Kufur Nikmat
Menurut Al Quran
ICC Jakarta – Ada dua pesan yang dibawa oleh al-Qur’an
al-Karim dan selanjutnya disampaikan oleh Rasulullah Saw dan para Washi beliau
As. Dua pesan itu adalah kabar gembira dan kabar menakutkan (peringatan). Kabar
gembira (basyiran) itu beliau sampaikan buat orang-orang yang beriman.
Sedangkan peringatan (nadziran) beliau sampaikan buat orang-orang yang ingkar
dan kafir. Sebagaimana Allah Swt telah menegaskan akan menambahkan balasan,
ganjaran dan keberkahan bagi orang-orang yang mensyukuri segala pemberian dan
nikmat-nikmat-Nya, demikian pula Dia mengancam dengan siksa dan berbagai
bencana terhadap orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat-Nya. Tulisan kali
ini mengenai tafsir tematik dan atas ayat-ayat pilihan pada kesempatan kali ini
adalah tentang kufur nikmat.
Sehubungan dengan mengkufuri nikmat, Allah Swt berfirman
di dalam surat an-Nahl ayat 112 dan 113 sebagai berikut:
وَ
ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتيها رِزْقُها
رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ
الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ. وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ
مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذابُ وَ هُمْ ظالِمُونَ.
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itulah Allah mengenakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri,
tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan oleh azab Ilahi
dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Dua ayat di
atas ingin menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak mensyukuri
nikmat-nikmat Allah Swt, dan bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah Swt
menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Penjelasan
Di dalam
ayat tersebut Allah Swt berfirman: (قَرْيَةً وَ ضَرَبَ
اللهُ مَثَلاً)“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri
atau kota”. Al-Quran al-Majid menyerupakan dan membuat perumpamaan orang-orang
kafir yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung[1] berpenduduk
yang memiliki kekayaan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini
dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
”(dengan)
sebuah negeri yang dahulunya aman”. (كانَتْ آمِنَةً)
Ciri
pertama kampung atau negara ini adalah sebuah kampung atau negara yang aman.
Memang, rasa aman adalah termasuk nikmat Ilahi yang paling penting. Karenanya
ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya,
apabila suatu tempat atau suatu daerah yang berpenduduk telah kehilangan
keamanannya, maka ia juga akan kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian
juga, ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan
keahlian dan kegiatan industri. Bahkan pelaksanaan ibadah, dan syi’ar-syi’ar
agama pun menjadi tidak kondusip dan tidak semarak lagi. Artinya sebuah kegiatan
tidak akan bisa berjalan secara maksimal tanpa terciptanya sebuah keamanan.
Masyarakat
dan bangsa Indonesia tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem
di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air dan mengusir penjajahan
Belanda. Dan termasuk kesulitan yang dialami oleh umat islam pada waktu itu
dalam pelaksanaan ibadah. Sebagian kaum muslimin di tengah-tengah shalatnya
mendengar suara bom dan tembakan sehingga membuat mereka khawatir dan tidak
tenang dalam beribadah. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan
shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan yang sangat besar yang
berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil As
menapak di tanah Makkah yang tandus dan kemudian beliau membangun Baitullah
al-Haram, beliau As berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a
yang diabadikan oleh Allah Swt di dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ
آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ
قَلِيْلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ.
”Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki berupa buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku akan beri kesenangan sementara,
tetapi kemudian Aku seret ia secara
paksa untuk menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Di dalam
ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim As untuk
penduduk kota ini adalah keamanan.
Di dalam
suatu negara, apabila sebagian saja penduduknya melalaikan keamanan, maka
seluruh masyarakatnya akan merasakan penderitaan yang berat dan tidak merasa
aman dalam menjalani kehidupan. Sesungguhnya perampok-perampok yang bersenjata,
baik dengan senjata api atau bukan, tetap dikategorikan sebagai pengganggu dan
perusak keamanan, karena ulahnya itu akan menimbulkan akibat yang dahsyat
berupa hilangnya kemanan dan ketentraman. Demikian juga orang-orang yang
melalaikan keamanan wilayahnya yang luas, mereka dikategorikan sebagai para
perusak di muka bumi ini, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran dan siksa
yang pedih.
”lagi
tenteram”. (مُطْمَئِنَّةً)
Sebelum
itu, kota tersebut dicirikan sebagai kota yang penuh dengan keamanan, namun
keamanannnya tidaklah tetap dan permanen, kemudian ciri berikutnya adalah
memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang
disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
”rizkinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. (يَأْتيها
رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ)
Sebagaimana
telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk
diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari
gangguan ini pasti akan memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah
dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan
bermacam-macam.
”Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri”. (وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ)
Allah Swt,
di samping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan
ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi), yaitu
berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijak
dari kalangan mereka sendiri sehingga pengetahuan dan pendidikan mereka menjadi
sempurna.
Dari ayat
tersebut dapat kita pahami bahwa penduduk kota atau negara ini menikmati empat
jenis kenikmatan dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau
bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt
berfirman: “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu
Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”.
(فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ
الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ)
Penduduk
negeri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah.
Bahkan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong,
congkak dan egois, setelah berlaku zalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat
tersebut secara benar. Maka, akibat dari sikap semacam itu, turulah azab Ilahi
kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit,
yaitu kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka. Setiap saat mereka
dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak
menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negeri mereka.
Barangkali
timbul pertanyaan di dalam hati dari sebagian kita, bahwa ungkapan“adzâqahâ
(Allah merasakan kepada mereka)” tidaklah sesuai dengan ungkapan
libâas(pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya
-kepada mereka-)?
Jawabnya
adalah: Terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersamalibâs.
Berikut ini kami paparkan kedua poin tersebut:
Libas(pakaian)
mencakupi seluruh badan, demikian juga azab Ilahi telah meliputi seluruh
perkampungan atau negara tersebut.
Terkait
ungkapanadzâqahâ, yang harus diperhatikan adalah bahwa penginderaan dan
penyingkapan seseorang kepada sesuatu, itu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang
memahami atau menangkap sesuatu itu melalui alat indera pendengaran,
sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah
kebakaran.
Terkadang
seseorang melihat api dan langsung menangkapnya melalui penginderaan mata. Alat
penginderaan ini jauh lebih tinggi dari alat indera sebelumnya.
Terkadang
ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya.
Penginderaan seperti ini jauh lebih tinggi dibanding dua cara pengindraaan
sebelumnya.
Terkadang
juga seseorang memahami sesuatu melalui rasa (dzauq), dan ini jauh lebih
sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indera di atas. Tujuan penggunaan
kata adâqa(dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan
kemampuan mereka dalam memahami dan merasakan adzab Ilahi dan makanan yang
pahit tadi. Allah Swt berfirman: ”disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
بِما كانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya
perbuatan penduduk kampung atau negara tersebut telah menyebabkan turunnya
adzab Ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya azab yang efeknya
akan dirasalan oleh mereka sendiri.
Sebagai
contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat
atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak
fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan
efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah
semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada
saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Karenanya,
dalam sebuah riwayat disebutkan: ”Apabila orang-orang kaya kikir dengan
kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan
dunianya”[2].
Artinya
bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang
pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan
dalam sebuah riwayat: ”jagalah harta-harta kalian dengan sedekah”[3].
Artinya
bahwa cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan
dengan mensedekahkan sebagiannya, sehingga api kefakiran tidak sampai menyala
dan membakar keamanan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam
harta-harta mereka.
Pesan-pesan
ayat
Melalui
ayat tersebut, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita ambil sebaai ibrat dan
pelajaran penting.
Azab dan
malapetaka adalah akibat perbuatan manusia
Di antara
yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an dan terutama dari kedua ayat di
atas ialah bahwa problema yang kita hadapi dan malapetaka yang menimpa kita,
sebenarnya adalah hasil dari perbuatan kita juga. Karena sesungguhnya Allah
tidak akan menzalimi seorang pun.
Misalnya,
apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat atau negara tidak merasakan
kehidupan yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, padahal
negara mempunyai kekayaan yang melimpah, sementara di pihak lain terdapat
sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas mewah, mereka
memberikan berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya
pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka jika demikian, akan berkembanglah
segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Dengan demikian jelaslah
bahwa penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah karena
individu-indibidu masyarakat atau negara itu sendiri.
Al-Qur’an
al-Karim di dalam surat ar-Rum ayat ke 41 menjelaskan sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي
الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذيقَهُمْ بَعْضَ الَّذي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
”Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Sungguh
benar, bahwa sumber segala bencana dan problema adalah karena ulah manusia itu
sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan
harta serta membangga-banggakannya, ia lupa pada pendidikan anak-anak dan
keluarganya, jika pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral
dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah menyalahkan siapapun kecuali
dirinya sendiri, karena dia sendirilah penyebab semua problema yang telah
menimpanya itu.
Salah
seorang ulama kota suci Qum bercerita bahwa pada tahun 1342 HS, yaitu pada masa
kekuasaan Reza Pahlevi yang merupakan boneka Amerika pada saat itu, pemerintah melakukan penangkapan terhadap
sejumlah politikus dan agamawan. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara . Seorang ulama yang termasuk ditangkap dan
ditahan itu berkata, “Selama beberapa hari di dalam penjara, kami mendengar
suara-suara yang menakutkan. Kami menduga bahwa suara-suara itu adalah akibat
dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka. Tetapi dugaan
kami itu salah, karena kemudian kami ketahui bahwa suara-suara itu adalah
teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya untuk
mengkonsumsi obat-obat haram dan terlarang tersebut.Namun karena di dalam
penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, maka mereka merasakan kesakitan yang
sangat dahsyat dan berteriak-teriak secara histeris dan menakutkan.” Tidak
diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka
sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan
lebih dari itu, para pengguna narkotik itu menyebarkan kerusakan moral di
tengah-tengah masyarakat secara luas dan dengan leluasa, mereka menawarkan dan
menjual narkotik tersebut kepada para pemuda lainnya sehingga semua pemuda
menjadi rusak.
Ketahuilah
bahwa sesungguhnya para musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk
menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOBA
adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahui bahwa
seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini
akan kehilangan kehendaknya, sehingga ia bisa diarahkan kemana saja sesuai yang
mereka inginkan.
Apakah
kampung itu ada wujudnya?
Yang dapat
dipahami dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter
tersebut benar-benar ada wujud nyatanya. Karena itu, telah terajdi diskusi dan
perbedaan pendapat di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung
tersebut.
Terdapat
beberapa kemungkinan mengenai nama kampung tersebut. Sebagai contoh, di sini
saya akan menyebutkan dua nama saja;
Beberapa
mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud pada ayat tersbut adalah kota
Makkah[4]. Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman dan
tentram. Sebagaimana dalam kenyataannya, kota ini dianugerahi berbagai macam
kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang
tidak ada itu masih bisa didatangkan dan diinpor dari wilayah dan negara-negara
lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam
kenikmatan.
Ketika
Rasulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu
dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh
kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang disampaikan oleh Rasulullah Saw
kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rasulullah Saw untuk
mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan
ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalam kota tersebut.
Sungguh
benar, bahwa kufur terhadap nikmat itu akan diikuti oleh azab Ilahi, dan ini
merupakan sunnah Ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman.
Setiap kali kekufuran terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka azab
Ilahi pun akan terulang di tempat tersebut. Tidak terkecuali bencana yang
menimpa negara kita.
Sebagian
mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengan kota tersebut adalah kota
Saba[5], sebagaimana disebutkan di dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara
yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Maarib. Dengan
adanya bendungan ini, negri Saba berubah menjadi negri yanggemah ripah loh
jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga
melebihi kebutuhan penduduknya. Cukup dengan berjalan di jalan-jalannya dan
meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah
tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya
kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman.
Namun sangat disayangkan, penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat
ini dan meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk
menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Maarib tersebut
hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya
membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun,
pepohonan, rumah dan apapun yang ada di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik
paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota
tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Kita yang
hidup pada msa sekarang ini, secara nyata dan jelas tengah merasakan buah
pengkufuran nikmat Allah Swt. Apabila kita tidak mau memperbaiki hubungan kita
dengan Allah Swt, tidak mau bersyukur, tidak mau bertaubat, tidak mau beribadah
secara benar dan tetap bergelimpangan dalam maksiat, maka kehancuran negara dan
masyarakat kita ini akan semakin parah.
Sebelum
perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam
kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi
luar biasa hebat. Ia memiliki jenis kenikmatan apapun. Namun karena
kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban
jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari
perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar
ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri
nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus
mensyukurinya.
Harapan dan
doa saya, semoga apa yang telah kita kaji pada kesempatan pertemuan ini, dapat
kita pahami dengan benar dan dapat pula kita amalkan dengan baik dan ikhlas
sehingga bisa membuahkan dan melahirkan apa yang kita harapkan dan
idam-idamkan, yaitu berupa kemanan dan ketentrama yang sejati dan abadi. []
Daftar
Pustaka
[1] Istilah qaryah (kampung) dalam al-Qur`an tidaklah
berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti sebuah kawasan yang
berpenduduk, baik berbentuk kota besar
maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai ibu kota Mesir pada
masa nabi Yusuf a.s.
[2] Bihârul Anwar, juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah,
pada Kalimat_Kalimat Ringkas”, kalimat ke 364.
[3] Ibid, Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
[4] Lihatlah Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan
At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
[5] Lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
0 komentar:
Posting Komentar