Allah Sudah Tidak
Peduli dengan Kita
Hidup serba mudah bukan pertanda bahwa Allah meridhai
kita. Begitu pun sebaliknya. Hidup serba susah bukan pertanda Allah murka
dengan kita. Ridha dan murka Allah bergantung pada keikhlasan dan benarnya amal
kita.
Betapa banyak orang yang Allah murkai, hidupnya begitu
nyaman. Harta berlimpah. Kekuasaan di tangan. Semuanya serba ada dan mudah.
Seolah Allah mengatakan pada orang ini, “Silakan puas-puasin duniamu. Di
akhirat, kamu akan sengsara selamanya!”
Ya Allah, betapa kami berlindung dariMu dari apa yang
digolongkan dalam ayat berikut ini.
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah
diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu
mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al An’am: 44).
Bayangkan jika kita salah memahami konteks ini. Bahwa,
orang yang Allah ridhai adalah yang hidupnya nyaman. Dan kenyamanan dan
kenikmatan inilah yang selalu menjadi patokan. Seolah tak ada tarikan nafas
dalam hidup ini kecuali dalam rangka mengejar kenyamanan itu.
Kita pun menjadi super sibuk. Sibuk dalam rangka mencari
fasilitas kenyamanan itu. Dan di waktu yang berbeda, kita pun sibuk pula dalam
menikmati kenyamanan yang sudah di tangan.
Persepsi kita tentang hidup pun mulai berubah. Persepsi
yang akhirnya menggeser apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam hidup
ini. Begitu pun dengan apa yang bernilai dan apa yang tidak memiliki arti sama
sekali.
Bayangkan tentang sebuah persepsi seseorang yang rumahnya
tak jauh dari masjid. Kumandang azan terdengar jelas dari dalam rumahnya. Ia
sehat. Segala sarana sangat memungkinkan dirinya untuk berhenti sejenak dari
urusan dunia untuk kemudian singgah di masjid. Tidak dalam hitungan jam. Hanya
lima sampai sepuluh menit saja.
Namun, hal itu menjadi berbeda dalam kalkulasi untung
ruginya. Seolah dia berhujah, aku paham itu azan. Tapi kesibukanku saat ini
jauh lebih penting dari apa pun. Waktu berakhir shalat kan masih lebih dari dua
jam lagi. Dan sepertinya, shalat di rumah jauh lebih khusyuk daripada di
masjid.
Kesibukan apa sebenarnya yang ia maksudkan sehingga berat
untuk berangkat ke masjid. Rupanya, ia sedang menyimak berita penting dari
televisi. Atau, ia sedang menuntaskan tugas kantornya di rumah.
Itu pun masih tergolong “wajar”. Karena di persepsi yang
lebih bawah lagi hujjahnya lebih parah. “Aduh, baru mau mulai tidur. Yah, lagi
tanggung nih chatingnya.” Dan seterusnya.
Satu hal yang jarang kita dengar tentang bahaya merasa
sibuk ini. Sibuk dalam hal yang sebenarnya bisa ditunda. Sibuk yang sebenarnya
jauh di bawah nilai ibadah. Sibuk yang jika tidak dikerjakan pun tidak akan
berpengaruh apa-apa. Untuk urusan dunia, maupun akhirat.
Yaitu, sebuah ungkapan nasihat dari seorang tabi’in yang
merupakan guru dari para ulama ahlussunnah. Beliau adalah Hasan Al-Bashri,
rahimahullah.
Beliau mengatakan,
من
علامة إعراض الله تعالى عن العبد أن يجعل شغله فيمالا يعنيه
“Termasuk
tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah Dia menjadikan si hamba
sibuk pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Kata
kuncinya ada pada manfaat atau tidak. Jika iman sudah pada tingkat daya yang
lemah, ilmu agama yang jauh dari memadai, sahabat yang hanya mengingatkan pada
urusan dunia; kata ‘manfaat’ menjadi begitu bias.
Semua
menjadi bergantung pada apa yang jelas terlihat. Jelas pula dirasakan. Dan,
jelas hasilnya.
Dalam hal
jelas ini, urusan dunia jauh dirasakan lebih jelas dari apa pun tentang
akhirat. Setan pun membimbingnya untuk lebih akrab lagi dengan keindahan dunia.
Sementara urusan akhirat kian redup ditelan hiruk-pikuknya kesibukan.
Semoga yang
seperti itu bukan kita. Tapi jika itu yang terjadi, itulah pertanda bahwa Allah
sudah tak lagi peduli dengan kita. [Mh]
0 komentar:
Posting Komentar