Kumpulan Amalan
Ringan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا
الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat
fajar (shalat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR.
Muslim, no. 725).
Jika
keutamaan shalat sunnah fajar saja demikian adanya, bagaimana lagi dengan
keutamaan shalat Shubuh itu sendiri.
Dalam lafal
lain, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbicara mengenai dua rakaat ketika telah terbit fajar shubuh,
لَهُمَا أَحَبُّ إِلَىَّ مِنَ
الدُّنْيَا جَمِيعًا
“Dua rakaat
shalat sunnah fajar lebih kucintai daripada dunia seluruhnya.” (HR. Muslim, no.
725).
Hadits
terakhir di atas juga menunjukkan bahwa shalat sunnah fajar yang dimaksud
adalah ketika telah terbit fajar shubuh. Karena sebagian orang keliru memahami
shalat sunnah fajar dengan mereka maksudkan untuk dua rakaat ringan sebelum
masuk fajar. Atau ada yang membedakan antara shalat sunnah fajar dan shalat
sunnah qabliyah shubuh.
Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan,
أَنَّ سُنَّة الصُّبْح لَا
يَدْخُل وَقْتهَا إِلَّا بِطُلُوعِ الْفَجْر ، وَاسْتِحْبَاب تَقْدِيمهَا فِي
أَوَّل طُلُوع الْفَجْر وَتَخْفِيفهَا ، وَهُوَ مَذْهَب مَالِك وَالشَّافِعِيّ
وَالْجُمْهُور
“Shalat sunnah
Shubuh tidaklah dilakukan melainkan setelah terbit fajar Shubuh. Dan dianjurkan
shalat tersebut dilakukan di awal waktunya dan dilakukan dengan diperingan.
Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan jumhur (baca: mayoritas)
ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6:3)
Berusaha
menjaga shalat sunnah Fajar secara rutin
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- لَمْ يَكُنْ عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مُعَاهَدَةً
مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga
shalat sunnah dua rakaat sebelum Shubuh.”
(HR. Muslim, no. 724).
Dalam lafal
lain disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Aku
tidaklah pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
shalat sunnah yang lebih semangat dibanding dengan shalat sunnah dua rakaat
qabliyah Shubuh.” (HR. Muslim, no. 724).
Bacaan
ketika shalat sunnah Fajar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَرَأَ فِى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ (قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ketika shalat sunnah qabliyah
shubuh yaitu surah Al-Kafirun dan surah Al-Ikhlas” (HR. Muslim, no. 726).
Cukup
dengan dua rakaat ringan
Dalil yang menunjukkan bahwa shalat sunnah
qabliyah Shubuh atau shalat sunnah Fajar dilakukan dengan rakaat yang ringan
adalah hadits dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berkata
bahwa Ummul Mukminin Hafshah binti ‘Umar radhiyallahu ‘anha pernah mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الأَذَانِ لِصَلاَةِ
الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
تُقَامَ الصَّلاَةُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu diam antara adzannya muadzin hingga shalat
Shubuh. Sebelum shalat Shubuh dimulai, beliau dahului dengan dua rakaat
ringan.” (HR. Bukhari, no. 618 dan Muslim, no. 723).
Dalam lafal
lain juga menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
shalat Sunnah Fajar dengan rakaat yang ringan. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, dari Hafshah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ لاَ يُصَلِّى إِلاَّ رَكْعَتَيْنِ
خَفِيفَتَيْنِ
“Ketika
terbit fajar Shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah shalat
kecuali dengan dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim, no. 723).
‘Aisyah
juga mengatakan hal yang sama,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ إِذَا سَمِعَ الأَذَانَ
وَيُخَفِّفُهُمَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mendengar adzan, beliau melaksanakan
shalat sunnah dua rakaat ringan.” (HR. Muslim, no. 724).
Dalam lafal
lainnya disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَيُخَفِّفُ حَتَّى إِنِّى أَقُولُ
هَلْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat sunnah fajar (qabliyah shubuh)
dengan diperingan. Sampai aku mengatakan apakah beliau di dua rakaat tersebut
membaca Al-Fatihah?” (HR. Muslim, no. 724).
Imam Nawawi
menerangkan bahwa hadits di atas hanya kalimat hiperbolis yaitu cuma
menunjukkan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding
dengan kebiasaan beliau yang biasa memanjangkan shalat malam dan shalat sunnah
lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6:4.
Dan sekali
lagi namanya ringan juga bukan berarti tidak membaca surah sama sekali. Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf mengatakan tidak mengapa
jika shalat sunnah Fajar tersebut dipanjangkan dan menunjukkan tidak haramnya,
serta jika diperlama tidak menyelisihi anjuran memperingan shalat sunnah Fajar.
Namun sebagian orang mengatakan bahwa itu berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak membaca surah apa pun ketika itu, sebagaimana diceritakan dari
Ath-Thahawi dan Al-Qadhi ‘Iyadh. Ini jelas keliru. Karena dalam hadits shahih
telah disebutkan bahwa ketika shalat sunnah qabliyah shubuh, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-Kafirun dan surah Al-Ikhlas
setelah membaca surah Al-Fatihah. Begitu pula hadits shahih menyebutkan bahwa
tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surah atau tidak ada shalat bagi yang
tidak membaca Al-Qur’an, yaitu yang dimaksud adalah tidak sahnya.” (Syarh
Shahih Muslim, 6:3)
Mengganti
(qadha’) shalat sunnah Fajar
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.
Salah satu pendapat menyatakan boleh mengqadha’ shalat sunnah fajar tadi
langsung setelah shalat Shubuh. Ada riwayat yang shahih disebutkan oleh
Al-Baihaqi dalam Al-Kubra,
عَنْ قَيْسٍ جَدِّ سَعْدٍ
قَالَ : رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أُصَلِّى رَكْعَتَىِ
الْفَجْرِ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ فَقَالَ :« مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يَا
قَيْسُ؟ ». فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ
رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ ، فَهُمَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ ، فَسَكَتَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Dari Qais
(kakeknya Sa’ad), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melihatku sedang shalat sunnah fajar setelah shalat Shubuh. