MAKNA RUKHSHAH DAN PEMBAGIANNYA
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau
keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:
الْحُكْمُ
الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang
berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari
pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah
(keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara
tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan
berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata
hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah,
haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya
udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH
ADANYA RUKHSHAH.
Adanya
rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak
memberatkan sebagaimana firman -Nya:
{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al
Baqarah/ 2:185]
Juga firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
{ يُرِيدُ اللَّهُ
أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }
Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
[an Nisaa/4:28].
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
{ إنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }
Sesungguhnya
agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini
kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]
PEMBAGIAN
RUKHSHAH.
Ditinjau
dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:
1. Rukhshah
dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau
sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila
melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh
meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain”. [al-Baqarah/2:184].
Rukhshah
juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau
nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan
menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib
qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau
dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan
seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata:
Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang
khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].
Pada kitab
yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam
keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar
memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh
rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur
musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin
Syihab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ
امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat
Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba
sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].
Dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ
جُمُعَةٌ
Tidak wajib
shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]
Rukhshah
tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang
sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang
bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya
kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat
berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut: Hukum
asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim
adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Wahai orang-orang
yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]
Dan hadis
yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan
shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ
الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
Sesungguhnya
aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama
orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal
shalat Jum’at.”
Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ
عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ
لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Hendaknya
kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan
mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang
yang lengah.
Dan ulama
sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at,
misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan
keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap
dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau
petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat
Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]
Dan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang
aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku
perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”
Hanya saja
hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada
waktunya. [3]
2. Rukhshah
dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat
shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’
karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta’ala, berfirman : “Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu
[an-Nisaa/4:101].
Rukhshah
menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut
atau musafir. Abu Zubair bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada
Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya”. Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang
tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)”. Pendapat demikian juga
dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas,
“Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan
menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]
3. Rukhshah
dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan
seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau
tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti
shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib
dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa
berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.
4. Rukhshah
dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat
Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa
ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
5. Rukhshah
dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah
beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].
Atau
seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’
taqdim.
6. Rukhshah
dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika
sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ
وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ
وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا
حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
Dan apabila
kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].
7. Rukhshah
dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan
perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar’i seperti bolehnya memakan memakan
bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ
رَّحِيمٌ
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang
ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].
Melakukan
jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan
barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat
penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang
harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini
pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ
السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي
كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Rasulullah
tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan
setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli
salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas,
timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].
Padahal
hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan
harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga
rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya
mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap
beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :”Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].
HUKUM
MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah
orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan
rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau
meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama.
Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum
menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya
karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan
dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah
tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi,
misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau
mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung
kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib
maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus
dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat
dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan
bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah
ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka
memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib
bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih
antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati
kelaparan.
Dalam kasus
mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim
al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya
orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya
itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara
sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:
Hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ
عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ
أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Allah mewajibkan
shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan
dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].
Dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ
رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى
رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Shalat
dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan
idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah
Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].
Aisyah
Radhiyallahu ‘anha berkata:
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا
فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ
الْحَضَرِ
Pertama
kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat
musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan
Muslim].
Lajnah
Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal
bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits
yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka
(tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat
atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka berpusa sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata; Ya
Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir
apakah mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah
dari Allah barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang
ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].
Wallahu
‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah
adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :
1. Sesuai
dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.
2. Rukhshah
merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diperintahkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu menqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101).
Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).Umar bin Khatab berkata:
عجب مما عجبت منه ، فسألت
رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك . فقال : صدقة تصدق الله بها عليكم ، فاقبلوا
صدقته .
Saya juga
heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu
dan bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah
shadaqah-Nya”.
3. Karena
itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala senang kalau
shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما
يحب أن تترك معصيته .
Sesungguhnya
Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan
maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].
4.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu
mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata : “Rasulullah (tidak
pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama
itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi
masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya
kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah
[HR.Bukhari dan Muslim].
Wallahu
‘A’lam.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Albani menyebutkan dalam kitab Irwa’ juz 4
hal 19 dari al-Thabary dan beliau berkata; sanadnya shahih sesuai dengan
persyaratan Muslim
[2]. HR.Daraquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Abdul
Adzim al-Khalfi di kitab al-Wajiz hal. 142.
[3]. Fatawa lil Muwazhzhafin lajnah Daaimah , tartib
Dakhilullah al-Mufhrafy
[4]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqh As Sunnah Wal Kitab Al Aziz,
Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi, hlm. 141.
Oleh Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin
0 komentar:
Posting Komentar