Meraih Martabat
Utama 14 Dari Wirid ke Warid
Dalam artikel terdahulu dijelaskan, wirid sebagai amalan
secara rutin dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan diri lebih dekat lagi
kepada Allah SWT. Wirid juga merupakan pembuktian kedisiplinan diri seorang
hamba sehingga waktu dan kualitas pengabdian berbanding lurus.
Keutamaan wirid terletak pada kekuatan istiqamah seorang
hamba di dalam melakukan ketaatan kepada Tuhannya. Target kuantitatif harus
dicapai setiap hari untuk meyakinkan dirinya tetap di dalam kondisi spiritual
yang baik. Hanya, wirid terkesan terlalu formalitas. Amalan dan pengabdian
kepada Allah SWT masih lebih mengacu kepada target kuantitatif. Ahli wirid
sering terlena kepada jumlah dan standar kuantitatif. Jika keseluruhan wirid dilaksanakan,
mereka merasa plong.
Para pengamal wirid bertingkat-tingkat. Ahli wirid pemula
memang masih banyak yang berorientasi amalan oriented, sebagaimana disebutkan
tadi. Namun, ahli wirid bisa meningkat ke jenjang lebih tinggi ketika mulai
merasakan suasana batin melalui penghayatan terhadap makna dan tujuan wirid.
Jika ahli wirid sudah sampai di maqam terbaik, Ibnu
`Athaillah memesankan, "Jangan kita menganggap rendah hamba yang
mengamalkan wirid dan ibadah tertentu karena keduanya memiliki kedudukan yang
mulia di sisi Allah."
Ia menambahkan, "Jika engkau melihat seorang hamba
yang ditetapkan Allah selalu menjaga wiridnya, namun lama ia tidak mendapatkan
pertolongan dan kekhususan dari-Nya, jangan sampai engkau meremehkannya hanya
karena engkau belum melihat tanda-tanda orang arif atau cahaya indah seorang
pencinta Allah pada diri hamba itu. Kalaulah bukan karunia berupa warid, tentu
tidak akan ada wirid."
Orang yang konsisten mengamalkan wirid dan sudah sampai
ke tingkat penghayatan lebih mendalam terhadap wiridnya, wirid itu
berangsur-angsur melahirkan warid. Warid ialah efek positif yang lahir dari
pengamalan wirid secara istiqamah. Ibnu `Athaillah menyebut warid itu sebagai
pemberian dan hidayah Allah SWT berupa petunjuk, cahaya ilahi, dan kesenangan
batin di dalam bertaqarrubkepada-Nya.
Ibnu `Athaillah mengatakan, "Allah memberimu warid
untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman dunia dan membebaskanmu daripada
diperbudak oleh makhluk apa pun." Ia membagi warid ke dalam tiga
tingkatan, yaitu 1) warid yang muncul pada ahli wirid berupa hamba merasa
ringan dalam menjalankan ketaatan dan beribadah karena sudah merasa lebih dekat
ke hadirat-Nya. 2)
Warid yang muncul pada ahli wirid berupa hamba sudah
merasakan puncak keikhlasan dan sudah mampu melepaskan diri dari tujuan apa pun
selain hanya kepada Allah SWT. 3) Warid yang muncul pada ahli wirid berupa
kekuatan untuk melepaskan diri dari sifat-sifat wujud yang terbatas (sempit)
untuk kemudian menyaksikan kebesaran Allah SWT yang tidak terbatas.
Menurut Ibnu `Athaillah, wirid paling tinggi ialah
"Allah memberimu warid untuk melepaskanmu dari penjara wujudmu ke alam
syuhud (penyaksian)." Warid ini sudah sampai ke tingkat penyingkapan
(maqam syuhud atau mukasyafah). Jika seseorang sudah sampai di maqam ini, ia
meraih ketenangan batin dan sudah terbebas dari teriakan atau bisikan dunia.
Kalaupun sempat, ia segera kembali.
Orang-orang yang sudah memperoleh warid dengan sendirinya
orang itu memiliki kepribadian zuhud, dalam arti tidak lagi akan didikte oleh
kepentingan dunia. Dia sudah diberi kemampuan untuk memilki dirinya sendiri
tanpa bergantung pada kekuatan makhluk.
Baginya, cukup dengan kasih sayang Allah SWT.
Warid sudah menjadi semacam cahaya Tuhan (Nur Allah) yang
memantul mengendalikan diri dalam batin dan pikirannya sehingga kekuatan itu
menjadi perisai terhadap berbagai kemungkaran. Wallahu a'lam.
Oleh KH Prof Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar