Bukti Dan Tanda
Cinta Nabi Shallallahu Alaihi Wa Salam
Mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
kewajiban bagi setiap Muslim. Semuanya mengakui dan ingin mencintai beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk membuktikannya, diperlukan bukti dan
tanda, yang dapat dijadikan sebagai standar kebenaran pengakuan cinta. Sebab,
bila pengakuan tidak diwujudkan dengan bukti, maka apa artinya sebuah
pengakuan? Karena tidak semua pengakuan cinta dianggap benar, kecuali jika
diwujudkan dengan bukti dalam kehidupan sehari-harinya. Bukti dan tanda-tanda
tersebut menunjukkan kecintaannya yang hakiki. Semakin banyak memiliki bukti
dan tanda tersebut, maka semakin tinggi dan sempurna kecintaannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara bukti dan tanda-tanda
tersebut ialah sebagai berikut:
1. MENCONTOH DAN MENJALANKAN SUNNAH BELIAU SHALLALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM.
Mencontoh, mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, berjalan di atas manhaj beliau, berpegang teguh serta mengikuti seluruh
pernyataan dan perbuatan beliau n , merupakan awal tanda cinta Rasul. Seseorang
yang benar mencintai Rasulullah ialah orang yang mengikuti Rasulullah secara
lahiriyah dan batiniyah, selalu menyesuaikan perkataan dan perbuatannya dengan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik, beliau berkata:
قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ
أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ
قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ
أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadaku: “Wahai, anakku! Jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari di hatimu
tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah,” kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku lagi: “Wahai, anakku! Itu
termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah
mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di
Surga“.[2]
Orang yang mencintai Rasulullah, ia harus membuktikan.
Yaitu diwujudkan dengan semangat berpegang teguh dan menghidupkan Sunnah. Yakni
mengamalkan sunnahnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, mendahulukan
itu semua dari hawa nafsunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan
RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusanNya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“.
[at Taubah/9 : 24].
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [Ali
Imran/3 : 31].
2. BANYAK
MENGINGAT DAN MENYEBUTNYA
Karena
orang yang mencintai sesuatu, tentu akan banyak mengingat dan menyebutnya. Ini
menjadi sebab tumbuh dan bersinambungnya kecintaan. Yang dimaksud banyak
mengingat dan menyebut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentunya dalam hal
yang disyariatkan. Di antaranya:
a.
Menyampaikan shalawat dan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
untuk mengamalkan firman Allah.
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” [al-Ahzab/33 : 56].
Juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi :
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا
اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا
اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا
فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ
مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ
لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ
قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ
أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ
ذَنْبُكَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dulu, bila
berlalu dua pertiga malam, beliau bangun dan berkata: “Wahai, sekalian manusia!
Berdzikirlah kepada Allah, berdzikirlah kepada Allah. Pasti datang tiupan
sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua, datang kematian dengan
kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya”.
Ubai berkata: Aku bertanya,”Wahai, Rasulullah! Aku
memperbanyak shalawat untukmu. Berapa banyak aku bershalawat untukmu?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Sesukamu,” lalu Ubai berkata lagi: Aku
berkata,”Seperempat.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Terserah,
tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik.” Aku berkata,”Setengahnya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi: “Terserah, tetapi jika
engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu,” maka aku berkata lagi: “Kalau
begitu, dua pertiga”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Terserah,
jika engkau kamu tambah, maka itu lebih baik bagimu,” lalu aku berkata,”Aku
jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat untukmu,” Maka Rasulullah menjawab:
“Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan
Allah akan mengampuni dosamu“.[3]
Ibnul Qayyim menyatakan, Syaikh kami Abul Abas Ibnu
Taimiyah ditanya tentang tafsir hadits ini, beliau mengatakan, waktu itu Ubai
memiliki doa yang digunakan untuk dirinya sendiri, lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, apakah ia menjadikan seperempat doanya juga untuk
bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi: “… jika engkau tambah, maka itu
lebih baik bagimu”. Dia menjawab, “Setengahnya”. Lalu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “… jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu”.
Sampai kemudian Ubai menyatakan: “Aku jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat
untukmu”. Lalu Rasulullah menjawab: “Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan
keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu”. Demikian
ini, karena orang yang bershalawat satu kali untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia akan mendapatkan shalawat dari Allah sepuluh kali. Dan barangsiapa
yang mendapat shalawat Allah, maka tentu akan dapat mencukupi semua
keinginannya dan diampuni dosa-dosanya. Inilah pengertian ucapan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
b. Menyebut keutamaan dan kekhususan sifat, akhlak dan
perilaku utama yang Allah berikan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai contoh. Juga
menyebut mu’jizat serta bukti kenabian untuk mengenal kedudukan dan martabat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, dapat mengenalkan kepada
orang lain dan mengingatkan mereka, sehingga semakin meningkatkan keimanan dan
kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menyebutkan
faidah yang didapat dari shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Ketika seseorang memperbanyak menyebut
kekasihnya, mengingatnya di dalam hati dan mengingat kebaikan-kebaikan serta
faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan cinta kepadanya, maka semakin berlipat
kecintaan dan bertambah rindu kepada kekasihnya tersebut, hingga memenuhi
seluruh hatinya. Apabila ia sama sekali tidak menyebut dan tidak mengingatnya,
dan tidak mengingat kebaikan-kebaikan sang kekasih di hatinya, maka akan
berkurang rasa cinta di hatinya. Memang tidak ada yang dapat menyenangkannya
lebih dari melihat kekasihnya tersebut. Juga tidak ada yang menyejukkan hatinya
lebih dari menyebut dan mengingat sang kekasih dan kebaikan-kebaikannya.
Apabila hal ini kuat di hatinya, maka lisannya langsung akan memuji dan
menyebut kebaikan-kebaikannya. Bertambah dan berkurangnya hal ini, sesuai
dengan bertambah dan berkurangnya rasa cinta di hatinya. Indera kita menjadi
saksi kebenaran hal itu”. [5] c. Bersikap santun dan beradab dengan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam menyebut nama atau memanggilnya.
Allah berfirman :
b. Menyebut keutamaan dan kekhususan sifat, akhlak dan
perilaku utama yang Allah berikan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai contoh. Juga
menyebut mu’jizat serta bukti kenabian untuk mengenal kedudukan dan martabat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, dapat mengenalkan kepada
orang lain dan mengingatkan mereka, sehingga semakin meningkatkan keimanan dan
kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika menyebutkan faidah yang didapat dari shalawat
untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Ketika seseorang memperbanyak menyebut kekasihnya, mengingatnya di dalam hati
dan mengingat kebaikan-kebaikan serta faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan
cinta kepadanya, maka semakin berlipat kecintaan dan bertambah rindu kepada
kekasihnya tersebut, hingga memenuhi seluruh hatinya. Apabila ia sama sekali tidak
menyebut dan tidak mengingatnya, dan tidak mengingat kebaikan-kebaikan sang
kekasih di hatinya, maka akan berkurang rasa cinta di hatinya. Memang tidak ada
yang dapat menyenangkannya lebih dari melihat kekasihnya tersebut. Juga tidak
ada yang menyejukkan hatinya lebih dari menyebut dan mengingat sang kekasih dan
kebaikan-kebaikannya. Apabila hal ini kuat di hatinya, maka lisannya langsung
akan memuji dan menyebut kebaikan-kebaikannya. Bertambah dan berkurangnya hal
ini, sesuai dengan bertambah dan berkurangnya rasa cinta di hatinya. Indera
kita menjadi saksi kebenaran hal itu”. [5]
c. Bersikap santun dan beradab dengan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik dalam menyebut nama atau memanggilnya.
Allah berfirman :
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ
يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa adzab yang pedih” [an Nuur/24 : 63].
Atau bersikap santun dalam menerima dan mentaati perintah
ataupun larangannya, serta membenarkan semua berita yang disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa adab tertinggi terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah secara penuh menerima, tunduk
patuh kepada perintahnya dan menerima beritanya, membenarkan tanpa ada
penentangan dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (masuk akal), syubhat,
keraguan-raguan, atau mendahulukan pendapat para intelektual dan pemikiran
mereka yang. Sehingga berhukum dan menerima, tunduk dan taat, hanya kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [6]
3. BERHARAP MELIHAT BELIAU SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
DAN RINDU BERJUMPA DENGANNYA, WALAUPUN HARUS MEMBAYARNYA DENGAN HARTA DAN
KELUARGA.
Tanda kecintaan ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مِنْ
أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ
رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ
“Di antara
umatku yang paling mencintaiku adalah, orang-orang yang hidup setelahku. Salah
seorang dari mereka sangat ingin melihatku, walaupun menebus dengan keluarga
dan harta“.[7]
Juga dalam hadits
Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
فِي يَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَحَدِكُمْ يَوْمٌ وَلَا يَرَانِي ثُمَّ لَأَنْ
يَرَانِي أَحَبُّ إِلَيْهِ مَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ
“Demi Dzat,
yang jiwa Muhammad di tanganNya (Allah). Pasti akan datang pada salah seorang
dari kalian satu waktu, dan ia tidak melihatku, kemudian melihat aku lebih ia
cintai dari keluarga dan hartanya”.[8]
4. NASIHAT UNTUK ALLAH, KITABNYA, RASULNYA DAN PEMIMPIN
KAUM MUSLIMIN SERTA UMUMNYA KAUM MUSLIMIN.
5. BELAJAR AL-QUR’AN, MEMBACA DAN MEMAHAMI MAKNANYA
Demikian juga belajar sunnahnya, mengajarkannya dan
mencintai ahlinya (Ahlu Sunnah). Al Qadhi Iyadh menyatakan, di antara
tanda-tanda mencintai Rasulullah adalah, mencintai al Qur`an yang diturunkan
kepadanya; dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil petunjuk,
membimbing (manusia) dengannya serta berakhlak dengannya, sehingga ‘Aisyah
menyatakan:
إِنَّ
خُلُقُ نِبِيِّ الله كَانَ القُرْآن
“Sesungguhnya
akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al Qur`an” [9].
Ibnu Mas’ud
berkata: “Janganlah seseorang menanyakan untuk dirinya, kecuali al Qur`an.
Apabila ia mencintai al Qur`an, maka (berarti) ia mencintai Allah dan RasulNya”
[10].
6.
MENCINTAI ORANG YANG DICINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
a. Ahli baitnya (kerabat).
Imam al
Baihaqi berkata: “Dan termasuk dalam lingkup kecintaan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu mencintai Ahli Bait”.
Ibnu
Taimiyah (wafat tahun 728 H) mengatakan, di antara ushul Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, (yakni) mereka mencintai Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan memberikan loyalitas kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka [12]. Kemudian beliau rahimahullah
menyatakan: “Ahlu Bait Rasulullah memiliki hak-hak yang wajib dipelihara,
karena Allah menjadikan untuk mereka hak dalam al Khumus, al Fai’, dan
memerintahkan bershalawat untuk mereka bersama shalawat untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[13]
Siapakah
yang disebut Ahlul Bait? Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan, bahwa Ahli
Bait Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang diharamkan
mengambil shadaqah. Demikian pendapat Imam asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
serta yang lainnya dari para ulama.
b. Para
istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjaga
keutamaan dan hak-hak mereka, dan meyakini mereka tidak sama seperti para
wanita lainnya. Allah telah membedakannya dalam firmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ
لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
“Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain” [al
Ahzab/33 : 32]
Allah
menjadikan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibu kaum
Mukminin di dalam firmanNya:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka” [al Ahzab/33 : 6].
Keutamaan
isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga gambar dari firman Allah
surat al Ahzab ayat 53, yang menyebutkan haramnya menikahi mereka setelah
Rasulullah n wafat. Allah berfirman :
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ
تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ
أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
“Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” [al
Ahzab/33 : 53].
Dengan mengetahui keutamaan isteri-isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita wajib untuk menjaga hak-hak mereka
setelah mereka wafat, bershalawat untuk mereka bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, memohonkan ampunan bagi mereka, serta menjelaskan pujian dan
keutamaan mereka.
c. Para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al Baihaqi menyatakan, termasuk kecintaan kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu mencintai para sahabat beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah memuji mereka dalam firmanNya
:
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ
شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang
sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar” [al Fath/48 : 29].
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ
فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati
mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [al Fath/48 :18].
Imam al
Baihaqi mengatakan: “Apabila mereka (para sahabat) telah mendapatkan kedudukan
ini, maka mereka memiliki hak dari kaum Muslimin untuk mencintai mereka dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaan kepada mereka, karena apabila
Allah meridhai seseorang, maka Dia mencintainya, dan wajib atas seorang hamba
untuk mencintai orang yang dicintai Allah”.[15]
Umat islam
wajib mencintai sahabat, meridhoi mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka,
sebagaimana Allah perintahkan dalam firmanNya:
Menurut Imam al Baihaqi, apabila mencintai sahabat
termasuk iman, maka mencintai mereka mempunyai makna meyakini dan mengakui
keutamaan-kutamaan mereka, mengetahui bahwa masing-masing mereka memiliki hak
yang harus ditunaikan. Setiap yang memiliki kepedulian kepada Islam,
(hendaknya) diperhatikan. Serta yang memiliki kedudukan khusus di sisi
Rasulullah ditempatkan kedudukannya, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka dan
mendoakan kebaikan untuk mereka, mencontoh mereka dalam semua permasalahan
agama. Tidak boleh mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran mereka.[16]
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al
Aqidah al Wasithiyah mengatakan, di antara ushul (pokok ajaran) Ahlu Sunnah wal
Jamaah adalah, selamatnya hati dan lisan dari mencela para sahabat Rasulullah,
sebagaimana disifatkan Allah dalam firmanNya:
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa: “Ya, Rabb kami. Beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.
Ya, Rabb kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Peyanyang“” [al
Hasyr/59 : 10].
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَ الَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah
kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, seandainya salah seorang kalian
berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud mereka dan
tidak pula separuhnya“.
Ahlus
Sunnah menerima keutamaan-keutamaan dan martabat mereka yang telah dijelaskan
dalam al Qur`an dan As Sunnah serta Ijma’. Ahlus Sunnah juga mendahulukan orang
yang berinfaq dan berperang sebelum al Fathu –perjanjian Hudaibiyah- dari orang
yang berinfaq dan berperang setelah itu. Ahlus Sunnah mendahulukan para
Muhajirin atas Anshar, serta beriman bahwa Allah telah berfirman kepada
orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar, berjumlah tigaratus sekian
belas orang -Berbuatlah sesuka hati kalian, karena kalian sungguh telah diampuni.
Ahlus
Sunnah juga beriman, orang-orang yang yang berbaiat di bawah pohon (Bai’at
Ridwan), tidak ada seorangpun di antara mereka yang masuk neraka. Bahkan Allah
telah meridhai mereka, dan mereka ridha kepada Allah. Jumlah mereka lebih dari
seribu empat ratus orang. Ahlus Sunnah bersaksi, orang-orang yang dipersaksikan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ahli Surga -seperti sepuluh
orang yang dijanjikan masuk Surga (al ‘Asyarah)-, Tsabit bin Qais bin Syammas
dan sahabat-sahabat lainnya.
Ahli Sunnah
beriman dengan pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya,
yang telah dinukil secara mutawatir, bahwa sebaik-baik umat ini setelah Nabi
adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan menetapkan yang ketiga adalah Utsman, yang
keempat adalah Ali. Demikian ini sebagaimana disebutkan dalam atsar. Para
sahabat bersepakat mendahulukan ‘Utsman dalam hal Bai’at, berkaitan dengan
adanya sebagian Ahlus Sunnah yang pernah berselisih antara ‘Utsman dan Ali
-setelah kesepakatan mendahulukan Abu Bakar dan Umar- siapakah dari keduanya
yang lebih utama? Sebagian orang mendahulukan ‘Utsman dan diam, atau menetapkan
keempat adalah Ali. Sebagian lainnya mendahulukan Ali serta sebagian yang
lainnya diam tidak bersikap. Namun, kaum Muslimin telah tetap mendahulukan
‘Utsman kemudian Ali, walaupun masalah ini –yaitu masalah ‘Utsman dan Ali-
bukan termasuk pokok dasar (ushul) yang digunakan untuk menghukumi sesat kepada
orang yang menyelisihinya -menurut mayoritas Ahlu Sunnah-. Akan tetapi yang
digunakan untuk memvonis sesat adalah masalah kekhilafahannya. Hal itu karena
khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar,
kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali. Barangsiapa mencela
kekhilafahan salah seorang dari mereka, maka ia lebih sesat dari keledai. [17]
Demikian
sebagian pernyataan para ulama seputar permasalah ini.
7. MEMBENCI
ORANG YANG DIBENCI OLEH ALLAH DAN RASULNYA
Memusuhi
orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Menjauhi orang yang menyelelisihi
sunnahnya dan berbuat bid’ah dalam masalah agama, dan merasa berat atas semua
perkara yang menyelisihi syari’at. Allah berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ
وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ
أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari Akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga
pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam Surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka
itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung” [al Mujadilah/58 : 22].
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, bahwa seorang
mukmin wajib memusuhi karena Allah dan berloyalitas karena Allah. Apabila
disana ada orang mukmin, maka ia wajib memberikan loyalitas kepadanya –walaupun
ia berbuat zhalim- karena kezhaliman tidak memutus loyalitas iman. Allah
berfirman:
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ
تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴿٩﴾إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min
berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua
golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min
adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat“. [al Hujurat/49 : 9-10].
Allah menyebutkan persaudaraan, walaupun terjadi
peperangan dan perbuatan aniaya. Allah memerintahkan perdamaian di antara
mereka. Sehingga diwajibkan memberikan loyalitas kepada mukmin, walaupun ia
menzhalimi dan berbuat aniaya kepadamu. Sedangkan orang kafir, maka ia wajib
dimusuhi, walaupun ia telah memberi dan berbuat baik kepadamu.
Hal ini, lantaran Allah telah mengutus para rasul dan
menurunkan kitab suci, agar agama ini semua untukNya,
sehingga cinta, kemuliaan dan pahala hanyalah untuk para
waliNya. Adapun kebencian, kehinaan dan siksaan untuk para musuhNya. Apabila
terkumpul pada diri seseorang kebaikan, keburukan dan kefajiran, ketaatan dan
kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan loyalitas dan
pahala, sesuai dengan kebaikan yang dimilikinya. Dia (juga) berhak mendapatkan
permusuhan dan siksaan, sesuai dengan keburukan yang dimilikinya. Sebab
terkumpul pada orang tersebut kemuliaan dan kehinaan, lalu berkumpul ini dan
itu, seperti pencuri yang fakir dipotong tangannya karena mencuri, dan ia
diberi dari Baitul Mal sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar pokok
(asal) yang disepakati Ahlu Sunnah wal jama’ah.[18]
Demikian sebagian tanda dan bukti penting perwujudan
cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memudahkan
kita untuk dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wabillahi
taufiq.
Footnote
[1]. Sebagian
besar makalah ini diambil dari kitab Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab
wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H,
Penerbit Adwaa’ al Salaf.
[2]. HR at
Tirmidzi, kitab al Ilmu, Bab Ma Jaa fil Akhdzi bi Sunnah Wajtinaab al Bida’,
no. 2678.
[3]. HR at
Tirmidzi, kitab Sifat al Qiyamah, no. 2457 dan Syaikh al Albani dalam Silsilah
Ahadits Shahihah (no. 954) menyatakan sanadnya hasan, karena perbedaan ulama
yang terkenal tentang Ibnu Uqail.
[4]. Jala’ al
Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq
Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid, hlm.
76.
[5]. Ibid, hlm.
525.
[6]. Madarij as
Salikin (2/387).
[7]. HR Muslim,
kitab al Jannah wa Shifat Na’imiha wa Ahliha, Bab Fiman Yawaddu Ru’yat an Nabi
bi Ahlihi wa Malihi, no. 5060.
[8]. HR Muslim,
kitab al Fadhail, Bab Fadhlu an Nazhar ila Nabi n wa Tamanihi, no. 4359 [9]. HR
Muslim, kitab Shalat al Musafirin, Bab Jaami’ Shalat al Lail, no.1233.
[10]. Huquq an
Nabi (1/343).
[11]. Syu’abil
Iman, al Baihaqi (1/282).
[12]. Majmu’
Fatawa (3/407).
[13]. Ibid
(3/307).
[14]. Ibid.
[15]. Syu’abil
Iman, al Baihaqi (1/287).
[16]. Ibid., hlm.
297.
[17]. Majmu’ Fatawa
(3/152-153) atau Syarah al Aqidah al Wasithiyah min Kalami Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Khalid bin Abdullah al Mushlih, Cet. Pertama, Th. 1421 H, Dar Ibnul
Jauzi, hlm. 177-184.
[18]. Majmu’
Fatawa (27/208-209). Home/Aktual : Cinta Nabi/Bukti Dan Tanda Cinta...
0 komentar:
Posting Komentar