Waspadai Ghibah
Terselubung!
Siang dan malam setan tak pernah bosan untuk menggoda
manusia. Tak bisa menggunakan cara ini, dia mencari cara lain untuk bisa
melumpuhkan benteng ketakwaan seorang hamba. Imajinasi untuk mencari ide-ide
baru, guna menjerumuskan manusia ke dalam nista dan dosa, selalu bergerak dan
berkembang.
Bahaya ghibah
Sebagai contoh adalah, salah satu jerat setan yang
dinamakan ghibah. Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak
disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah. Hanya saja dipoles lebih
halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.
Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa
ghibah ini. Disamping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa
hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang
dighibahi tidak memaafkan). Di saat sedikit pahala amat dibutuhkan untuk
menambah beratnya timbangan amal kebaikan, tiba-tiba datang orang yang pernah
Anda ghibahi, kemudian dia menuntut untuk mengambil pahala kebaikan Anda,
sebagai tebusan atas kezaliman yang pernah Anda lakukan kepadanya. Bila amalan
kebaikan tidak mencukupi sebagai tebusan, maka amalan buruknya akan dibebankan
kepada Anda. –Na’udzu billah min dzaalik-.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ
مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ
لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ
حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang
pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent)
atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya
dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan
bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih
maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal
kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.”
(HR. Bukhari no. 2449, hadis Abu Hurairah.
Anda bisa
bayangkan, betapa ruginya. Anda yang susah payah beramal, namun orang lain yang
memetik buahnya. Orang lain yang berbuat dosa, sedang Anda yang merasakan
pahitnya. Dan Allah tidak pernah berbuat zalim sedikitpun terhadap hambaNya.
Namun ini adalah disebabkan kesalahan manusia itu sendiri. Ini dalil betapa
tingginya harkat martabat seorang muslim, dan betapa besar bahaya daripada dosa
ghibah.
Apakah
hadis ini mengisyaratkan adanya pertentangan dengan ayat,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18)?
Jawabannya
adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari,
tidak ada sedikitpun pertentangan antara hadis tersebut dengan ayat. Karena
sejatinya, dia medapatkan hukuman seperti itu karena disebabkan oleh perbuatan
dosanya sendiri, bukan karena dosa orang lain yang dibebankan kepadanya begitu
saja. Jadi, pahala kebaikan yang dikurangi, dan keburukan orang lain yang
dibebankan kepadanya, sejatinya adalah bentuk dari akibat dosa dia sendiri. Dan
ini adalah bukti akan keadilan peradilan Allah ta’ala. (Lihat: Fathul Bari
jilid 5, hal. 127)
Dalam hadis
lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan,
لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ
بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ
صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku
dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari
tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka.
Aku bertanya :”Siapakah mereka wahai Jibril?” Jibril menjawab :”Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging-daging manusia ( mengumpat ) dan mereka
menginjak-injak kehormatan manusia.” (Hadis Sohih Riwayat Ahmad (3/223), Abu
Dawud (4879).
Beberapa
model ghibah terselubung
Model-model
ghibah tersebut adalah:
Pertama,
seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau
ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan
menjadi hambar. Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar
lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk
keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).
Kedua,
mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya
adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang menghibahi
saudaranya.
Sebagai
contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’
biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara
tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia
itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).”
Padahal
sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat.
Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang
seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?!
Maha suci
Allah dari sangkaan ini.
Ketiga,
menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya
dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.
Seperti
perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu
merah. Kalau saya alhamdulillah, walaupun ngga pernah rangking satu, tapi masuk
tiga besar terus.”
Padahal ada
maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan
menghinakan kedudukan orang lain. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa
tangga pula; dia sudah melakukan ghibah, disamping itu, dia juga berbuat riya’.
Keempat,
ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad. Setiap kali ada orang
yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya
dengan menyebutkan kekurangan-kekurannya. Orang seperti ini telah terjurumus ke
dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.
Kelima,
menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan
aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.
Dan lebih
parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau
ustadznya. -Nas alullah as-salaamah wal ‘aafiyah-.
Keenam,
terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung
motif menjatuhkan kedudukan orang lain. Semisal ucapan,”saya heran sama dia..
dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan
lainnya yang semisal.
Ketujuh,
mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan. Orang yang
mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia
maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya. Seperti ucapan,”
Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau
ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”
Kedelapan,
mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat.
Seperti
perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di
poskamling, “Kalian ini masih muda. Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang
bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa
memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya pak lurah itu,
kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang
semisal.
Sejatinya
pemaparan poin-poin di atas, merujuk kepada pengertian asal daripada ghibah,
yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda
beliau,
Saudaraku
yang kami muliakan, demikianlah beberapa praktek ghibah yang sering terjadi dan
tidak disadari. Padahal sejatinya ia adalah ghibah yang telah disinggung oleh
Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabda beliau,
مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا :
اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ
: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ
مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ
فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah
kaliana apa itu ghibah?”tanya Rasulullah kepada para sahabatnya. Sahabat
menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan (mengumpat) sesuatu yang tidak
disukai oleh saudaramu”, Kemudian ada yang bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,”Bagaimanakah pendapat engkau bila yang disebutkan itu memang
benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang
ia benar begitu berarti engkau telah mengumpatnya. Tetapi jika apa yang kau
sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya” ( HR Muslim no
2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999.
Semoga
Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita dari dosa ini. Dan senantiasa
menambahkan taufik dan hidayahNya untuk kita semua.
Wasallallahu
‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wasallam.
**
Catatan:
Tulisan ini
kami sadur dari penjabaran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengenai
model-model ghibah, yang termaktub dalam Majmu’ Fatawa jilid 28, hal. 236-237.
Dikutip oleh Syaikh Abdullah bin Sholih Al-Fauzan dalam buku beliau: al-Fawaidul
Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah.
Ditulis
oleh : Ahmad Anshori
Artikel
Muslim.Or.Id
1 komentar:
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
Posting Komentar