Syubhat Seputar
Larangan Isbal
Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki.
Isbal terlarang dalam Islam, hukumnya minimal makruh atau bahkan haram. Banyak
sekali dalil dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal
ini.
Dalil seputar masalah ini ada dua jenis:
Pertama, mengharamkan isbal jika karena sombong.
Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
من جر
ثوبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي
يسترخي ، إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لن
تصنع ذلك خيلاء . قال موسى : فقلت لسالم : أذكر عبد الله : من جر إزاره ؟ قال : لم
أسمعه ذكر إلا ثوبه
“Barangsiapa
menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari
kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali
aku ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Engkau tidak melakukan itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah
Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim
menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR.
Bukhari 3665, Muslim 2085)
بينما رجل يجر إزاره من
الخيلاء خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة.
“Ada
seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah
menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam
bumi hingga hari Kiamat terjadi”. (HR. Bukhari, 3485)
لا ينظر الله يوم القيامة إلى
من جر إزاره بطراً
“Pada hari
Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena
sombong” (HR. Bukhari 5788)
Kedua,
hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong ataupun
tidak.
Nabi
shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار
ففي النار
“Kain yang
panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787)
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم
القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته
بالحلف الكاذب
“Ada tiga
jenis manusia yang tidak akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan
yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah
dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim,
106)
لا تسبن أحدا ، ولا تحقرن من
المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ، إن ذلك من المعروف ،
وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك وإسبال الإزار ؛ فإنه
من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة
“Janganlah
kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun,
walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja
sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis.
Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain
sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai
kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi
Daud)
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ:
يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ!
فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى
أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
“Aku (Ibnu
Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain
sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah,
naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung
menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku
naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada
beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab,
“Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)
Dari
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه
وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب
المسبلين
“Aku
melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi
Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah
tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan
Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)
Dari
dalil-dalil di atas, para ulama sepakat haramnya isbal karena sombong dan
berbeda pendapat mengenai hukum isbal jika tanpa sombong. Syaikh Alwi bin Abdil
Qadir As Segaf berkata:
“Para ulama
bersepakat tentang haramnya isbal karena sombong, namun mereka berbeda pendapat
jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2 pendapat:
Pertama,
hukumnya boleh disertai ketidak-sukaan (baca: makruh), ini adalah pendapat
kebanyakan ulama pengikut madzhab yang empat.
Kedua,
hukumnya haram secara mutlak. Ini adalah satu pendapat Imam Ahmad, yang berbeda
dengan pendapat lain yang masyhur dari beliau. Ibnu Muflih berkata : ‘Imam
Ahmad Radhiallahu’anhu Ta’ala berkata, yang panjangnya di bawah mata kaki
tempatnya adalah neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian
melebihi itu. Perkataan ini zhahirnya adalah pengharaman’ (Al Adab Asy
Syari’ah, 3/492). Ini juga pendapat yang dipilih Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi
ulama madzhab Maliki, dan dari madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar
Al Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash Shan’ani, serta para
ulama di masa ini yaitu Syaikh Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat
kedua inilah yang sejalan dengan berbagai dalil yang ada.
Dan
kewajiban kita bila ulama berselisih yaitu mengembalikan perkaranya kepada
Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An Nisa: 59)
Dan
dalil-dalil yang mengharamkan secara mutlak sangat jelas dan tegas”
tingkatan
haram atau tidak. Tapi sungguh disayangkan larangan ini agaknya sudah banyak
tidak diindahkan lagi oleh umat Islam. Karena kurang ilmu dan perhatian mereka
terhadap agamanya. Lebih lagi, adanya sebagian oknum yang menebarkan syubhat
(kerancuan) seputar hukum isbal sehingga larangan isbal menjadi aneh dan tidak
lazim di mata umat. Berikut ini
Syubhat 1:
Memakai pakaian atau celana ngatung agar tidak isbal adalah ajaran aneh dan
nyeleneh
Bagaimana
mungkin larangan isbal dalam Islam dianggap nyeleneh padahal dalil mengenai hal
ini sangat banyak dan sangat mudah ditemukan dalam kitab-kitab hadits dan
buku-buku fiqih. Lebih lagi, larangan isbal dibahas oleh ulama 4 madzhab besar
dalam Islam dan sama sekali bukan hal aneh dan asing bagi orang-orang yang
mempelajari agama. Berikut ini kami nukilkan beberapa perkataan para ulama
madzhab mengenai hukum isbal sebagai bukti bahwa pembahasan larangan isbal itu
dibahas oleh para ulama 4 madzhab dari dulu hingga sekarang.
Ibnu ‘Abdil
Barr dalam At Tamhid (3/249) :
وقد ظن قوم أن جر الثوب إذا
لم يكن خيلاء فلا بأس به واحتجوا لذلك بما حدثناه عبد الله بن محمد بن أسد …. قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم : «من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم
القيامة» فقال أبو بكر: إن أحد شقى ثوبي ليسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه،فقال رسول
الله صلى الله عليه و سلم: «إنك لست تصنع ذلك خيلاء» قال موسى قلت لسالم أذَكر عبد
الله من جر إزاره،قال لم أسمعه إلا ذكر ثوبه،وهذا إنما فيه أن أحد شقى ثوبه
يسترخي، لا أنه تعمد ذلك خيلاء، فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم: «لست ممن
يرضى ذلك» ولا يتعمده ولا يظن بك ذلك
“Sebagian
orang menyangka bahwa menjulurkan pakaian jika tidak karena sombong itu tidak
mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad
(beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan
dilihat oleh Allah pada hari kiamat’. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi
pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena
sombong’. Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan
lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan
hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘.
Dalam kasus
ini yang melorot hanya satu sisi pakaiannya saja, bukan karena Abu Bakar
sengaja memelorotkan pakaiannya. Oleh karena itulah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau bukanlah termasuk orang yang
dengan suka rela melakukan hal tersebut, bersengaja melakukan hal tersebut dan
tidak mungkin ada orang yang punya praduga bahwa engkau wahai Abu Bakar
melakukan hal tersebut dengan sengaja“.
Abul Walid
Sulaiman Al Baaji dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwatha (9/314-315) :
Wasallam: ‘Kainnya orang mu’min itu
sepertengahan betis’, dimungkinkan –wallahu’alam– inilah deskripsi pakaian
beliau. Karena beliau lebih menyukai memakai pakaian ketawadhu’an, yaitu yang
seadanya, dibanding pakaian lain yang mubah. Dimungkinkan juga, perkataan
beliau ini menunjukkan kadar yang masyru’ [baca: yang dianjurkan]. Tafsiran ini
diperjelas oleh sabda beliau yang lain: ‘Tidak mengapa bagi mereka untuk
mengenakan antara paha dan pertengahan betis’. Beliau ingin mengatakan
-wallahu’alam- bahwa kalau tidak mencukupkan diri pada yang mustahab [setengah
betis], maka boleh dan tidak berdosa. Namun telah meninggalkan yang utama”.
Catatan:
Perhatikan,
Al Baji berpendapat bahwa larangan isbal tidak sampai haram jika tidak sombong.
Namun beliau mengatakan bahwa yang
ditoleransi untuk memakai pakaian lebih dari mata kaki adalah yang hanya
memiliki 1 pakaian saja dan yang memiliki udzur!!
