Bukti Ilmiah
Penyembuhan dengan Al-Qur’an
“..mendengarkan bacaan al-Qur’an lebih dapat meningkatkan
alpha band dibandingkan mendengarkan musik klasik..”
Pembahasan dan fenomena mengenai topik ini pada dasarnya
bukanlah hal yang baru. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya (khususnya Sejarah
Islam), penyembuhan dengan al-Qur’an (Qur’nic Healing) telah mendapatkan
legitimasinya sendiri.
Terlepas dari perbedaan penafsiran di kalangan mufassir,
al-Qur’an sendiri sebagai way of life yang diyakini oleh umat Muslim seringkali
menyebut dirinya sebagai syifā’ (penyembuh). Di antaranya sebagaimana terdapat
dalam dua ayat berikut:
“Katakanlah, al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar
(syifā’) bagi orang-orang mukmin.” (QS. Fushshilat: 44)
“..dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi
penawar (syifā’) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS.
al-Isrā’: 82)
10 pertanda nyata jika seorang wanita jatuh cinta
Para ulama sepakat bahwa ayat-ayat yang menjelaskan
tentang fungsi al-Qur’an sebagai syifā’ (penyembuh) sebagaimana terdapat dalam
dua ayat di atas menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan obat yang sangat manjur
untuk mengobati penyakit rohani (mental) umat manusia.
Penyakit mental yang dimaksud bukan hanya dimiliki
seperti mereka yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena adanya gangguan
mental. Lebih dari itu, seseorang yang bisa diindikasikan mempunyai penyakit
mental adalah mereka yang sikap dan perilakunya sudah menyimpang dari tuntunan
al-Qur’an dan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Beberapa sikap dan perilaku yang mengindikasikan sakitnya
mental seseorang antara lain: perbuatan syirik (meyakini keesaan Allah adalah
fitrah dan ketika hal ini diingkari berarti ada yang salah dengan seseorang
tersebut), nifāq (bermuka dua) seperti suka berdusta atau menipu, suka
menyombongkan diri (riya’), cenderung berburuk sangka, suka mengadu domba
(namimah), hobi gossip (ghibah), tamak, dendam, dengki, dan menganiaya diri
sendiri atau orang lain (zalim).
Berbagai penyakit mental tersebut lama-kelamaan akan
menjadi akut ketika tidak segera diobati, sehingga pelakunya pun tidak merasa
ada yang salah dengan dirinya padahal dirinya sedang dalam keadaan kritis
(baca: mentalnya). Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-Jauzi
sebagaimana dalam Shaidul Khāthir:
“Ketahuilah, salah satu bentuk ujian yang paling besar
adalah tertipunya seorang hamba dengan aman dan selamat dari azab setelah ia
melakukan dosa. Sesungguhnya balasan itu datang kemudian. Salah satu balasan
yang paling besar adalah ketidaktahuan seseorang terhadap balasan tersebut,
menganggap remeh terhadap agama, kebutaan mata hati, dan ketidak mampuan dalam
menentukan pilihan yang baik untuk dirinya sendiri sehingga dapat mempengaruhi
keselamatan badan dan timbulnya kebosanan”
Senada dengan hal tersebut, Al-Ghazali menjelaskan dalam
kitab Ihya’-nya:
“Ketahuilah bahwa tidak seorang pun yang melakukan suatu
dosa kecuali permukaan hatinya menjadi hitam. Apabila hamba tersebut termasuk
orang yang selamat, maka tampaklah noda hitam tersebut pada permukaan hatinya
agar ia dapat lari menghindarinya. Sebaliknya, apabila ia termasuk seorang yang
sengsara, maka noda hitam tersebut pun tidak tampak pada dirinya sehingga ia
tetap asyik melakukannya, sampai ia masuk Neraka”
Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini sampai akhir,
mari tanyakan diri masing-masing: apakah kita termasuk orang-orang yang
mentalnya sakit atau bahkan telah masuk pada level akut?
Jika iya, maka segeralah berobat dengan al-Qur’an, karena
ia adalah cahaya yang bisa menyembuhkan penyakit mental anda dengan cara
membaca, mendengarkan bacaanya, mempelajari tafsirnya, dan kemudian mengamalkan
kandungan ajarannya.
Riset Ilmiah terhadap Qur’anic Healing
Sebagian ulama meyakini bahwa fungsi al-Qur’an sebagai
penyembuh seperti yang terdapat dalam dua ayat di atas tidak hanya berfungsi
untuk mengobati penyakit mental (rohani), lebih dari itu al-Qur’an juga bisa
menyembuhkan penyakit jasmani sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam
tafsirnya.
Dalam sejarah peradaban Islam, Qur’anic Healing pada
dasarnya memiliki preseden yang sangat panjang sebagaimana yang pernah
dipaparkan oleh Hamam Faizin. Dalam beberapa riwayat, misalnya dalam riwayat
tentang asbab al-nuzul dari surat al-Mu’awwizatain (al-Nas dan al-Falaq)
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah menolak sihir dengan membaca kedua surat
tersebut.
Dalam riwayat lain juga pernah diceritakan bahwa Nabi
Muhammad pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah dengan membaca surat al-Fatihah.
Sekarang ini fenomena Qur’anic Healing (pengobatan dengan
al-Qur’an) atau juga disebut dengan Sufi Healing (pengobatan ala Sufi)telah
menjadi hal yang lumrah di sejumlah Negara, termasuk Indonesia.
Di beberapa Negara misalnya di Malaysia, pengobatan
dengan ruqyah (incantation) menjadi sangat fenomenal karena menjadi pengobatan
alternatif yang sangat digandrungi oleh masyaraat setempat. Fenomena ini bahkan
sudah sampai di Negara-negara Barat, hal ini misalnya terlihat dari pendirian
sejumlah pusat Terapi al-Qur’an seperti Islamic Educational & Cultural
Research Center of North America yang ada di Amerika Serikat.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah riset, seperti
yang dikutip oleh Hamam, yang meneliti tentang perbandingan efek mendengarkan
al-Qur’an dan mendengarkan music klasik terhadap gelombang otak (brain
wave).Penelitian tersebut mengambil 28 orang sebagai sampel untuk
diperdengarkan al-Qur’an Surat Yasin dan Pachelbel’s Canon D (music klasik).
Dari riset tersebut ditemukan bahwa selama mendengarkan
Surat Yasin terjadi peningkatan terhadap gelombang otak kanan dan kiri hingga
mencapai 12.67%. Sedangkan selama mendengarkan Pachelbel’s Canon D, terjadi
peningkatan yang lebih sedikit, yakni 9.96%.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa mendengarkan bacaan
al-Qur’an lebih dapat meningkatkan alpha band dibandingkan mendengarkan musik
klasik. Konsekuensinya, mendengarkan al-Qur’an bisa menjadikan kondisi yang
lebih rileks dan siaga.
Dari hal inilah pemikiran yang menolak Qur’anic Healing
sekiranya perlu ditinjau kembali. Menurut Hamam Faizin, jika Qur’anic Healing tidak boleh disebut
sebagai jenis ‘tafsir’, maka ia bisa dikatakan sebagai usaha untuk
mengapresiasi, meresepsi, dan menghidupkan al-Qur’an.
Sebaliknya, jika ia dikategorikan sebagai salah satu
jenis tafsir yang memperlakukan al-Qur’an di luar kapasitasnya sebagai teks
(karena surat al-Fatihah misalnya yang digunakan sebagai Qur’anic Healing
secara semantic tidak memiliki kaitan dengan penyakit), maka ia bisa
dikategorikan sebagai tafsir ‘anagogik’.
Dalam khazanah tafsir, khususnya di Indonesia, fenomena
tersebut mulai mendapat perhatian khusus, terutama sejak adanya penambahan
kurikulum baru yang dikenal dengan Living Qur’an dan Living Hadis yang sudah
dimulai sejak tahun 2006 di Yogyakarta.
Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar