KEUTAMAAN DZIKIR KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
Manfaat Dzikir Hadits Keutamaan Dzikir Hadits Shahih
Tentang Dzikir Keutamaan Dzikir Kepada Allah Hadist Dzikir
KEUTAMAAN DZIKIR KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ
شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ
أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
Dari
‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya
syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu
yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”
TAKHRIJ
HADITS
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190); at-Tirmidzi (no. 3375).
Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu Majah (no. 3793) dan lafazh
ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no. 29944); Al-Baihaqi (III/371)
Hadits ini
dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan al-Hâkim (I/495)
dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam
Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan
Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)
SYARAH
HADITS
Ibnu
Hibban[1] meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin Jabal
Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla
?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu
basah karena berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .’”
Allâh Azza
wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan
Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا
Wahai
orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat (nama-Nya)
sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”
[al-Ahzâb/33:41-42]
Allâh Azza
wa Jalla juga berfirman.
وَالْحَافِظَاتِ
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“…
Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“[al-Ahzâb/33:35]
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ
قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ
اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ
“al-Mufarridûn
telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa al-Mufarridûn wahai
Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum laki-laki dan
perempuan yang banyak berdzikir kepada Allâh.”[2]
Dari hadits
di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang terus-menerus
berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak berdzikir kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , mengikuti contoh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hatinya ingat kepada Allâh Azza wa
Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia termasuk orang yang bertakwa. Sahabat
‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada
saat beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla, yang artinya, “Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar
takwa kepada-Nya…” [Ali ‘Imrân/3:102]
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ،
وَأَنْ يُذْكَرَ فَلاَ يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكْفَرَ
Hendaklah
Allâh itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta
disyukuri dan tidak dikufuri.[3]
Contoh
teladan kita adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berdzikir
kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaannya. Aisyah Radhiyallahu anhuma
berkata
:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allâh dalam setiap
keadaannya.[4]
Salah
seorang dari tujuh orang yang dinaungi Allâh Azza wa Jalla dalam naungan-Nya
pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya diantaranya ialah orang
yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air
matanya.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… وَرَجُلٌ ذَكَرَ
اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ …
“… Dan
seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian
berlinanglah air matanya …”[5]
Hati
orang-orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak akan tenang kecuali dengan
dzikir kepada-Nya dan jiwa orang-orang yang rindu kepada-Nya tidak tenang
kecuali ingin berjumpa dengan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk
berdzikir kepada-Nya dalam setiap keadaan dan memuji orang-orang yang
berdzikir. Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allâh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah
kami dari adzab neraka.’” [Ali ‘Imrân/3:191]
Bahkan
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir dalam jihad, berperang
menghadapi musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh
hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyak-banyak (berzikir dan berdo’a) agar
kamu beruntung.” [al-Anfâl/8:45]
Allâh Azza
wa Jalla juga memerintahkan dzikir sesudah shalat :
فَإِذَا قَضَيْتُمُ
الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ
Selanjutnya,
apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allâh ketika kamu
berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring…” [an-Nisâ’/4:103]
Yang
dimaksud shalat pada ayat ini adalah shalat khauf (shalat pada saat takut).
Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
Kemudian,
apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana
biasa). Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ/4:103]
Allâh Azza
wa Jalla juga memerintahkan berdzikir sesudah melaksanakan ibadah haji. Allâh
Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh, sebagaimana kamu
menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan)
berdzikirlah lebih banyak dari itu…” [al-Baqarah/2:200]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan juga berdzikir ketika kita sedang
duduk atau berada di majelis.
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ
يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ وَمَنِ اضْطَجَعَ
مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ الله فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ
Barangsiapa
duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, pastilah
dia mendapatkan kerugian dari Allâh, dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu
tempat lalu tidak berdzikir kepada Allâh, pastilah mendapatkan kerugian dari
Allâh.[6]
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا
لَمْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ
عَلَيْهِمْ تِرَةً ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَلَهُمْ.
Apabila
suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allâh dan tidak
membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pastilah
ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka. Maka jika Allâh menghendaki, Dia
akan menyiksa mereka dan jika menghendaki, Dia akan mengampuni mereka.”[7]
مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ
مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ
جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
Setiap kaum
yang bangkit dari suatu majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allâh di
dalamnya, maka selesainya majelis itu seperrti bangkai keledai dan hal itu
menjadi penyesalan mereka (di hari Kamat).[8]
Allâh Azza
wa Jalla juga memerintahkan berdzikir dengan dzikir yang banyak pada saat
mencari nafkah dan sesudah shalat jum’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi;
carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.”
[al-Jumu’ah/62:10]
Pada ayat
ini, Allâh Azza wa Jalla menggabungkan antara usaha mencari karunia (mencari
nafkah) dengan banyak dzikir kepada-Nya. Oleh karena itu, ada hadits tentang
keutamaan dzikir di pasar-pasar dan tempat-tempat melalaikan seperti dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ دَخَلَ السُّوْقَ
فَقَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ
وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِـيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ
الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ
حَسَنَةٍ ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ
دَرَجَةٍ
Barangsiapa
memasuki pasar, sedang di dalamnya ada sesuatu yang diteriakkan dan
diperjual-belikan kemudian berkata, ‘Tidak ada Ilah yang berhak disembah
kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kerajaan dan pujian
milik-Nya. Dia menghidupkan, mematikan, Mahahidup, dan tidak mati. Seluruh
kebaikan ada di Tangan-Nya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ maka Allâh
menulis baginya satu juta kebaikan, menghapus satu juta kesalahan darinya, dan
mengangkat satu juta derajat baginya [9].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan yang besar dalam berdzikir
di pasar, karena pasar adalah tempat yang banyak orang berbohong, menipu,
sumpah palsu, dan maksiat-maksiat lainnya. Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu berkata, “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allâh, maka
ia berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar dia menggerakkan mulutnya, itu
lebih baik.”[10]
DZIKIR
SIANG DAN MALAM
Sebagaimana
diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin berdzikir
kepada-Nya setiap siang dan malam sebanyak lima kali dengan cara mendirikan
shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain kelima shalat tersebut,
Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan mereka berdzikir sebanyak-banyaknya. Allâh
Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat agar manusia berdzikir kepada-Nya
(mengingat Allâh) dan juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan shalat-shalat
sunnah, dan mengisi waktu-waktunya dengan amal-amal yang wajib dan sunnah agar
manusia senantiasa ingat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya
Aku ini adalah Allâh, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâha/20:14]
Allâh Azza
wa Jalla juga berfirman yang artinya, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu al-Kitab (al-Qur’ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah
yang lain). Dan Allâh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[al-‘Ankabût/29:45]
Al-Hâfizh
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat
itu mencakup dua hal : (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan
kemungkaran, artinya mengerjakan shalat dengan rutin bisa mengantarkan kepada
sikap meninggalkan hal-hal tersebut… (kedua) shalat mencakup pula upaya
mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , inilah tuntutan terbesar”[11]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya dalam shalat terdapat
(dua hal): (Pertama) menolak sesuatu yang dibenci-yaitu perbuatan keji dan
mungkar-, dan (Kedua) mewujudkan sesuatu yang dicintai, yaitu dzikir
(mengingat) Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian,
tercapainya sesuatu yang dicintai ini lebih besar daripada menolak hal yang
dibenci tersebut. Karena dzikirullâh Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu ibadah
yang semata-mata karena Allâh, dan ibadah hati kepada Allâh adalah tujuan inti
yang diinginkan. Adapun tertolaknya kejelekan dari hati, maka hal itu dimaksudkan
karena selain-Nya, yaitu sebagai penyerta saja.”[12]
Maksudnya
apabila ia ikhlas dalam berdzikir dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala , maka perbuatan keji dan munkar akan tertolak dari hatinya. Wallaahu
a’lam.
Dzikir
dengan lisan, disyariatkan di semua waktu dan disunnahkan di sebagian waktu
dengan sunnah mu-akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Dzikir-dzikir
dilakukan dengan hati dan lisan. Hati mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dan
lisan melafadzkan dzikir-dzikir tersebut, dan anggota tubuh melaksanakan
ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan menahan diri dari perbuatan dosa dan
maksiat.
Misalnya,
lafadz Lâ ilâha illallâh, seseorang yang mengucapkan lafadz ini harus tahu
tentang makna Lâ ilâha illallâh, hatinya wajib meyakini bahwa Allâh
satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, semua sesembahan yang disembah oleh
manusia adalah batil. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali
hanya Allâh. Kemudian seorang hamba wajib melaksanakan seluruh bentuk ibadah
hanya kepada Allâh saja dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Oleh karena
itu, dzikir merupakan amal. Hal itu tampak dalam al-Qur’ân, bagaimana amal-amal
shalih itu senantiasa disertai dzikir.
Lâ ilâha
illallâh yang merupakan syahadat adalah dzikir paling afdhal (utama).
Di antara
waktu berdzikir yang ditekankan ialah berdzikir setelah shalat wajib lima waktu
yaitu berdzikir sebanyak seratus kali. Dzikirnya berbentuk tasbih yaitu membaca
(33x) سُبْحَانَ الله , tahmîd yaitu
membaca (33x) اَلْـحَمْدُلِلَّـه , takbir yaitu
membaca (33x) اَللَّـهُ أَكْبَر , dan ditutup dengan
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Dzikir juga
disunnahkan setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar. Jadi, dzikir pagi
disyariatkan setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Dzikir sore
disyari’atkan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Kedua waktu ini
adalah waktu siang yang paling baik untuk berdzikir. Oleh karena itu, Allâh
Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin berdzikir di kedua waktu tersebut.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا
Dan
bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. [al-Ahzâb/33:42]
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ
بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan
sebutlah nama Rabbmu pada (waktu) pagi dan petang [al-Insân/76:25]
Juga
firman-Nya, yang artinya, “…Dan sebutlah (nama) Rabb-mu banyak-banyak, dan
bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi hari.“ [Ali ‘Imrân/3:41]
Juga
firman-Nya, yang artinya, “…Allâh mewahyukan kepada mereka, ‘Bertasbihlah kamu
pada waktu pagi dan petang.’“ [Maryam/19:11]
Juga
firman-Nya, yang artinya, “Maka bertasbihlah kepada Allâh pada petang hari dan
pada pagi hari (waktu subuh).” [ar-Rûm/30:17]
Juga
firman-Nya, yang artinya, ” … Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu
petang dan pagi.”[Ghâfir/40:55]
Dan masih
banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Dzikir yang
paling baik yang dikerjakan di kedua waktu tersebut ialah sesudah shalat Shubuh
dan shalat Ashar yang merupakan shalat paling utama, shalat Ashar yang disebut
juga shalat wustha. Barangsiapa yang menjaga kedua shalat tersebut (Shubuh dan
Ashar), maka ia masuk Surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ
دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa
yang menjaga kedua shalat (Shubuh dan Ashar) maka ia masuk Surga.[13]
Dzikir pagi
sesudah shalat Shubuh dan dzikir sore sesudah shalat Ashar. Dzikir di kedua
waktu ini lebih baik dari amal lainnya, kemudian sesudah (berdzikir) itu
membaca al-Qur’ân. Dzikir-dzikir dan do’a-do’adi pagi dan sore hari yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali.[14]
Waktu
lainnya setelah kedua waktu tersebut ialah malam hari. Oleh karena itu, tasbih
dan shalat malam hari disebutkan di al-Qur’ân setelah kedua waktu tersebut.
Jika
setelah shalat Isya’ ia ingin tidur, ia disunnahkan tidur dalam keadaan suci
dan berdzikir. Ia bertasbih, bertahmid, bertakbir, sebanyak seratus kali
seperti diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu anhu dan Fathimah Radhiyallahu anhuma. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyuruh keduanya berbuat seperti itu jika hendak tidur, dilanjutkan
dengan dzikir-dzikir menjelang tidur yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dzikir-dzikir menjelang tidur itu bervariasi, misalnya
membaca al-Qur’ân, dan berdizkir kepada Allâh. Setelah itu, ia baru tidur.[15]
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Tidak ada
ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kerajaan dan pujian milik-Nya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci
Allâh, segala puji bagi Allâh, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali
Allâh, Allâh Maha Besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allâh
، ثُمَّ قَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِيْ ، أَوْ
قَالَ : ثُمَّ دَعَا اسْتُجِيْبَ لَهُ ، فَإِنْ عَزَمَ وَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ صَلَّى
قُبِلَتْ صَلاَتَهُ .
Kemudian
berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku,’ –atau beliau bersabda, kemudian ia
berdo’a-, maka do’anya dikabulkan. Jika ia berwudhu kemudian shalat, maka
shalatnya diterima.”[16]
Seorang
suami bangun untuk shalat malam kemudian dia membangunkan istrinya untuk shalat
maka keduanya termasuk orang yang banyak berdzikir . Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ
أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا –أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَ
مِنَ الذَّاكِرِيْنَ الله كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.
Apabila
seorang suami membangunkan istrinya di malam hari, lalu keduanya shalat –atau
masing-masing melakukan shalat dua rakaat- maka keduanya dicatat sebagai
laki-laki dan wanita yang banyak mengingat Allâh.[17]
Kemudian
selesai tahajjud dan witir hendaknya beristighfar pada waktu sahur, karena
Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.
الصَّابِرِينَ
وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ
بِالْأَسْحَارِ
(Juga)
orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan
hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. [Ali ‘Imrân/3:17]
Jika fajar
telah terbit, ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat kemudian mengerjakan
shalat Shubuh. Setelah itu, ia sibuk dengan dzikir yang diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai matahari terbit seperti telah disebutkan.
Barangsiapa
kondisinya seperti itu, maka lidahnya tidak henti-hentinya basah oleh dzikir
kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia berdzikir ketika hendak tidur, ketika badan
berbolak-balik di tempat tidur, kemudian mulai berdzikir lagi ketika bangun
tidur. Ini bukti kebenaran cinta kepada Allâh Azza wa Jalla .
Dan urusan
agama dan dunia yang pertama kali dikerjakan seseorang di pertengahan malam dan
siang, maka sebagian besar darinya disyariatkan dzikir dengan nama Allâh.
Dzikir dengan nama Allâh dan memuji-Nya disyariatkan ketika ia makan, minum,
berpakaian, melakukan hubungan suami-istri, masuk rumah, keluar rumah, masuk
dan keluar kamar mandi, naik kendaraan, menyembelih, dan lain sebagainya.
Ia
disyariatkan memuji Allâh Azza wa Jalla ketika bersin, berlindung dan memohon
keselamatan ketika melihat orang-orang yang diuji dalam agama dan dunia,
mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang Muslim, menjenguk dan mendo’akan
mereka ketika sakit, memuji Allâh Azza wa Jalla ketika mendapatkan nikmat baru
yang ia sukai dan hilangnya sakit yang dibencinya. Yang paling sempurna dari
itu semua adalah ia memuji Allâh pada saat suka, duka, krisis, dan dapat
rezeki. Jadi ia memuji Allâh dalam semua keadaan dan kondisi.
Ia
disyariatkan berdzikir dan berdo’a kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika
masuk pasar, mendengar suara kokok ayam di malam hari, mendengar petir, hujan
turun, angin bertiup kencang, melihat bulan, dan melihat pohon pertama kali
berbuah.
Ia juga
disyari’atkan berdzikir dan berdo’a kepada Allâh ketika sakit, mendapatkan
musibah, ketika akan keluar untuk bepergian, berhenti di tempat-tempat dalam
perjalanannya dan ketika tiba dari perjalanan dan dzikir-dzikir lainnya.
Ia
disyariatkan berlindung kepada Allâh ketika marah, melihat sesuatu yang tidak
disukainya di dalam mimpinya, mendengar suara anjing dan keledai di malam hari.
Ia
disyariatkan istikhârah (meminta pilihan) kepada Allâh ketika menginginkan
sesuatu yang ia belum memiliki pilihan di dalamnya.
Seorang
Muslim diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk segera bertaubat kepada-Nya
dan istighfar dari seluruh dosa, dosa-dosa besar maupun kecil. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ
مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri
sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan
siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]
Barangsiapa
melakukan dzikir mulai bangun tidur sampai ia tidur kembali, dan ia melakukan
semua itu dengan konsisten, ikhlas dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka lidahnya akan terus menerus basah oleh dzikir kepada
Allâh dalam semua kondisi.
Seorang
Mukmin hendaknya menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk beribadah kepada
Allâh Azza wa Jalla, berdo’a, berdzikir, mencari nafkah, menuntut ilmu, dan
lainnya. Dan yang paling mudah yaitu berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla ,
karena seorang Mukmin dapat berdzikir dimana saja dan kapan saja bisa dilakukan
ketika ia berjalan, berkendaraan, naik bis, kereta, ketika menunggu bis dan
kereta atau angkutan umum. Lisan ini harus selalu basah dengan berdzikir kepada
Allâh kepada setiap waktu dan hal ini mudah dan ringan, bisa dilakukan oleh
setiap Mukmin dan Mukminah. Bahkan seorang mukminah dia bisa berdzikir ketika
menggendong anaknya, menyusui anaknya, atau ketika masak dan lainnya.
KEUTAMAAN
DZIKIR
Dengan
dzikir, hati akan menjadi tenang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat
Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh hati menjadi tentram.
[ar-Ra’d/13:28]
Diriwayatkan
dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَلاَ أُُنَبِّئُكُمْ بِخَيرِ
أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ
وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ
تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ ؟
قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : (( ذِكْرُاللهِ تَعَالَى))
Maukah kamu
aku tunjukkan amalan yang terbaik dan paling suci di sisi Rabbmu, dan paling
mengangkat derajatmu, lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan perak,
dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu lantas kamu memenggal
lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata, “Mau
wahai Rasûlullâh!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir
kepada Allâh Yang Maha Tinggi.”[18]
Diriwayatkan
dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ
رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ ، مَثَلُ الْـحَيِّ وَ الْـمَيِّتِ
Perumpamaan
orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir kepada
Rabbnya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati
[19]
FAEDAH ATAU
MANFAAT DZIKIR (MENGINGAT ALLAH AZZA WA JALLA)
Manfaat
dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla banyak sekali, di antaranya yaitu:
1. Mengusir
setan, menundukkan dan mengenyahkannya.
2.
Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati.
3.
Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan dalam hati.
4.
Melapangkan rizki dan mendatangkan barakah.
5.
Membuahkan ketundukan, yaitu berupa kepasrahan diri kepada Allâh dan kembali
kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allâh dengan cara berdzikir,
maka dalam keadaan seperti apapun dia akan kembali kepada Allâh dengan hatinya,
sehingga Allâh menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan
kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
6.
Membuahkan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seberapa jauh dia melakukan
dzikir kepada Allâh, maka sejauh itu pula kedekatannya kepada Allâh, dan
seberapa jauh ia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu pula jarak yang
memisahkannya dari Allâh.
7. Membuat
hati menjadi hidup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Dzikir bagi hati
sama dengan air bagi ikan, maka bagaimana keadaan yang akan terjadi pada ikan
seandainya berpisah dengan air ??? ”
8.
Membersihkan hati dari karatnya, karena segala sesuatu ada karatnya dan karat
hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini adalah
dengan taubat dan istighfar.
9. Hamba
yang mengenal Allâh, dengan cara berdo’adan berdzikir saat lapang, maka Allâh
akan mengenalnya disaat ia menghadapi kesulitan.
10.
Menyelamatkannya dari adzab Allâh sebagaimana yang dikatakan Mu’adz bin Jabal
Radhiyallahu anhu dan dia memarfu’kannya ” Tidak ada amal yang dilakukan anak
Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allâh, selain dari dzikir kepada
Allâh Azza wa Jalla “[20].
11.
Menyebabkan turunnya ketenangan, datangnya rahmat dan para Malaikat
mengelilingi orang yang berdzikir, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
12. Menyibukkan
lisan dari melakukan ghibah, adu domba, dusta, kekejian dan kebathilan.
Sudah
selayaknya bagi seorang hamba untuk berbicara yang baik, jika bicaranya bukan
dzikir kepada Allâh, tetapi berupa hal-hal yang diharamkan ini, maka tidak ada
yang bisa menyelamatkannya kecuali dengan dzikir kepada Allâh.
Cukup
banyak pengalaman dan kejadian yang membuktikan hal ini. Siapa yang membiasakan
lidahnya untuk berdzikir, maka lidahnya lebih terjaga dari kebathilan dan
perkataan yang sia-sia. Namun siapa yang lidahnya tidak pernah mengenal dzikir,
maka kebathilan dan kekejian banyak terucap dari lidahnya.
13. Dzikir
memberikan rasa aman dari penyesalan di hari kiamat. Karena majlis yang
didalamnya tidak ada dzikir kepada Allâh, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya
pada hari kiamat.
14. Dzikir
merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab
gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling
mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan
lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan
tidak mungkin.[21]
Mudah-mudahan
Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba yang ikhlas dan
banyak berdzikir yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Ibnu Hibbân (no. 815-at-Ta’lîqâtul
Hisân).
[2]. HR. Muslim (no. 2676).
[3]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari
(III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4]. Shahih: HR. Muslim (no. 373), Abu Dâwud (no. 18),
at-Tirmidzi (no. 3384), dan selainnya.
[5]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 660), Muslim (no. 1031),
at-Tirmidzi (no. 2391), dan Ahmad (II/439).
[6]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4856); Shahîh Abi Dâwud
(III/920, no. 4065) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3380), Ahmad (II/446,
453, 481) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 74).
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4855), Ahmad (II/389),
al-Hâkim (I/492), dan lainnya. al-Hâkim berkata, “Bahwa hadits ini shahih
menurut syarat Muslim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.” Lihat Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 77) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Ahmad (I/47), at-Tirmidzi (no. 3428, 3429), Ibnu
Mâjah (no. 2235), ad-Dârimi (II/293), al-Baghawi (no. 1338), ath-Thabrani dalam
ad-Du’â (no. 792-793) dari Shahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma.
Dishahihkan oleh al-Hâkim (I/538) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no.
3139).
[10]. Hilyatul Auliyâ’ (IV/227).
[11]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VI/280-282) dengan
diringkas.
[12]. al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121), tahqiq Syaikh ‘Ali
bin Hasan al-Halabi.
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 635).
[14]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam
asy-Syafi’i, cet ke-12, Jakarta.
[15]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid dan Dzikir Pagi
dan Petang, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[16]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3414), Ibnu Mâjah (no.
3878).
[17]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1309) dan Ibnu Mâjah
(no. 1335) dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Syaikh
al-Albani berkata dalam Takhrîj Hidâyatir Ruwât (II/49, no. 1194), “Isnadnya
shahih. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan al-‘Iraqi.
[18]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3377), Ibnu Mâjah (no.
3790), dan al-Hâkim (I/ 496) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. Lafazh
hadits ini lafazh at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh
adz-Dzahabi.
[19]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6407)/Fathul Baari
(XI/208).
[20]. HR. Ahmad (V/239).
[21]. Diringkas dari Shahîh al-Wâbilus Shayyib karya Imam
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, takhrij Syaikh Slaim bin ‘Ied al-Hilali. Lihat juga
buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
Oleh Al-Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
0 komentar:
Posting Komentar