Senin, 02 Desember 2019

Apa yang dimaksud dengan Resiliensi ?


Apa yang dimaksud dengan Resiliensi ?

Resiliensi atau resilience mempunyai arti harfiah adalah daya pegas, daya kenyal atau kegembiaraan. Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego-resillience yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Berikut adalah definisi resiliensi menurut beberapa ahli psikologi,
·         Resiliensi sebagai kapasitas atau kemampuan untuk beradaptasi secara positif dalam mengatasi permasalahan hidup yang signifikan. R-G Reed
·         Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan. McCubbin (2001)
·         Resiliensi sebagai kemampuan individu untuk tetap mampu bertahan dan tetap stabil dan sehat secara psikologis setelah melewati peristiwa-peristiwa yang traumatis. Samuel
·         Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi secara positif ketika dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan penuh resiko. Nurinayanti dan Atiudina (2011
·         Resiliensi merupakan presence atau kehadiran good outcomes (hasil yang baik) dan kemampuan mengatasi ancaman dalam rangka menyokong kemampuan individu untuk beradaptasi dan berkembang secara positif. Roberts (2007)
·         Resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok atau komunitas mampu mencegah atau meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Menurutnya, resiliensi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain dukungan eksternal, kekuatan personal yang berkembang pada diri seseorang dan kemampuan sosial. Gotberg
·         Resiliensi merupakan sikap (trait). Trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik ada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada pengghargaan pada diri sendiri, kompetensi dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. Wolff

Menurut Emmy E Wenner, sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena, yaitu:
·         Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “beresiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua.
·         Kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa disekitar perceraian orang tua mereka; dan
·         Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara dan kamp konsentrasi.
Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Resiliensi
Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu resilien. Karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu :
·         Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
·         Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain.
·         Hubungan
Seorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model yang sehat.
·         Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.
·         Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternative dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang dugunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
·         Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggnakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan.
·         Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanp rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain yang membutuhkan.
Kemampuan Dasar Resiliensi
Menurut reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik, yaitu sebagai berikut:
·         Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Semakin kita terisolasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang pemarah.
Reivich dan Shatte (2002: 38) mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampialan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress yang dialami individu.
·         Pengendalian impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam diri seseorang. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian diri yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perlaku mereka.
·         Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Optimisme adalah seseorang melihat bahwa masa depannya cemerlang dan bahagia. Optimism yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self efficacy yang dimiliki oleh seorang individu, yaitu kepercayaan individu bahwa ia dapat menyelesaiakan permasalahan yang ada dan mampu mengendalikan hidupnya.
·         Analisis Penyebab Masalah
Causal analysis adalah kemampuan individu untuk mengidentifikasikan masalah secara akurat dari permasalahan yang dihadapinya. Selingman mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berfikir eksplanatory. Gaya berfikir eksplanatory adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal itu baik dan buruk yang terjadi pada dirinya. Gaya berfikir dengan metode ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Saya - bukan saya (personal)
Gaya berfikir “saya” adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas masalah yang menimpanya. Sedangkan gaya berfikir “bukan saya” adalah menitik beratkan pihak lain yang menjadi penyebab atas kesalahan yang terjadi.
2. Selalu - tidak selalu (permanen)
Seseorang yang berfikir “selalu” beasumsi bahwa ketika terjadi kegagalan maka akan timbul kegagalan berikutnya yang menyertainya. Individu tersebut akan selalu merasa pesimis. Sedangkan individu yang optimis, cenderung memandang kegagalan dari sisi positif dan berusaha melakukan yang lebih baik dalam setiap kesempatan.
3. Semua - tidak semua (pervasive)
Gaya befikir “semua” memandang kegagalan pada sisi kehidupan akan menjadi penyebab kegagalan pada sisi kehidupan yang lain. Sedangkan gaya befikir “tidak semua” mampu menjelasakan penyebab dari suatu masalah yang ia hadapi.
Menurut Revich, K., & Shatte, A. (2002) Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendalli mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.
·         Empati
Empati mengaitkan bagaimana individu mampu membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan menangkap apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Sedangkan individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Revich, K., & Shatte, A. 2002).
·         Efikasi Diri
Efikasi diri (Revich, K., & Shatte, A. 2002) adalah sebuah keyakinan bahwa individu mampu memecahkan dan menghadapi masalah yang dialami secara efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu, berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri yang tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakannya itu tidak berhasil. Efikasi diri adalah hasil pemecahan masalah yang berhasil sehingga seiring dengan individu membangun keberhasilan sedikit demi sedikit dalam mengahdapi masalah, maka efikasi diri tersebut akan terus meningkat. Sehingga hal tersebut menjadi sangat penting untuk mencapai resiliensi.
·         Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi bukan hanya seorang individu yang memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kapasitas individu meraih aspek positif dari sebuah keterpurukan yang terjadi dalam dirinya (Revich, K., & Shatte, A. 2002).
Fungsi Resiliensi
Rutter mengungkapkan, ada empat fungsi resiliensi, yaitu:
·         Untuk mengurangi resiko mengalami konsekuensi-konsekuansi negative setelah adanya kejadian hidup yang menekan.
·         Mengurangi kemungkinan munculnya rantai reaksi yang negatif setelah peristiwa hidup yang menekan.
·         Membantu menjaga harga diri dan rasa mampu diri .
·         Meningkatkan kesempatan untuk berkembang.
Resiliensi bukanlah karakteristik kepribadian atau trait, tetapi lebih sebagai proses dinamis dengan disetainya sejumlah faktor yang membantu mengurangi resiko individu dalam menghadapi tekanan kehidupan. Hal serupa juga dijelaskan oleh O’leary dan Ickoviks yang menyatakan meskipun seorang individu mungkin memperoleh keuntungan dan perubahan positif dari sebuah tantangan hidup , namun tidak ada jaminan bahwa hasil yang sama akan nampak ketika menghadapi tantangan lain yang hampir bersamaan terjadi.
Tahapan Resiliensi
O’Leary dan Ickovics menyebutkan empat tahapan yang terjadi ketika seseorang mengalami situasi dari kondisi yang menekan (significant adversity) antara lain yaitu :
·         Mengalah
Yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau keadaan yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Outcome dari individu yang berada pada level ini berpotensi mengalami depresi, narkoba dan pada tataran ekstrim bisa sampai bunuh diri.
·         Bertahan (survival)
Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau mengembalikan fungsi psikologis dan emosi positif setelah dari kondisi yang menekan. Efek dari pengalaman yang menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar.
·         Pemulihan (Recovery)
Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih menyisihkan efek dari perasaan negatif yang dialaminya. Dengan begitu, individu dapat kembali beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-harinya, mereka juga mampu menunjukkan diri mereka sebagai individu yang resilien.
·         Berkembang Pesat (Thriving)
Pada tahapan ini, individu tidak hanya mampu kembali pada tahapan fungsi sebelumnya, namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek. Pengalaman yang dialami individu menjadikan mereka mampu mengahdapi dan mengatasi kondisi yang menekan, bahakan menantang hidup untuk membuat individu menjadi lebih baik.


0 komentar:

Posting Komentar