Adab Ketika Sakit
Allah l dengan
sifat hikmah dan keadilan-Nya menimpakan berbagai ujian dan cobaan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman pada khususnya, dan seluruh makhluk pada umumnya.
Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya
berbagai jenis penyakit di zaman ini, karena kemaksiatan dan kedurhakaan umat
terhadap Allah l dan Rasul-Nya n.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(Ar-Rum: 41)
Islam adalah agama yang sempurna, yang menuntut seorang
muslim agar tetap menjaga keimanannya dan status dirinya sebagai hamba Allah l.
Seorang muslim akan memandang berbagai penyakit itu sebagai:
1. Ujian dan cobaan dari Allah l.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (Al-Mulk: 2)
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(Al-Anbiya`: 35)
Ibnu Katsir t berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini:
“Kami menguji kalian, terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan
berbagai kenikmatan. Maka Kami akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang
kufur (terhadap nikmat Allah l), siapa yang sabar dan siapa yang putus asa
(dari rahmat-Nya). Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas
c: ‘Kami akan menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, maksudnya yaitu
dengan kesempitan dan kelapangan hidup, dengan kesehatan dan sakit, dengan
kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram, dengan ketaatan dan
kemaksiatan, dengan petunjuk dan kesesatan; kemudian Kami akan membalas
amalan-amalan kalian’.”
Ujian dan cobaan akan datang silih berganti hingga
datangnya kematian.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu?” (Al-Baqarah: 214)
Ibnu Katsir t berkata: “(Ujian yang akan datang adalah)
berbagai penyakit, sakit, musibah, dan cobaan-cobaan lainnya.”
Bila demikian, maka sikap seorang muslim tatkala
menghadapi berbagai ujian dan cobaan adalah senantiasa berusaha sabar, ikhlas,
mengharapkan pahala dari Allah l, terus-menerus memohon pertolongan Allah l
sehingga tidak marah dan murka terhadap taqdir yang menimpa dirinya, tidak pula
putus asa dari rahmat-Nya.
2. Penghapus dosa.
Seandainya setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan
mesti dibalas tanpa ada maghfirah (ampunan)-Nya ataupun penghapus dosa yang
lain, maka siapakah di antara kita yang selamat dari kemurkaan Allah l?
Sehingga, termasuk hikmah dan keadilan Allah l bahwa Dia menjadikan berbagai
ujian dan cobaan itu sebagai penghapus dosa-dosa kita.
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah c,
dari Nabi n beliau bersabda:
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ
أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ
خَطَايَاهُ
“Tidaklah
menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan
duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus
dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh
Ibnu Utsaimin t berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94): “Apabila engkau
ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa
sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa
arti. Bahkan Allah l akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan
menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah l. Sehingga, bila musibah itu terjadi
dan orang yang tertimpa musibah itu:
a.
mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan,
yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
b. lupa
(akan janji Allah l), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa
terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah l.
Dari
penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung
dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak
mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah l karena dia marah dan
tidak sabar atas taqdir tersebut.”
3.
Kesehatan adalah nikmat Allah l yang banyak dilupakan.
Ibnu Abbas
c berkata, Rasulullah n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ
فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Dua
kenikmatan yang kebanyakan orang terlupa darinya, yaitu kesehatan dan waktu
luang.” (HR. Al-Bukhari)
Betapa
banyak orang yang menyadari keberadaan nikmat kesehatan ini, setelah dia jatuh
sakit. Sehingga musibah sakit ini menjadi peringatan yang berharga baginya.
Setelah itu dia banyak bersyukur atas nikmat Allah l tersebut. Itulah golongan
yang beruntung.
Adab-adab
Syar’i ketika Sakit
Di antara
bukti kesempurnaan Islam, Rasulullah n menuntunkan adab-adab yang baik ketika
seorang hamba tertimpa sakit. Sehingga, dalam keadaan sakit sekalipun, seorang
muslim masih bisa mewujudkan penghambaan diri kepada Allah l. Di antara
adab-adab tersebut adalah:
1. Sabar
dan ridha atas ketentuan Allah l, serta berbaik sangka kepada-Nya.
Dari Abu
Yahya Shuhaib bin Sinan z, Rasulullah n bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ
لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ
“Sungguh
menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua urusannya baik
baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh orang yang mukmin. Apabila
kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur, maka hal itu kebaikan baginya. Apabila
kesempitan hidup menimpanya, dia bersabar, maka hal itu juga baik baginya.”
(HR. Muslim)
Dari Jabir
z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ
إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى
“Janganlah
salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik
sangka kepada Allah l.” (HR. Muslim)
2. Berobat
dengan cara-cara yang sunnah atau mubah dan tidak bertentangan dengan syariat.
Diriwayatkan
dari Abud Darda` z secara marfu’:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ
وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan
berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi. Asy-Syaikh Al-Albani
menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 1633)
Juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Nabi n bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ
دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ
جَهِلَهُ
“Tidaklah
Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan pula obat baginya.
Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang yang tidak tahu tidak akan
mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim dari
Jabir z)
Di antara
bentuk pengobatan yang sunnah adalah:
a. Madu dan
berbekam
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas c bahwa Nabi n bersabda:
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ:
شُرْبَةِ عَسَلٍ، وَشِرْطَةِ مُحَجِّمٍ، وَكَيَّةِ نَارٍ، وَأَنَا أَنْهَى عَنِ
الْكَيِّ –وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي
“Obat itu
ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay1 dengan api, namun aku
melarang kay.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam
riwayat lain: “Aku tidak senang berobat dengan kay.”
b.
Al-Habbatus sauda` (jintan hitam)
Dari Usamah
bin Syarik z dia berkata, Rasulullah n bersabda:
الْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ
شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَ السَّامَ
“Al-Habbatus
Sauda` (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.”
(HR. Ath-Thabarani. Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t bahwa sanadnya hasan,
dan hadits ini punya banyak syawahid/pendukung)
c. Kurma
‘ajwah
Dari Aisyah
x, dari Nabi n:
فِي عَجْوَةِ الْعَالِيَةِ
أَوَّلُ الْبُكْرَةِ عَلىَ رِيْقِ النَّفَسِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سِحْرٍ أَوْ سُمٍّ
“Pada kurma
‘ajwah ‘Aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan yang lain) adalah
obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani t
menyatakan hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Lihat Ash-Shahihah no. 2000)
d. Ruqyah
Yaitu
membacakan surat atau ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang tidak mengandung
kesyirikan, kepada orang yang sakit. Bisa dilakukan sendiri maupun oleh orang
lain.
Allah l
berfirman:
“Dan Kami
turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Asy-Syaikh
As-Sa’di t dalam tafsirnya berkata: “Al-Qur`an itu mengandung syifa` (obat) dan
rahmat. Namun kandungan tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, hanya bagi
orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya.
Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal
dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali
kerugian. Dan dengan Al-Qur`an berarti telah tegak hujjah atas mereka.”
Obat
(syifa`) yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum. Bagi hati/ jiwa,
Al-Qur`an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan, pemikiran yang rusak,
penyimpangan, dan niat yang jelek. Sedangkan bagi jasmani, dia merupakan obat
dari berbagai sakit dan penyakit.
Dari Abu
Abdillah Utsman bin Abil ‘Ash z:
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ
اللهِ n وَجَعًا يَجِدُ فِي جَسَدِهِ، فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللهِ n: ضَعْ يَدَكَ
عَلىَ الَّذِي يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ -ثَلَاثًا-؛ وَقُلْ
سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ
وَأُحَاذِرُ
Dia
mengadukan kepada Rasulullah n tentang rasa sakit yang ada pada dirinya.
Rasulullah n berkata kepadanya: “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit
dari tubuhmu, lalu bacalah: بِسْمِ اللهِ
(tiga kali), kemudian bacalah tujuh kali:
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ
وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku
berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku
rasakan dan yang aku khawatirkan’.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah
x bahwasanya Nabi n menjenguk sebagian keluarganya (yang sakit) lalu beliau
mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ
أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ،
شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah,
Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah
Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali
obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)
Atau
berobat dengan cara-cara yang mubah, misalkan berobat ke dokter atau orang lain
yang memiliki keahlian dalam pengobatan seperti ramuan, refleksi, akupunktur,
dan sebagainya.
Adapun
berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara perdukunan
semacam mantera yang mengandung unsur syirik, atau rajah-rajah yang tidak
diketahui maknanya, maka haram hukumnya, dan bisa menyebabkan seseorang keluar
(murtad) dari Islam. Dari Mu’awiyah ibnul Hakam z, dia berkata: Aku berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي
حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللهُ تَعَالَى بِالْإِسْلاَمِ
وَمِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتِهِمْ
“Wahai
Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Dan sungguh Allah telah
mendatangkan Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun.”
Rasulullah n bersabda: “Janganlah engkau mendatangi mereka (para dukun).” (HR.
Muslim)
Dari
Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid, dari sebagian istri Nabi n, Nabi n bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ
يَوْمًا
“Barangsiapa
mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu dia
membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR.
Muslim)
3. Bila
sakitnya bertambah parah atau tidak kunjung sembuh, tidak diperbolehkan
mengharapkan kematian.
Dari Anas z
dia berkata: Rasulullah n bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ
أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا
فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي
وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي
“Janganlah
salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya.
Apabila memang harus melakukannya, maka hendaknya dia berdoa:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا
كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً
لِي
‘Ya Allah,
hidupkanlah aku bila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku dan wafatkanlah aku
bila kematian itu adalah kebaikan bagiku’.” (Muttafaqun ‘alaih)
4. Apabila
dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman, dll), atau amanah yang
belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang dia lakukan,
hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, bila
memungkinkan.
Bila tidak
memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada kemampuan, atau sebab
lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam perkara tersebut.
Allah l berfirman:
“Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”
(Al-Mu`minun: 8)
Dari Abu
Huraiah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ
مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ
الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ
صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa
berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya atau sesuatu
yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu menghalalkannya
(memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar
maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih, akan diambil darinya sesuai
kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak
memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi
lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Jabir
z, dia berkata:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ
دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي
أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n وَإِنِّي لاَ
أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ
n وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ
بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ
“Sebelum
terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak
aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di
antara para sahabat Rasulullah n. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan
setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah n. Sesungguhnya aku
mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’
Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR.
Al-Bukhari)
5.
Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang
adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli
kitab yang adil.
Allah l
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,
jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.”
(Al-Ma`idah: 106)
Dari Ibnu
Umar c, dari Nabi n, beliau berkata:
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ
يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ
وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ c: مَا مَرَّتْ
عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak
berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang
ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”
Dan Ibnu
Umar c berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar
Rasulullah n berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun
‘alaih)
Ibnu Abdil
Bar t berkata (At-Tamhid, 14/292): “Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu
bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa
bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib
berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah
mempersaksikan hal itu.
Diperbolehkan
baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya.
Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas c berkata: “Aku senang bahwa
orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼ dalam hal wasiat. Nabi n bersabda:
‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)
Wasiat
tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali
dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى
كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya
Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat
untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa`)
Ibnu
Mundzir t berkata (Al-Ijma’ hal. 100): “Para ulama sepakat bahwa tidak ada
wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.”
Ibnu Katsir
t berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471): “Ketika wasiat itu adalah
rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris, serta
mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat itu haram hukumnya, berdasarkan
ijma’ dan dengan Al-Qur`an:
“(Wasiat
itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun.” (Al-Ma`idah: 12)
Adapun
wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wasiat tersebut
batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah x, dia berkata: Rasulullah n
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku ini apa yang tidak
berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)
6.
Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah
Asy-Syaikh
Al-Albani t berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18): “Ketika adat kebiasaan yang
dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan
agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah, maka termasuk perkara yang wajib
adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus
dan dikuburkan sesuai As-Sunnah, untuk mengamalkan firman Allah l:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”2
Oleh karena
itulah, para sahabat g mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam
hal ini) banyak sekali. Di antaranya:
a. Dari
Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash z)
berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:
أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا
وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ
n
“Buatlah
liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian
kepada Rasulullah n.”
b. Dari Abu
Burdah dia berkata: Abu Musa z mewasiatkan ketika hendak meninggal: “Apabila
kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan
mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu
yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas
kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur
gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit
karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya
karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu
dari Nabi n tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah n.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya
hasan)
Al-Imam
An-Nawawi t berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya dengan kuat untuk
mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi adat kebiasaan yang
berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan dikuatkan perkara tersebut (dengan
wasiat).”
Wallahu a’lam
bish-shawab.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan)
0 komentar:
Posting Komentar