Tadabbur Surat Alam
Nasyrah: Satu Kesulitan Dua Kemudahan
Mukaddimah
dakwatuna.com – Menurut para ulama, surat Alam Nasyrah
diturunkan di Makkah setelah surat adh-Dhuha sebagaimana urutannya dalam mushaf
usmany([1]). Surat ini memiliki beberapa nama selain Alam Nasyrah, di antarnya:
asy-Syarh([2]), seperti yang terdapat dibanyak cetakan mushaf sekarang dan
buku-buku tafsir. Juga al-Insyirah seperti yang disebutkan Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dan Ibnu al-Jauzy dalam tafsirnya([3]).
Surat ini merupakan kelanjutan surat sebelumnya, karena
sama-sama membahas kepribadian Nabi Muhammad saw dan kondisi yang dihadapi oleh
beliau. Keduanya juga menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah.
Jika di surat sebelumnya Allah menyebutkan tiga nikmatnya: Allahlah yang
memberikan ‘inayah (perlindungan) saat kondisi beliau yatim, fakir dan
kebingungan. Maka pada surat ini, Allah tambahkan tiga nikmat-Nya yang lain:
nikmat kelapangan dada([4]), meringankan beban beliau saat berhadapan dengan
kaumnya ketika menyampaikan risalah kenabian yang tak ringan, juga Allah
tinggikan kedudukan dan derajat beliau baik di bumi maupun di langit melebihi
segala ciptaan-Nya yang pernah dan yang akan ada.
Hal ini hanya
diperuntukkan kepada beliau demi menghibur sekaligus menguatkan azamnya. Di
tengah teror yang tak henti-hentinya dari musyrikin Makkah. Di akhir surat ini,
Allah memerintahkan untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, juga untuk
beribadah setelah menyampaikan risalah. Perpindahan-perpindahan aktivitas
tersebut merupakan refleksi rasa syukur([5]) kepada Allah swt atas karunia
nikmat-nikmat-Nya yang sangat banyak yang tak memungkinkan untuk
dihitung-hitung apalagi untuk dibalas.
Kenikmatan-Kenikmatan
“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami
telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu? Dan kami
tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. 94: 1-4)
Nikmat pertama yang disebut Allah adalah nikmat
kelapangan dada. Diturunkan dalam bentuk pertanyaan sebagaimana surat
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Muhammad saw juga benar-benar
berpikir, merenungi lebih dalam atas karunia dan nikmat-nikmat yang diberikan
Allah kepadanya. Lebih dari yang sekadar disebut-Nya.
Ayat di atas mengandung dua makna, zhahir dan batin.
Secara zhahir, Rasulullah saw pernah dibersihkan organ dalamnya oleh malaikat
sewaktu masih kecil. Demikian juga setelah itu. Sebagian ulama berpendapat
bahwa hal tersebut terjadi berkali-kali.
Pertama kali terjadi pada saat beliau berusia empat
tahun, yaitu masa-masa terakhir beliau diasuh oleh Halimah Sa’diyah di
perkampungan Bani Sa’d sebelum dikembalikan kepada ibunya. Kedua, terjadi pada
saat beliau berumur duapuluhan tahun. Ketiga, terjadi lagi sebelum beliau Isra’
Mi’raj([6]).
Dalam riwayat Imam Ahmad dijelaskan bahwa tujuan
pembelahan dada beliau –operasi fisik- secara zhahir adalah untuk membuang
dendam, hasad dan iri (al-Ghill wa al-Hasad) dan kemudian memasukkan cinta dan
kasih sayang (Rahmah wa Ra`fah) ([7]). Menariknya, Imam al-Baidhawy mengatakan
bahwa seolah-olah ini merupakan athaf dari surat sebelumnya yang datang dengan
kata tanya (istifham) (ألم يجدك يتيماً).
Dan untuk menegaskan bahwa masih banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang
tidak disebut dan manusia tak mampu menghitungnya.
Adapun
kandungan makna batinnya, bahwa Allah telah memberikan kelapangan dada dengan
membuka hati beliau untuk dimudahkan menerima ilmu dan hikmah kenabian serta
risalah. Demikian ditegaskan maknanya oleh Imam al-Baghawi([8]). Bahkan para
tokoh sufi lebih suka memakai makna batin ini dan lebih merajihkannya karena
kata yang dipakai adalah syaraha.
Nikmat
kedua, menghilangkan beratnya beban-beban dakwah Rasulullah saw. Sebagian para
ahli tafsir menafsirkan al-wizr adalah kesalahan dan kealpaan yang dilakukan
Nabi Muhammad sebelum beliau menjadi nabi. Semuanya telah Allah ampunkan. Tapi,
tak sedikit yang menafsirkannya dengan beban secara umum yang dihadapi oleh
Rasulullah saw dalam melaksanakan misi yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Yaitu menyampaikan risalah kenabian. Baik beban fisik dengan teror yang
diterimanya, maupun secara psikis yang dialaminya berkali-kali. Mulai hinaan,
cemoohan, ancaman, tuduhan keji atau bahkan rayuan dan bujukan. Semuanya Allah
jadikan ringan. Bahkan Allah melengkapinya dengan nikmat selanjutnya.
Nikmat ketiga,
ditinggikan derajatnya. Allah mengangkat derajat beliau sebagai nabi. Bahkan
disandingkan namanya dengan asma’ Allah Yang Mahaagung. Namanya disebut oleh
penduduk bumi dan langit di sepanjang waktu. Penduduk bumi yang shalat saja
berputar dari pagi ke pagi selalu ada yang shalat, syahadatain dibaca di
dalamnya. Dalam khutbah, syahadatain juga dibaca. Sebelum ijab qabul
pernikahan, syahadatain juga dibaca. Banyak riwayat yang menyebutan kemuliaan
beliau yang diberikan Allah dengan penyebutan tersebut([9]).
Kemudahan-Kemudahan
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. 94: 5-6)
Apa rahasia
pengulangan kalimat-kalimat di atas? Apa makna yang terkandung hingga Allah
perlu mengulangi dan menegaskan pesan-pesan-Nya?
Imam
al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari
struktur gaya bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah
jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah sama dengan yang pertama. Namun,
jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang pertama.”([10]).
Dari kaidah ini bisa ditarik sebuah kesimpulan, setiap satu kesulitan terdapat
dua kemudahan. Setidaknya akan berupa penyelesaian yang terbaik serta pahala
kebaikan yang hanya diketahui Allah jika bersabar dalam menghadapinya. Setelah
kesulitan dan beban-beban dakwah yang berat di Makkah, Allah akan memberikan
kemudahan dan kemenangan di Madinah.
Kemudahan
yang diberikan Allah bahkan berlipat-lipat. Jika Nabi saw terlahir sebagai
yatim, beliau bahkan menyantuni banyak fakir miskin dan anak-anak yatim serta
para janda miskin. Allah berikan kekayaan, beliau diangkat derajatnya,
dilapangkan dadanya dan diringankan beban-bebannya. Apalagi setelah diangkat
sebagai Nabi dan Rasul Allah swt. Meski, tekanan justru datang setelah itu.
Tapi kemudahan dan kemenangan Allah jadikan setelahnya. Bahkan, beliau menjelma
menjadi rahmat –atas titah Allah- bagi segenap alam semesta. Bukan hanya bagi
manusia saja.
Bahkan
sebagian dari mereka ada yang melarikan diri. Kemuliaan yang tak menjadikan
beliau sombong dan lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar,
bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang dikaruniakan Allah berupa
mengukuhkan dan mengokohkan agama-Nya di muka bumi ini.
Tadabbur Surat Alam
Nasyrah: Satu Kesulitan Dua Kemudahan
Mukaddimah
dakwatuna.com – Menurut para ulama, surat Alam Nasyrah
diturunkan di Makkah setelah surat adh-Dhuha sebagaimana urutannya dalam mushaf
usmany([1]). Surat ini memiliki beberapa nama selain Alam Nasyrah, di antarnya:
asy-Syarh([2]), seperti yang terdapat dibanyak cetakan mushaf sekarang dan
buku-buku tafsir. Juga al-Insyirah seperti yang disebutkan Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dan Ibnu al-Jauzy dalam tafsirnya([3]).
Surat ini merupakan kelanjutan surat sebelumnya, karena
sama-sama membahas kepribadian Nabi Muhammad saw dan kondisi yang dihadapi oleh
beliau. Keduanya juga menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah.
Jika di surat sebelumnya Allah menyebutkan tiga nikmatnya: Allahlah yang
memberikan ‘inayah (perlindungan) saat kondisi beliau yatim, fakir dan
kebingungan. Maka pada surat ini, Allah tambahkan tiga nikmat-Nya yang lain:
nikmat kelapangan dada([4]), meringankan beban beliau saat berhadapan dengan
kaumnya ketika menyampaikan risalah kenabian yang tak ringan, juga Allah
tinggikan kedudukan dan derajat beliau baik di bumi maupun di langit melebihi
segala ciptaan-Nya yang pernah dan yang akan ada.
Hal ini hanya
diperuntukkan kepada beliau demi menghibur sekaligus menguatkan azamnya. Di
tengah teror yang tak henti-hentinya dari musyrikin Makkah. Di akhir surat ini,
Allah memerintahkan untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, juga untuk
beribadah setelah menyampaikan risalah. Perpindahan-perpindahan aktivitas
tersebut merupakan refleksi rasa syukur([5]) kepada Allah swt atas karunia
nikmat-nikmat-Nya yang sangat banyak yang tak memungkinkan untuk
dihitung-hitung apalagi untuk dibalas.
Kenikmatan-Kenikmatan
“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami
telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu? Dan kami
tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. 94: 1-4)
Nikmat pertama yang disebut Allah adalah nikmat
kelapangan dada. Diturunkan dalam bentuk pertanyaan sebagaimana surat
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Muhammad saw juga benar-benar
berpikir, merenungi lebih dalam atas karunia dan nikmat-nikmat yang diberikan
Allah kepadanya. Lebih dari yang sekadar disebut-Nya.
Ayat di atas mengandung dua makna, zhahir dan batin.
Secara zhahir, Rasulullah saw pernah dibersihkan organ dalamnya oleh malaikat
sewaktu masih kecil. Demikian juga setelah itu. Sebagian ulama berpendapat
bahwa hal tersebut terjadi berkali-kali.
Pertama kali terjadi pada saat beliau berusia empat
tahun, yaitu masa-masa terakhir beliau diasuh oleh Halimah Sa’diyah di
perkampungan Bani Sa’d sebelum dikembalikan kepada ibunya. Kedua, terjadi pada
saat beliau berumur duapuluhan tahun. Ketiga, terjadi lagi sebelum beliau Isra’
Mi’raj([6]).
Dalam riwayat Imam Ahmad dijelaskan bahwa tujuan
pembelahan dada beliau –operasi fisik- secara zhahir adalah untuk membuang
dendam, hasad dan iri (al-Ghill wa al-Hasad) dan kemudian memasukkan cinta dan
kasih sayang (Rahmah wa Ra`fah) ([7]). Menariknya, Imam al-Baidhawy mengatakan
bahwa seolah-olah ini merupakan athaf dari surat sebelumnya yang datang dengan
kata tanya (istifham) (ألم يجدك يتيماً).
Dan untuk menegaskan bahwa masih banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang
tidak disebut dan manusia tak mampu menghitungnya.
Adapun
kandungan makna batinnya, bahwa Allah telah memberikan kelapangan dada dengan
membuka hati beliau untuk dimudahkan menerima ilmu dan hikmah kenabian serta
risalah. Demikian ditegaskan maknanya oleh Imam al-Baghawi([8]). Bahkan para
tokoh sufi lebih suka memakai makna batin ini dan lebih merajihkannya karena
kata yang dipakai adalah syaraha.
Nikmat
kedua, menghilangkan beratnya beban-beban dakwah Rasulullah saw. Sebagian para
ahli tafsir menafsirkan al-wizr adalah kesalahan dan kealpaan yang dilakukan
Nabi Muhammad sebelum beliau menjadi nabi. Semuanya telah Allah ampunkan. Tapi,
tak sedikit yang menafsirkannya dengan beban secara umum yang dihadapi oleh
Rasulullah saw dalam melaksanakan misi yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Yaitu menyampaikan risalah kenabian. Baik beban fisik dengan teror yang
diterimanya, maupun secara psikis yang dialaminya berkali-kali. Mulai hinaan,
cemoohan, ancaman, tuduhan keji atau bahkan rayuan dan bujukan. Semuanya Allah
jadikan ringan. Bahkan Allah melengkapinya dengan nikmat selanjutnya.
Nikmat ketiga,
ditinggikan derajatnya. Allah mengangkat derajat beliau sebagai nabi. Bahkan
disandingkan namanya dengan asma’ Allah Yang Mahaagung. Namanya disebut oleh
penduduk bumi dan langit di sepanjang waktu. Penduduk bumi yang shalat saja
berputar dari pagi ke pagi selalu ada yang shalat, syahadatain dibaca di
dalamnya. Dalam khutbah, syahadatain juga dibaca. Sebelum ijab qabul
pernikahan, syahadatain juga dibaca. Banyak riwayat yang menyebutan kemuliaan
beliau yang diberikan Allah dengan penyebutan tersebut([9]).
Kemudahan-Kemudahan
Setelah
menyebutkan nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya, Dia
menegaskan sebuah makna yang memberikan sugesti kemenangan, kebahagiaan dan
ketenangan.
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. 94: 5-6)
Apa rahasia
pengulangan kalimat-kalimat di atas? Apa makna yang terkandung hingga Allah
perlu mengulangi dan menegaskan pesan-pesan-Nya?
Imam
al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari
struktur gaya bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah
jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah sama dengan yang pertama. Namun,
jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang pertama.”([10]).
Dari kaidah ini bisa ditarik sebuah kesimpulan, setiap satu kesulitan terdapat
dua kemudahan. Setidaknya akan berupa penyelesaian yang terbaik serta pahala
kebaikan yang hanya diketahui Allah jika bersabar dalam menghadapinya. Setelah
kesulitan dan beban-beban dakwah yang berat di Makkah, Allah akan memberikan
kemudahan dan kemenangan di Madinah.
Kemudahan
yang diberikan Allah bahkan berlipat-lipat. Jika Nabi saw terlahir sebagai
yatim, beliau bahkan menyantuni banyak fakir miskin dan anak-anak yatim serta
para janda miskin. Allah berikan kekayaan, beliau diangkat derajatnya,
dilapangkan dadanya dan diringankan beban-bebannya. Apalagi setelah diangkat
sebagai Nabi dan Rasul Allah swt. Meski, tekanan justru datang setelah itu.
Tapi kemudahan dan kemenangan Allah jadikan setelahnya. Bahkan, beliau menjelma
menjadi rahmat –atas titah Allah- bagi segenap alam semesta. Bukan hanya bagi
manusia saja.
Jika pada
mulanya Islam ditekan, pengikutnya juga ditindas dan dihina, pengikutnya
orang-orang lemah dan terzhalimi. Tapi akhirnya, Allah mengubahnya sesuai
janjinya. Sebagai contoh kisah Fathu Makkah memberikan kebenaran janji Allah.
Dengan segala izzah, Rasul memasuki kota Makkah. Jika sebelumnya orang-orang
kuat penduduk Makkah menindas beliau dan para pengikutnya, maka pada saat itu
semuanya tertunduk pasrah.
Bahkan
sebagian dari mereka ada yang melarikan diri. Kemuliaan yang tak menjadikan
beliau sombong dan lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar,
bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang dikaruniakan Allah berupa
mengukuhkan dan mengokohkan agama-Nya di muka bumi ini.
Yakinlah,
setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah, kemudahan duniawi
dan ukhrawi. Tak heran jika kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ra, “Beritakan kabar gembira, telah datang
kemudahan. Takkan pernah satu kesulitan mengalahkan dua kemudahan.”([11])
Maha Benar
Allah dalam segala firman-Nya.
Perpindahan
Aktivitas
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.(QS. 94: 7)
Inilah
makna istirahat yang sebenarnya. Bukanlah dengan bermalas-malasan dan
bersantai, namun dengan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain.
Sehingga akan maksimal produktifitas seseorang. Maka, Nabi Muhammad saw
mencontohkan setelah menyampaikan dakwahnya, beliau diperintah untuk bersegera
beribadah sebagai rasa syukur atas nikmat kenabian sekaligus sebagai rasa
tawakkal memasrahkan usaha yang telah dilakukan sebelumnya. Bahwa hasil dari
dakwah beliau sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Inilah yang
seharusnya ditiru oleh pengikut beliau. Jika itu benar-benar kita lakukan, maka
kemudahan-kemudahan akan semakin banyak diberikan Allah. Dan Allah akan
tinggikan pula ‘izzah agama ini melalui tangan-tangan kita.
Selain itu,
ayat ini mengisyaratkan sebuah keseimbangan ideal. Setelah kita sibuk dan
beramal untuk dunia, maka seharusnya kita juga berbuat dan beramal untuk
akhirat.
“Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94: 8)
Kesyukuran
itu lebih sempurna bila kita jadikan Allah benar-benar satu-satunya tempat
bergantung dan berharap. Apa yang lebih indah dari rasa syukur yang
dikaruniakan Allah yang telah menyebut bahwa hanya sedikit saja dari hamba-Nya
yang mampu bersyukur dengan baik.
Sang Guru
Ibnu Atha`illah As-Sakandary mengimbuhkan sebuah makna yang sangat dalam,
“Allah menganugerahimu tiga kemuliaan. Dia membuatmu ingat (zikir) kepada-Nya.
Kalaulah bukan karena karunia-Nya, engkau tak pantas menjadi ahli zikir
kepada-Nya. Dia membuatmu diingat oleh-Nya (mazkur), karena Dia sendiri yang
menisbahkan zikir itu untukmu. Dan Dia juga membuatmu diingat di sisi-Nya, saat
Allah sempurnakan nikmat-Nya kepadamu.”([12])
.
Penutup
Itulah
Allah. Zat yang rahmat-Nya luas tanpa batas. Zat yang kasih sayang-Nya tidak
terbilang. Pernahkah menghitung nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada
kita? Padahal, tak banyak yang sudah kita lakukan untuk menyukurinya. Berapa
kalikah kita berbuat dosa dan melanggar larangan-Nya, tak menunaikan
hak-hak-Nya dengan baik?
Namun,
hingga saat ini Dia masih saja memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat
dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Betapa banyak kesalahan yang kita
sembunyikan dari orang tua, istri, anak dan dari orang banyak. Dan Allah tetap
terus menutupnya.
Akankah
kita melupakannya begitu saja? Alangkah baiknya jika kita tak menghentikan
pengharapan kita pada-Nya dan terus mendekatkan diri dengan bertaubat dan
istighfar. Itulah kesempurnaan pengharapan. Maka, Dialah Zat yang laik untuk
benar-benar diharapkan. Karena Dia tak pernah menyelisihi dan mengingkari
janji-Nya serta mengabaikan ketulusan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Catatan
Kaki:
([1])
lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi
‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249.
Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas
al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.816
([2]) Ibid.
hlm. 817
([3])
lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma`tsur,
Beirut: Dar al-Fikr, Cet.I, 1983 M-1403 H,, Vol.VIII, hlm. 547, Abdurrahman
Ibnu al-Jauzy, Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir, Beirut: al-Maktab al-Islami,
Cet.III, 1404 H, Vol.IX, hlm. 162
([4]) ada
banyak pendapat tentang pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang insya Allah akan
kita bicarakan saat menadabburi ayatnya nanti.
([5])
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali
Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 302
([6])
Lihat: Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H,
Vol. 30, hlm. 299-300, Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim,
Cairo: al-Maktab Ats-Tsaqafi, Cet.I, 2001 M, Vol. IV, hlm. 528
([7])
Tafsir Ibnu Katsir, Ibid.
([8])
Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004
M-1424 H, Vol.IV, hlm. 469
([9]) Ali
bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm.416-417, juga: Ibnu Jarir
ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir,
Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 285
([10])
Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol. IV, hlm. 470, Muhyiddin ad-Darwisy,
I’rabu al-Qur`an al-Karim wa Bayanuhu, Beirut: Dar Ibnu Katsir, Cet. IX, 2005
M-1426 H, Vol. VIII,hlm. 353, lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa
Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq,
Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 876
([11]) Ibnu
Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan,Op.Cit, Vol. 30, hlm. 286, Abul Qasim
Jarullah Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm.
221
([12]) Ibnu
Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Penerjemah: Dr. Ismail Ba’adillah,
Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 289
Dr. Saiful Bahri, MA
Yakinlah,
setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah, kemudahan duniawi
dan ukhrawi. Tak heran jika kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ra, “Beritakan kabar gembira, telah datang
kemudahan. Takkan pernah satu kesulitan mengalahkan dua kemudahan.”([11])
Maha Benar
Allah dalam segala firman-Nya.
Perpindahan
Aktivitas
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.(QS. 94: 7)
Inilah
makna istirahat yang sebenarnya. Bukanlah dengan bermalas-malasan dan
bersantai, namun dengan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain.
Sehingga akan maksimal produktifitas seseorang. Maka, Nabi Muhammad saw
mencontohkan setelah menyampaikan dakwahnya, beliau diperintah untuk bersegera
beribadah sebagai rasa syukur atas nikmat kenabian sekaligus sebagai rasa
tawakkal memasrahkan usaha yang telah dilakukan sebelumnya. Bahwa hasil dari
dakwah beliau sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Inilah yang
seharusnya ditiru oleh pengikut beliau. Jika itu benar-benar kita lakukan, maka
kemudahan-kemudahan akan semakin banyak diberikan Allah. Dan Allah akan
tinggikan pula ‘izzah agama ini melalui tangan-tangan kita.
Selain itu,
ayat ini mengisyaratkan sebuah keseimbangan ideal. Setelah kita sibuk dan
beramal untuk dunia, maka seharusnya kita juga berbuat dan beramal untuk
akhirat.
“Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94: 8)
Kesyukuran
itu lebih sempurna bila kita jadikan Allah benar-benar satu-satunya tempat
bergantung dan berharap. Apa yang lebih indah dari rasa syukur yang
dikaruniakan Allah yang telah menyebut bahwa hanya sedikit saja dari hamba-Nya
yang mampu bersyukur dengan baik.
Sang Guru
Ibnu Atha`illah As-Sakandary mengimbuhkan sebuah makna yang sangat dalam,
“Allah menganugerahimu tiga kemuliaan. Dia membuatmu ingat (zikir) kepada-Nya.
Kalaulah bukan karena karunia-Nya, engkau tak pantas menjadi ahli zikir
kepada-Nya. Dia membuatmu diingat oleh-Nya (mazkur), karena Dia sendiri yang
menisbahkan zikir itu untukmu. Dan Dia juga membuatmu diingat di sisi-Nya, saat
Allah sempurnakan nikmat-Nya kepadamu.”([12]).
Penutup
Itulah
Allah. Zat yang rahmat-Nya luas tanpa batas. Zat yang kasih sayang-Nya tidak
terbilang. Pernahkah menghitung nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada
kita? Padahal, tak banyak yang sudah kita lakukan untuk menyukurinya. Berapa
kalikah kita berbuat dosa dan melanggar larangan-Nya, tak menunaikan
hak-hak-Nya dengan baik?
Namun,
hingga saat ini Dia masih saja memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat
dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Betapa banyak kesalahan yang kita
sembunyikan dari orang tua, istri, anak dan dari orang banyak. Dan Allah tetap
terus menutupnya.
Akankah
kita melupakannya begitu saja? Alangkah baiknya jika kita tak menghentikan
pengharapan kita pada-Nya dan terus mendekatkan diri dengan bertaubat dan
istighfar. Itulah kesempurnaan pengharapan. Maka, Dialah Zat yang laik untuk
benar-benar diharapkan. Karena Dia tak pernah menyelisihi dan mengingkari
janji-Nya serta mengabaikan ketulusan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Catatan
Kaki:
([1])
lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi
‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249.
Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas
al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.816
([2]) Ibid.
hlm. 817
([3])
lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma`tsur,
Beirut: Dar al-Fikr, Cet.I, 1983 M-1403 H,, Vol.VIII, hlm. 547, Abdurrahman
Ibnu al-Jauzy, Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir, Beirut: al-Maktab al-Islami,
Cet.III, 1404 H, Vol.IX, hlm. 162
([4]) ada
banyak pendapat tentang pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang insya Allah akan
kita bicarakan saat menadabburi ayatnya nanti.
([5])
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali
Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 302
([6])
Lihat: Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H,
Vol. 30, hlm. 299-300, Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim,
Cairo: al-Maktab Ats-Tsaqafi, Cet.I, 2001 M, Vol. IV, hlm. 528
([7])
Tafsir Ibnu Katsir, Ibid.
([8])
Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004
M-1424 H, Vol.IV, hlm. 469
([9]) Ali
bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm.416-417, juga: Ibnu Jarir
ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir,
Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 285
([10])
Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol. IV, hlm. 470, Muhyiddin ad-Darwisy,
I’rabu al-Qur`an al-Karim wa Bayanuhu, Beirut: Dar Ibnu Katsir, Cet. IX, 2005
M-1426 H, Vol. VIII,hlm. 353, lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa
Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq,
Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 876
([11]) Ibnu
Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan,Op.Cit, Vol. 30, hlm. 286, Abul Qasim
Jarullah Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm.
221
([12]) Ibnu
Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Penerjemah: Dr. Ismail Ba’adillah,
Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 289
Dr. Saiful Bahri, MA
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Yuk mainkan permainan POKER No ROBOT 100% silahkan langsung saja merapat dan bermain POKER bersama kami di ARENADOMINO ditunggu ya gan.. :) WA +855 96 4967353
Posting Komentar