Biasakanlah Dzikir
Karena Dzikir Itu adalah Obat
Jika kita mendekati-Nya sejengkal, Allah akan mendekati
kita sehasta!
Biasakanlah Dzikir, Karena Dzikir Itu adalah “Obat”
SIAPAPUN pasti bingung dan gelisah ketika sedang dihimpit
berbagai macam persoalan serius. Saat pertama yang dihadapi setiap orang ketika
ketika menghadapi persoalan adalah adalah akal empiriknya dan rasio untuk
segera mencari solusi dari masalah yang dihadapinya.
Saat-saat seperti itulah manusia akan berada pada titik
balik kehidupan. Jika dia mengingat Allah, niscaya dia akan memulai babak baru
di mana hidupnya akan senantiasa diberkahi. Namun manakala dia berpaling
dari-Nya, niscaya dia akan sengsara untuk selama-lamanya.
Suatu hari, ada seorang seorang pengusaha sukses yang
sedang menghadisi sebuah seminar. Saat itu, ia bercerita tentang bagaimana awal
mula memulai bisnis yang kemudian berkembang menjadi begitu besar.
Ia bercerita, bahwa usahannya dimilai dengan niat untuk
mendapat ridha Allah SWT.
Niat itu hadir berawal dari sebuah buku yang pernah
dibacanya. Dalam buku itu dikisahkan ada seorang Muslim yang ketika di dunia
mati syahid. Namun sayangnya, ia tidak seperti orang-orang yang syahid lainnya.
Ketika orang yang mati syahid telah masuk surga, ia tertahan di depan pintu
surga.
Rasulullah yang menyaksikan kejadian itu (saat beliau di
mi’rajkan oleh Allah) langsung bertanya kepada Jibril. “Wahai Jibril, mengapa
orang itu tertahan di depan pintu surga?” Jibril menjawab, “Itu adalah umatmu
yang mati syahid. Ia tertahan karena di dunia ia belum sempat menyelesaikan
(melunasi) hutang-hutangnya.”
Saat membaca buku yang dikisahkannya, pengusaha sukses
itu dalam kondisi banyak hutang. Bahkan karena begitu banyaknya hutang yang
harus ia lunasi, sekiranya semua aset yang dimilikinya terjual dengan harga
mahal, uang penjualan yang diperolehnya pun belum cukup untuk melunasi
hutangnya.
Lalu apa yang pengusaha itu lakukan? Ia langsung merenung
dan berniat, bahwa dirinya harus segera berupaya semaksimal mungkin untuk
bangkit dan menyelesaikan hutang-hutangnya agar Allah ridha kepadanya.
Sembari terus berusaha melakukan ikhtiar (usaha, kerja
keras) pengusaha itu pun berupaya serius meyakinkan hati setiap hari bahwa
Allah pasti akan membantunya melunasi hutang-hutangnya.
Dengan tekad bulat, ia terus bersungguh-sungguh. Bahkan
siang dan malam-pun ia hiasi dengan selalu dzikrullah (mengingat Allah).
Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Akibat
kecintaan terhadap dzikrullah pun memberikan hasil. Suatu saat ia mendapat
ilham bahwa untuk bisa survive (sukses dalam bisnis) ia harus memiliki
kemampuan untuk bisa membina hubungan baik dengan sesama. Siapapun, kapanpun
dan di manapun.
Ia tahu, pemahaman seperti ini hampir setiap orang
mengetahuinya, namun tidak banyak yang mampu melakukannya.
Ternyata benar, kemampuan menjalin hubungan baik itu
berhasil menjadikan segala bentuk usaha bisnisnya mencapai keuntungan maksimal.
“Dan kemampuan membina hubungan baik ini tidak akan
dimiliki kecuali oleh orang-orang yang selalu mengingat-Nya,” ucapnya mengenang.
Atas dasar pengalaman empiris tersebut, akhirnya
pengusaha itu berpesan kepada generasi muda yang hadir dalam forum di mana ia
hadir sebagai nara sumbernya, agar senantiasa berusaha mencintai dzikir kepada
Allah. Karena hanya dengan dzikir manusia bisa mengendalikan emosi dan egonya,
sehingga ia akan mampu menjadi insan yang berakhlakul karimah.
“Jangan ragu untuk menjual diri kita (dalam konteks
kebenaran tentunya), dengan berhias melalui akhlak yang mulia, tutur kata dan
perilaku yang sopan lagi santun, membangun mental bekerja yang tangguh,
pemberani, dan tidak mudah putus asa, serta membangun kredibilitas di hadapan
siapapun, kapanpun dan dimanapun, termasuk di hadapan keluarga.
Sejak itu, seiring kecintaan pada dzikrullah, usahanya
kembali merangkak nai, Sejak itu, sekecil apapun aktivitas yang dilakukannya,
ia selalu iringi dengan dzikir. Bahkan di setiap pagi hari, usai mendirikan
sholat subuh, ia selalu berdzikir kepada-Nya dengan sepenuh hati mengakui
kekurangannya, kebodohannya, dan kelemahannya di hadapan Allah SWT yang Maha
Mulia Lagi Maha Bijaksana.
Obat Hati
Keutamaan dzikir memang telah dijanjikan sendiri oleh
Allah SWT. Nabi bahkan menyebutnya sebagai obat. Allah bahkan menyebutkan
sendiri, jika menyebut Allah (dzikir) dapat membawa ketenangan dan menyembuhkan
jiwa :
“Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan
menyebut-nyebut tentang manusia adalah penyakit (artinya penyakitakhlak).” (HR.
Al-Baihaqi)
الَّذِينَ
آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS:
Ar Ra’d (13):28]
إِنَّ الَّذِينَ عِندَ
رَبِّكَ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ
يَسْجُدُونَ
“Dan
sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS.al- A’raf ( 7): 205).
Dalam
sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku akan bersama hamba-Ku selama ia
mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak karena Aku.” (HR. al-Baihaqi).
Tidak ada
jalan pintas untuk mendapat rahmat-Nya (sukses dan bahagia dunia akhirat)
kecuali dengan membiasakan diri berdzikir kepada-Nya.
Sesungguhnya,
kehadiran Allah pada kita, tergantung sikap dan persepsi kita semua kepada Nya.
Jika kita senantiasa memuji dan mengingat Nya, IA akan senantiasa berada di
dekat kita. Baik dalam suka maupun duka. Sebaliknya, kita melupakanNya,
otomatis kehadiran Nya jauh di hati dan sanubari kita. Dalam sebuah hadits
qudsi disebutkan;
“Jika
hamba-Ku mengingat-Ku dalam hatinya, Aku pun mengingatnya dalam hati-Ku. jika
ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku pun mengingatnya di hadapan
sekelompok malaikat yang mengiringi mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, Aku
akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya
sedepa. Jika ia berjalan menuju ke arah-Ku, Aku pun berlari-lari kecil menuju
ke arahnya.” (HR. Muttafaqun Alaih).
Kalau kita
hiasi diri kita dengan kecintaan berdzikir dan selalu mengingat-Nya di manapun
dan kampanpun. Dengan demikian, hal ini menjadi obat dan menjadikan hidup kita
lebih tenang dan bahagia. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Rep: Imam
Nawawi
Editor:
Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar