pada level ini
berpotensi mengalami depresi, narkoba dan pada tataran ekstrim bisa sampai
bunuh diri.
·
Bertahan (survival)
Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau
mengembalikan fungsi psikologis dan emosi positif setelah dari kondisi yang
menekan. Efek dari pengalaman yang menekan membuat individu gagal untuk kembali
berfungsi secara wajar.
·
Pemulihan (Recovery)
Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada
fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi
yang menekan, walaupun masih menyisihkan efek dari perasaan negatif yang
dialaminya. Dengan begitu, individu dapat kembali beraktifitas untuk menjalani
kehidupan sehari-harinya, mereka juga mampu menunjukkan diri mereka sebagai
individu yang resilien.
·
Berkembang Pesat (Thriving)
Pada tahapan ini, individu tidak hanya mampu kembali pada
tahapan fungsi sebelumnya, namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa
respek. Pengalaman yang dialami individu menjadikan mereka mampu mengahdapi dan
mengatasi kondisi yang menekan, bahakan menantang hidup untuk membuat individu
menjadi lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar