HIDAYAH DAN
ISTIQÂMAH DI ATASNYA
Doa Minta Hidayah Dari Allah Doa Agar Seseorang
Mendapatkan Hidayah Doa Ketetapan Hati Dalam Hidayah Doa Diberi Hidayah Doa
Agar Mendapat Hidayah
MAKNA
HIDAYAH
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata,
اَلْهِدَايَةُ هِيَ الْعِلْمُ
بِالْحَقِّ مَعَ قَصْدِهِ وَإِيْثَارِهِ عَلَى غَيْرِهِ، فَالْمُهْتَدِيْ هُوَ
الْعَامِلُ بِالْحَقِّ الْمُرِيْدُ لَهُ
Hidayah
yaitu mengetahui kebenaran disertai dengan niat untuk mengetahuinya dan
mengutamakannya dari pada yang lainnya. Jadi orang yang diberi hidayah yaitu
yang melakukan kebenaran dan menginginkannya.[1]
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ
فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ
بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah
mengerjakan amal-amal shalih karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam
yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari
menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi
kafir. Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit.[2]
Manusia
membutuhkan hidayah lebih dari kebutuhan mereka terhadap makan dan minum.
Bahkan Allâh Subahnahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin dalam shalatnya
untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allâh Azza wa Jalla sebanyak tujuh
belas kali setiap harinya. Ini menunjukkan betapa pentingnya hidayah itu dalam
hidup dan kehidupan manusia.
Benarlah
ibarat yang sering kita dengar, “hidayah itu mahal”. Ya, hidayah memang mahal.
Ia tidak diberikan kepada orang-orang yang hanya bisa mengharap tanpa mau
berusaha. Ia diberikan hanya kepada mereka yang mau bersungguh-sungguh
mencarinya dan berusaha mendapatkannya. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allâh beserta orang-orang yang berbuat baik.
[Al-‘Ankabût/29:69]
Ingatlah
kisah Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu ! Bagaimana beliau Radhiyallahu anhu
berusaha dan berjuang untuk mendapatkan hidayah, beliau meninggalkan Persia
untuk mendapatkan hidayah sampai masuk agama Nashrani. Kemudian beliau
Radhiyallahu anhu pergi ke Madinah sampai bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , lalu beliau masuk Islam.[3]
Dalam
masalah hidayah ini, Ibnu Rajab rahimahullah telah membagi manusia menjadi tiga
bagian :
Pertama, رَاشِدٌ (râsyid) yaitu orang yang mengetahui
kebenaran dan mengikutinya.
Kedua, غَاوِيٌ (ghâwi) yaitu orang yang mengetahui
kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.
Dan ketiga,
ضّالٌّ (dhal) yaitu orang yang tidak mengetahui
hidayah secara menyeluruh.
Setiap
râsyid, dia mendapat petunjuk, dan setiap orang yang mendapat petunjuk secara
sempurna maka ia dikatakan râsyid. Karena hidayah menjadi sempurna apabila
seseorang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.[4]
HUBUNGAN
HIDAYAH DAN ISTIQOMAH
Istiqâmah
adalah meniti jalan yang lurus dan tidak melenceng ke kiri dan ke kanan.
Istiqâmah mencakup mengerjakan seluruh ketaatan yang lahir maupun yang batin
dan meninggalkan larangan yang lahir maupun batin.
Seorang
hamba dalam meniti jalan yang lurus ini membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa
berjalan tanpa melenceng ke kiri dan ke kanan kecuali dengan hidayah dari
Allâh. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah
kami jalan yang lurus [Al-Fatihah/1:6]
Dalam ayat
di atas Allâh Subahnahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memohon hidayah
dalam meniti jalan yang lurus. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
rahimahullah berkata, “Maksudnya, tuntun kami dan tunjuki kami serta berikan
kami taufik kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan yang jelas yang mengantarkan
kita kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala dan surga-Nya. Jalan tersebut adalah
mengenal kebenaran dan mengamalkannya. Maka, tunjuki kami kepada jalan yang
lurus dan tunjuki kami di dalam jalan yang lurus tersebut. Maksudnya, tunjuki
kami ke jalan yang lurus adalah berpegang teguh pada agama islam dan
meninggalkan agama selain islam. Dan makna tunjuki kami di dalam jalan yang
lurus adalah mencakup hidayah kepada semua perincian agama secara ilmu dan
amal. Doa ini merupakan doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi hamba.
Karenanya, wajib bagi seorang hamba untuk berdoa kepada Allâh dengan doa ini di
setiap rakaat shalatnya.”[5]
Seorang
Muslim tidak mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Ia tidak mengetahui apakah
besok dia masih tetap setia berada di jalan yang lurus atau tidak. Karenanya
seorang Muslim dituntut untuk selalu memohon hidayah agar ditetapkan dalam
agama ini dan diberikan akhir kehidupan yang baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa hati seorang hamba terletak di
antara jari jemari Allâh, jika Allâh Subahnahu wa Ta’ala menghendaki sesat,
maka ia akan sesat, dan jika Allâh Subahnahu wa Ta’ala menghendaki ia lurus,
maka ia pun akan lurus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا أُمَّ سَلَمَةَ ! إِنَّهُ
لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ،
فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ.
Wahai Ummu
Salamah! Tidaklah ada seorang anak adam melainkan hatinya terletak di antara
dua jemari Allâh, kalau Allâh berkehendak, Dia akan luruskan, dan jika Dia
berkehendak, Dia akan sesatkan.[6]
يَـا مُـقَـلِـّبَ
الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh,
Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu
Anas
Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh! Kami telah beriman kepadamu
dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir
atas kami?” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
نَـعَمْ ، إِنَّ
الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا
كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada
yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di
antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu
sekehendak-Nya.[7]
Seorang
insan tidak bisa istiqâmah melainkan dengan hidayah dari Allâh Subahnahu wa
Ta’ala . Dua perkara ini sangat berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Oleh karena itu seorang Muslim jika ia ingin tetap berada di atas
hidayah sampai wafatnya, maka ia wajib berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan
as-Sunnah menurut pemahaman assalafus shalih. Ia wajib melaksanakan
ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala , menjauhkan
larangan-larangan-Nya. Ia juga wajib melaksanakan tauhid dan menjauhkan syirik,
melaksanakan sunnah dan menjauhkan bid’ah, serta senantiasa berdoa kepada Allâh
Subahnahu wa Ta’ala agar ditetapkan di atas hidayah dan Sunnah dan diwafatkan
di atas sunnah. Bila seseorang istiqâmah dalam melaksanakan sunnah sesuai
dengan petunjuk syari’at, maka Allâh Subahnahu wa Ta’ala akan menambah petunjuk
kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا
زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Dan
orang-orang yang mendapat petunjuk, Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka
dan menganugerahi ketakwaan mereka.” [Muhammad/47:17]
MACAM-MACAM
HIDAYAH[8]
Hidayah
memiliki empat macam:
Pertama:
Hidayah yang umum yang mencakup seluruh makhluk yang Allâh jelaskan dalam
firman-Nya :
قَالَ رَبُّنَا الَّذِي
أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ
Dia (Musa)
menjawab, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada
segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” [Thaha/20:50]
Maknanya,
bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memberikan segala sesuatu bentuknya yang tidak
akan serupa dengan lainnya. Allâh memberikan setiap anggota badan bentuk dan
gerakannya, memberikan setiap orang rupa yang khusus, kemudian memberikan
mereka hidayah kepada pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan sesuai dengan
penciptaan mereka. Seperti Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada hewan
untuk bergerak dengan kemauannya demi mendapat apa-apa yang bermanfaat baginya
dan menolak bahaya yang mengancamnya. Benda mati diberikan hidayah sesuai dengan
penciptaannya. Semuanya itu diberikan hidayah yang layak dengan penciptaan
mereka. Sebagaimana setiap macam hewan memiliki hidayah yang sesuai dengannya
meskipun berbeda macam dan rupanya, begitu juga anggota badan memiliki hidayah
yang layak dengannya. Allâh Subahnahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada kaki
untuk berjalan, tangan untuk menggenggam dan bekerja, lisan untuk berbicara,
telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat pemandangan. Begitulah Allâh
Subahnahu wa Ta’ala berikan hidayah sesuai dengan penciptaannya. Allâh juga
memberikan hidayah kepada pasangan setiap hewan untuk melakukan
perkembang-biakan dan mendidik anak, dan memberikan hidayah kepada seorang anak
untuk menghisap puting susu ibunya.
Dan urutan
hidayah ini hanya Allâh yang dapat menghitungnya. Allâh juga telah memberi
hidayah kepada lebah untuk membuat sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon
kayu, dan di bangunan-bangunan. Kemudian setelah itu ia diperintah untuk
menempuh jalan Rabb-nya yang telah dimudahkan baginya dan kembali ke rumahnya.
Ia juga diberikan hidayah untuk mentaati induk lebah, mengikutinya, dan
bermakmum padanya kemana pun ia pergi. Ia juga diberikan hidayah untuk
membangun rumah yang indah dan kokoh.
Siapa pun
yang memperhatikan sebagian dari hidayah Allâh yang tersebar di alam semesta
ini, maka ia akan menyaksikan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah
dengan benar kecuali hanya Allâh, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata,
Maha Perkasa Maha Bijaksana.
Alihkanlah
perhatian Anda dari pengetahuan terhadap hidayah ini kepada penetapan kenabian
dengan pandangan yang mudah, benar, ringkas, dan paling jauh dari syubhat.
Karena, bagaimana mungkin Rabb yang tidak membiarkan hewan-hewan sia-sia dan
memberikan mereka hidayah yang susah dicerna oleh para pemikir, membiarkan
manusia yang dimuliakan dan diberikan karunia atas seluruh makhluk begitu saja,
tidak memberinya petunjuk kepada kesempurnaannya, malah dibiarkan begitu saja
tanpa diperintah, dilarang, tidak diganjar, dan dihukum ? Sungguh, ini
merupakan ketidaksesuaian terhadap hikmah Allâh dan menisbatkan sesuatu yang
tidak layak kepada Allâh Subahnahu wa Ta’ala .
Karenanya,
Allâh Subahnahu wa Ta’ala mengingkari orang-orang yang berpendapat seperti yang
disebutkan di atas dan menjelaskan bahwa itu mustahil. Allâh Subahnahu wa
Ta’ala berfirman :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا
خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ ﴿١١٥﴾ فَتَعَالَى
اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
Maka apakah
kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ? Maka maha tinggi Allâh, raja yang
sebenarnya, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (yang
memiliki) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mukminûn/23: 115-116]
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا
فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tidak
ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu.
Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Rabb
mereka dikumpulkan.” [Al-An’âm/6:38]
Dengan
firman-Nya :
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ ۚ قُلْ إِنَّ اللَّهَ قَادِرٌ عَلَىٰ أَنْ يُنَزِّلَ
آيَةً وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan mereka
(orang musyrik) berkata, ‘mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu
mukjizat dari Rabbnya?’ katakanlah, ‘sesungguhnya Allâh berkuasa menurunkan
suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.’ [Al-An’âm/6:37]
Kalau Allâh
Subahnahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada binatang, maka apalagi kepada
manusia ! Allâh tidak mungkin membiarkan mereka. Oleh karena itu, Allâh
mengutus para Nabi dan para Rasul untuk menunjuki mereka kepada kemaslahatan
mereka, di dunia dan akhirat.
Kedua:
Hidayah bayan (keterangan) dan dilalah (petunjuk), serta pengenalan terhadap
dua jalan; jalan kebaikan dan keburukan, keselamatan dan kebinasaan.
Hidayah ini
tidak mengharuskan adanya petunjuk yang sempurna, karena hidayah macam ini
hanya sebagai sebab dan syarat bukan sebagai penjamin. Karenanya perlu
disandingkan petunjuk dengan hidayah ini, seperti firman Allâh Subahnahu wa
Ta’ala :
وَأَمَّا ثَمُودُ
فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَىٰ
Dan adapun
kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai
kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu…” [Fushshilat/41:17]
Maksudnya,
Kami jelaskan kepada mereka, Kami tunjuki mereka, dan Kami tuntun mereka, tapi
mereka tidak mau mengikuti hidayah itu. Diantaranya juga firman Allâh :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan
sungguh, engkau benar-benar membimbing manusia kepada jalan yang lurus.
[Asy-Syûra/42:52]
Ketiga:
Hidayah taufik dan ilham. Hidayah ini mengharuskan adanya petunjuk dan tidak
pernah absen dalam mengikutinya. Hidayah ini yang disebut oleh Allâh dalam
firman-Nya :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ
Jika Allah
Azza wa Jalla berkehendak Dia bisa menjadikan kalian umat yang satu, akan
tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki…” [An-Nahl/16:93]
Juga
firman-Nya :
إِنْ تَحْرِصْ عَلَىٰ
هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ
Jika engkau
(Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya
Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya…”
[An-Nahl/16:37]
Juga dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ.
Siapa yang
Allâh beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang
Allâh sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”[9]
Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
Sungguh,
engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi,
tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Al-Qashash/28:56]
Dalam ayat
ini Allâh Azza wa Jalla menafikan hidayah taufik dan ilham dari diri Nabi
Muhammad n dan menetapkan hidayah dakwah dan penjelasan dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
…Dan
sungguh, engkau benar-benar membimbing manusia kepada jalan yang lurus.
[Asy-Syûra/42: 52]
Keempat:
Tujuan dari semua hidayah, yaitu hidayah di akhirat, menuju ke Surga atau ke
Neraka ketika para penghuninya digiring ke dalamnya. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ
الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk
oleh Rabb karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan,
mengalir di bawahnya sungai-sungai. [Yûnus/10:9]
Dan
perkataan penghuni surga ketika berada di dalamnya :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
هَدَانَا لِهَٰذَا
“…Segala
puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami ke surga ini…” [Al-A’râf/7:43]
Dan firman
Allâh Azza wa Jalla tentang penghuni neraka :
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا
وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ ﴿٢٢﴾ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ
إِلَىٰ صِرَاطِ الْجَحِيمِ
(Diperintahkan
kepada malaikat), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat
mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allâh, lalu tunjukkanlah
kepada mereka jalan ke neraka.’” [Ash-Shaffât/37:22-23]
Apabila
Anda telah mengetahui ini, maka hidayah yang selalu diminta dalam firman-Nya
tentang jalan yang lurus adalah hidayah dari macam yang kedua dan ketiga saja,
yaitu memohon penjelasan, petunjuk, taufik dan ilham.
DOA-DOA
AGAR DIKARUNIAI HIDAYAH
Setelah
kita mengetahui bahwa seorang insan tidak pernah lepas dari hidayah dan bahwa
ia sangat membutuhkan hidayah melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum,
maka berikut ini kami bawakan beberapa doa dari al-Qur’an dan as-sunnah agar
kita dikaruniai hidayah oleh Allâh.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ
قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Rabb
kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau
berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi-Mu, sesungguhnya Engkau maha pemberi. [Ali Imrân/3:8]
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ،
ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Rabb
yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.[10]
اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِيْ
وَاْجَعْلِنْي هَادِيًا مَهْدِيًّا
Ya Allâh,
teguhkanlah diriku, jadikanlah diriku pemberi petunjuk dan diberi petunjuk
(oleh-Mu).[11]
اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ
وَسَدِّدْنِيْ ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Ya Allâh,
berilah petunjuk kepadaku dan luruskanlah diriku. Ya Allâh, aku memohon
petunjuk dan kelurusan kepada-Mu.[12]
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
Ya Allâh,
sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal
yang tidak halal/baik), dan kecukupan[13]
اللَّهُمَّ رَبَّ
جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ
فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ
الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Ya Allâh,
Rabb Jibrîl, Mikâ-îl, dan Israfîl. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb
Yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hukum di antara
hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada
kebenaran (yaitu, tetapkan aku di atas kebenaran) dari apa yang dipertentangkan
dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi
orang yang Engkau kehendaki.”[14]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Miftâh Dâris Sa’âdah (I/305), ta’liq Ali bin Hasan
al-Halabi, cet. Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.
[2]. Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no.
2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3]. Tentang kisah masuknya Islamnya Salman al-Fârisi
Radhiyallahu anhu dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah
dalam kitabnya, Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 363-366). Lihat juga kitab-kitab lain
dalam ta’liq Syaikh Ali Hasan al-halabi terhadap kitab ini.
[4]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/126), cet. Muassasah
ar-Risalah.
[5]. Taisîr karîmir Rahmân (hlm. 39), cet. I, Daarul
Fadhiilah, th. 1425 H.
[6]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3522).
[7]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[8]. Badâ-i’ul Fawâ-id (hlm. 207-208), karya Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq dan takhrij Basyir Muhammad ‘Uyun, cet. II,
Maktabah Darul bayan, th. 1425 H. Lihat juga Miftâh Dâris Sa’âdah (I/307-309),
karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah , ta’liq dan takhrij Syaikh
Ali Hasan al-Halabi, cet. I, Daar Ibni ‘Affan, th. 1416 H.
[9]. HR. Abu Dawud (no. 2118), at-Tirmidzi (no. 1105),
dan lainnya.
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 3522)
[11]. HR. Al-Bukhâri (no. 6333)
[12]. HR. Muslim (no. 2725)
[13]. HR. Muslim (no. 2721).
[14]. HR. Muslim (no. 770 (200)), Abu Dawud (no. 767),
dan Ibnu Mâjah (no. 1357). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa
istiftâh ini ketika shalat malam. Lihat do’a-do’a tersebut dalam buku penulis,
Do’a dan Wirid, cet. XVI, Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta, th. 2013.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
0 komentar:
Posting Komentar