Mazhab
Hambali
Abu Naja Al
Maqdisi:
ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى
فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك
“Makruh
hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau
melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan
betis sampai sebelum mata kaki] maka tidak makruh” (Al Iqna, 1/91)
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi :
ويكره إسبال القميص والإزار
والسراويل ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بَرفْع الإزار . فإن فعل ذلك على
وجه الخيلاء حَرُم
“Makruh
hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil (celana). Karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk meninggalkan ketika memakai
izar (sarung). Jika melakukan hal itu karena sombong, maka haram” (Al Mughni,
1/418)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah:
وإن
كان الإسبال والجر منهياً عنه بالاتفاق والأحاديث فيه أكثر، وهو محرم على الصحيح،
لكن ليس هو السدل
“Walaupun
memang isbal dan menjulurkan pakaian itu itu terlarang berdasarkan kesepakatan
ulama serta hadits yang banyak, dan ia hukumnya haram menurut pendapat yang
tepat, namun isbal itu berbeda dengan sadl” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 1/130)
Madzhab
Hanafi
As
Saharunfuri :
قال العلماء : المستحب في
الإزار والثوب إلى نصف الساقين ، والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين ، فما
نـزل عن الكعبين فهو ممنوع . فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع
تنـزيه
“Para ulama
berkata, dianjurkan memakai sarung dan pakaian panjangnya sampai setengah
betis. Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata
kaki. Sedangkan jika melebihi mata kaki maka terlarang. Jika melakukannya
karena sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Bazlul Majhud, 16/411)
Dalam kitab
Fatawa Hindiyyah (5/333) :
تَقْصِيرُ
الثِّيَابِ سُنَّةٌ وَإِسْبَالُ الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ بِدْعَةٌ يَنْبَغِي أَنْ
يَكُونَ الْإِزَارُ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ إلَى نِصْفِ السَّاقِ وَهَذَا فِي حَقِّ
الرِّجَالِ، وَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُرْخِينَ إزَارَهُنَّ أَسْفَلَ مِنْ إزَارِ
الرِّجَالِ لِيَسْتُرَ ظَهْرَ قَدَمِهِنَّ. إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ
مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ
“Memendekkan
pakaian (sampai setengah betis) hukumnya sunnah. Dan isbal pada sarung dan gamis
itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki sampai setengah betis. Ini
untuk laki-laki. Sedangkan wanita hendaknya menurunkan kainnya melebihi kain
lelaki untuk menutup punggung kakinya. Isbalnya seorang lelaki melebihi mata
kaki jika tidak karena sombong maka hukumnya makruh”
Madzhab
Syafi’i
An Nawawi:
فما نـزل عن الكعبين فهو
ممنوع ، ، فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع تنـزيه
“Kain yang
melebihi mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram,
jika tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)
Ibnu Hajar
Al Asqalani :
وحاصله: أن الإسبال يستلزم
جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء، ويؤيده: ما
أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه: ( وإياك وجر
الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة
“Kesimpulannya,
isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu
merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan
lagi dengan riwayat dari Ahmad bin Mani’
dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah
perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah
kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)
Dengan
demikian tidak benar bahwa larangan isbal itu adalah ajaran aneh dan nyeleneh.
Lebih lagi jika sampai mencela orang yang menjauhi larangan isbal dengan
sebutan ‘kebanjiran‘, ‘kurang bahan‘, dll. Allahul musta’an.
Syubhat 2:
Masak gara-gara celana saja masuk neraka?
Pernyataan
ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang enggan taat kepada perintah
Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah Maha Berkehendak menentukan perbuatan apa
yang menyebabkan masuk neraka, melalui firman-Nya atau pun melalui sabda
Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
لَا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah
tidak ditanya oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS.
Al Anbiya: 23)
Perbuatan
yang dianggap sepele oleh manusia ternyata dapat menyebabkan masuk neraka bisa
jadi merupakan ujian dari Allah untuk mengetahui mana hamba-Nya yang benar
beriman. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan
tunduk kepada hukum agama, Allah berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya
ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka
berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan
taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)
Bukan hanya
masalah isbal, Islam mengatur hukum-hukum kehidupan sampai perkara terkecil.
Ketika Salman Al Farisi ditanya:
قد علمكم نبيكم صلى الله عليه
وسلم كل شيء . حتى الخراءة . قال ، فقال : أجل . لقد نهانا أن نستقبل القبلة لغائط
أو بول . أو أن نستنجي باليمين . أو أن نستنجي بأقل من ثلاثة أحجار . أو أن نستنجي
برجيع أو بعظم
“Nabi
kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar?
(Beliau menjawab: ) Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing
atau buang hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga
buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau tulang” (HR. Muslim, 262)
Orang-orang
yang meremehkan larangan isbal, bagaimana lagi sikap mereka terhadap
aturan-aturan Islam dalam buang hajat, dalam makan, dalam tidur, dalam memakai
sandal, dan perkara lain yang nampaknya sepele?
Syubhat 3:
Larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung
Sebagian
orang beranggapan larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung saja, karena di
dalam hadits hanya disebutkan من جر إزاره
‘barangsiapa yang menjulurkan izaar (kain sarung) nya‘. Atau ada juga yang
beranggapan bahwa larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung, gamis dan
imamah sebagaimana hadits:
الإسبال في الإزار والقميص
والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
“Isbal itu
pada kain sarung, gamis dan imamah. Barangsiapa menjulurkannya sedikit saja
karena sombong, tidak akan dipandang oleh Allah di hari kiamat”
Sehingga
mereka beranggapan bahwa isbal untuk pakaian lain, misalnya celana pantalon,
itu bukan yang dimaksud oleh hadits-hadits larangan isbal.
Anggapan
ini salah. Larangan isbal juga berlaku pada model pakaian zaman sekarang
seperti celana panjang pantalon. Syaikh Ali Hasan Al Halabi membantah anggapan
ini, beliau berkata, “Sebagian orang mengira bahwa hadits ini menunjukkan bahwa
larangan isbal hanya pada tiga jenis pakaian: kain sarung (izaar), gamis dan
imamah. Dan isbal pada celana pantalon tidak termasuk dalam larangan. Ini
adalah klaim yang tertolak oleh hadist itu sendiri. Karena justru makna hadits
ini adalah meniadakan anggapan bahwa larangan isbal itu hanya pada kain
(izaar). Bahkan larangannya berlaku pada semua jenis pakaian, baik yang ada di
zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (seperti gamis, imamah dan sirwal), atau
pakaian pada masa yang lain, seperti celana pantalon di zaman kita”. Beliau
lalu memaparkan alasannya, secara ringkas sebagai berikut:
Alasan 1
Dalam
Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:
الإزار : كل من واراكَ
وسَتَرَكَ . وتعني أيضا : الملحفة
“Izaar
adalah apa saja yang menutupimu, termasuk juga selimut”
Alasan 2
Dalam
sebagian hadits digunakan lafadz tsaub (الثوب),
sedangkan dalam Lisaanul Arab makna tsaub:
الثوب : من ثَوَبَ ويعني:
اللباس .
“Tsaub,
dari tsawaba, artinya pakaian”
Sehingga
tsaub ini mencakup seluruh jenis pakaian
Alasan 3
Penjelasan
para ulama:
Ibnu Hajar
Al Asqalani menjelaskan:
وَقَالَ الطَّبَرِيُّ :
إِنَّمَا وَرَدَ الْخَبَر بِلَفْظِ الْإِزَار لِأَنَّ أَكْثَر النَّاس فِي عَهْده
كَانُوا يَلْبَسُونَ الْإِزَار وَالْأَرْدِيَة ، فَلَمَّا لَبِسَ النَّاس
الْقَمِيص وَالدَّرَارِيع كَانَ حُكْمهَا حُكْم الْإِزَار فِي النَّهْي . قَالَ
اِبْن بَطَّال : هَذَا قِيَاس صَحِيح لَوْ لَمْ يَأْتِ النَّصّ بِالثَّوْبِ ،
فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ،
إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء
الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال
“At Thabari
berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia
di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain ihram] dan
rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika orang-orang mulai
memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung. Ibnu
Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub.
Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu
berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal
yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab
yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini
adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban
yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” (Fathul Baari, 16/331)
Penulis
Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata:
فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة
عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص
وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث .قَالَ اِبْن رَسْلَان : وَالطَّيْلَسَان
وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة
“Hadits ini
merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga
pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada
thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain
yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara
berkemul]”
Al’Aini
dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:
قوله من جر ثوبه يدخل فيه
الإزار والرداء والقميص والسراويل والجبة والقباء وغير ذلك مما يسمى ثوبا بل ورد
في الحديث دخول العمامة في ذلك …
“Perkataan
Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’,
gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai
pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”
Syubhat 4:
Isbal khan cuma makruh! Jadi tidak mengapa setiap hari saya isbal
Terlepas
dari perselisihan para ulama tentang hukum isbal antara haram dan makruh,
perkataan ini sejatinya menggambarkan betapa dangkalnya sifat wara’ yang
dimiliki. Karena seorang mu’min yang sejati adalah yang takut dan khawatir
dirinya terjerumus dalam dosa sehingga ia meninggalkan hal-hal yang jelas
haramnya, yang masih ragu halal-haramnya, atau yang mendekati tingkatan haram,
inilah sikap wara’. Bukan sebaliknya, malah membiasakan diri dan terus-menerus
melakukan hal yang mendekati keharaman atau yang makruh. Bukankah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الحَلاَلُ بَيِّنٌ،
وَالحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى المُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ،
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى، يُوشِكُ أَنْ
يُوَاقِعَهُ
“Yang halal
itu jelas, yang haram itu jelas. Diantaranya ada yang syubhat, yang tidak
diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat,
ia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat,
sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya” (HR.
Bukhari 52, Muslim 1599)
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي
من ابْن آدم مجرى الدم
“Sesungguhnya
setan ikut mengalir dalam darah manusia” (HR. Bukhari 7171, Muslim 2174)
Al Khathabi
menjelaskan hadits ini:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ
الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يَحْذَرَ الإِنْسَانُ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ مِنَ
الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ الظُّنُونُ وَيَخْطُرُ بِالْقُلُوبِ وَأَنْ
يَطْلُبَ السَّلامَةَ مِنَ النَّاسِ بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ مِنَ الرِّيَبِ
“Dalam
hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap
hal yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan
praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari
prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang
bebas dari hal hal yang mencurigakan” (Talbis Iblis, 1/33)
Lebih lagi,
jika para da’i, aktifis dakwah, dan pengajar ilmu agama gemar membiasakan diri
melakukan hal yang makruh. Padahal mereka panutan masyarakat dan orang yang
dianggap baik agamanya. Sejatinya, semakin bagus keislaman seseorang, dia akan
semakin wara’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِينِكُمُ الْوَرَعُ
“Keutamaan
dalam ilmu lebih disukai daripada keutamaan dalam ibadah. Dan keislaman kalian
yang paling baik adalah sifat wara’” (HR. Al Hakim 314, Al Bazzar 2969, Ath
Thabrani dalam Al Ausath 3960. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib
1740)
Umar bin
Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
«إِنَّ الدِّينَ
لَيْسَ بِالطَّنْطَنَةِ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ وَلَكِنَّ الدِّينَ الْوَرَعُ»
“Agama
Islam itu bukanlah sekedar dengungan di akhir malam, namun Islam itu adalah
bersikap wara’” (HR Ahmad dalam Az Zuhd, 664)
Para
penuntut ilmu agama, ustadz, kyai, atau ulama yang paham agama secara mendalam,
semestinya lebih wara’ bukan malah asyik-masyuk mengamalkan yang makruh-makruh.
Al Hasan Al Bashri berkata:
«أَفْضَلُ الْعِلْمِ
الْوَرَعُ وَالتَّوَكُّلُ»
“Ilmu yang
paling utama adalah wara’ dan tawakal” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, 1500)
Yahya bin
Abi Katsir berkata:
«الْعَالِمُ مَنْ
خَشِيَ اللَّهَ , وَخَشْيَةُ اللَّهِ الْوَرَعُ»
“Orang alim
adalah orang yang takut kepada Allah. Takut kepada Allah itulah wara’”
(Akhlaqul ‘Ulama, 1/70)
Berangkat
dari sikap wara’ inilah maka para fuqaha yang berpendapat isbal itu makruh
hendaknya tidak isbal kecuali ada kebutuhan, semisal karena hanya memiliki 1
pakaian, karena sakit atau karena ada udzur lain.
Demikian
sedikit yang bisa kami paparkan. Semoga bermanfaat.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar