Kamis, 25 Juni 2020

Kumpulan Amalan Ringan


Kumpulan Amalan Ringan


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua rakaat fajar (shalat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim, no. 725).

Jika keutamaan shalat sunnah fajar saja demikian adanya, bagaimana lagi dengan keutamaan shalat Shubuh itu sendiri.

Dalam lafal lain, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara mengenai dua rakaat ketika telah terbit fajar shubuh,


لَهُمَا أَحَبُّ إِلَىَّ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا

“Dua rakaat shalat sunnah fajar lebih kucintai daripada dunia seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 725).

Hadits terakhir di atas juga menunjukkan bahwa shalat sunnah fajar yang dimaksud adalah ketika telah terbit fajar shubuh. Karena sebagian orang keliru memahami shalat sunnah fajar dengan mereka maksudkan untuk dua rakaat ringan sebelum masuk fajar. Atau ada yang membedakan antara shalat sunnah fajar dan shalat sunnah qabliyah shubuh.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,


أَنَّ سُنَّة الصُّبْح لَا يَدْخُل وَقْتهَا إِلَّا بِطُلُوعِ الْفَجْر ، وَاسْتِحْبَاب تَقْدِيمهَا فِي أَوَّل طُلُوع الْفَجْر وَتَخْفِيفهَا ، وَهُوَ مَذْهَب مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور

“Shalat sunnah Shubuh tidaklah dilakukan melainkan setelah terbit fajar Shubuh. Dan dianjurkan shalat tersebut dilakukan di awal waktunya dan dilakukan dengan diperingan. Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan jumhur (baca: mayoritas) ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6:3)

Berusaha menjaga shalat sunnah Fajar secara rutin
 ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,


أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَكُنْ عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga shalat sunnah dua rakaat sebelum Shubuh.”  (HR. Muslim, no. 724).
Dalam lafal lain disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,


مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Aku tidaklah pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah yang lebih semangat dibanding dengan shalat sunnah dua rakaat qabliyah Shubuh.” (HR. Muslim, no. 724).

Bacaan ketika shalat sunnah Fajar

 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَرَأَ فِى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ketika shalat sunnah qabliyah shubuh yaitu surah Al-Kafirun dan surah Al-Ikhlas” (HR. Muslim, no. 726).

Cukup dengan dua rakaat ringan

 Dalil yang menunjukkan bahwa shalat sunnah qabliyah Shubuh atau shalat sunnah Fajar dilakukan dengan rakaat yang ringan adalah hadits dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berkata bahwa Ummul Mukminin Hafshah binti ‘Umar radhiyallahu ‘anha pernah mengabarkan,


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الأَذَانِ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلاَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu diam antara adzannya muadzin hingga shalat Shubuh. Sebelum shalat Shubuh dimulai, beliau dahului dengan dua rakaat ringan.” (HR. Bukhari, no. 618 dan Muslim, no. 723).

Dalam lafal lain juga menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Sunnah Fajar dengan rakaat yang ringan. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Hafshah, ia mengatakan,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ لاَ يُصَلِّى إِلاَّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

“Ketika terbit fajar Shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah shalat kecuali dengan dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim, no. 723).

‘Aisyah juga mengatakan hal yang sama,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ إِذَا سَمِعَ الأَذَانَ وَيُخَفِّفُهُمَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mendengar adzan, beliau melaksanakan shalat sunnah dua rakaat ringan.” (HR. Muslim, no. 724).

Dalam lafal lainnya disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَيُخَفِّفُ حَتَّى إِنِّى أَقُولُ هَلْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat sunnah fajar (qabliyah shubuh) dengan diperingan. Sampai aku mengatakan apakah beliau di dua rakaat tersebut membaca Al-Fatihah?” (HR. Muslim, no. 724).

Imam Nawawi menerangkan bahwa hadits di atas hanya kalimat hiperbolis yaitu cuma menunjukkan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan kebiasaan beliau yang biasa memanjangkan shalat malam dan shalat sunnah lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6:4.

Dan sekali lagi namanya ringan juga bukan berarti tidak membaca surah sama sekali. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf mengatakan tidak mengapa jika shalat sunnah Fajar tersebut dipanjangkan dan menunjukkan tidak haramnya, serta jika diperlama tidak menyelisihi anjuran memperingan shalat sunnah Fajar. Namun sebagian orang mengatakan bahwa itu berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca surah apa pun ketika itu, sebagaimana diceritakan dari Ath-Thahawi dan Al-Qadhi ‘Iyadh. Ini jelas keliru. Karena dalam hadits shahih telah disebutkan bahwa ketika shalat sunnah qabliyah shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-Kafirun dan surah Al-Ikhlas setelah membaca surah Al-Fatihah. Begitu pula hadits shahih menyebutkan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surah atau tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Qur’an, yaitu yang dimaksud adalah tidak sahnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6:3)
Mengganti (qadha’) shalat sunnah Fajar

 Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Salah satu pendapat menyatakan boleh mengqadha’ shalat sunnah fajar tadi langsung setelah shalat Shubuh. Ada riwayat yang shahih disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubra,


عَنْ قَيْسٍ جَدِّ سَعْدٍ قَالَ : رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ فَقَالَ :« مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يَا قَيْسُ؟ ». فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ ، فَهُمَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ ، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Dari Qais (kakeknya Sa’ad), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku sedang shalat sunnah fajar setelah shalat Shubuh. Beliau berkata, “Dua rakaat apa yang kamu lakukan, wahai Qais?” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shalat sunnah Fajar. Inilah dua rakaat shalat sunnah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mendiamkannya.” Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa hadits ini memiliki ‘illah (cacat) yaitu munqathi’ (terputus sanadnya) seperti kata Tirmidzi.

Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Diamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan akan bolehnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqadha’ shalat sunnah Zhuhur setelah ‘Ashar. Ini pun sama maksudnya.”

Ulama Hanafiyah mengatakan tidak bolehnya menunaikan setelah shalat Shubuh secara langsung. Karena ada riwayat dari Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang belum menunaikan shalat sunnah Fajar, hendaklah ia menunaikannya setelah matahari terbit.” Karena Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menunaikan qadha’ shalat sunnah fajar di waktu Dhuha.

Ibnu Qudamah menyatakan kembali bahwa larangan ini masih bisa dipahami dengan makna lain. Jika memang seperti itu, menunaikannya di waktu Dhuha lebih baik dan terlepas dari perselisihan ulama dan tidak menyelisihi keumuman hadits tadi. Akan tetapi, jika dikerjakan langsung setelah shalat Shubuh, itu boleh. Karena hadits terakhir tadi tidak membatasi kebolehan tadi. Demikian kata beliau.

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com



0 komentar:

Posting Komentar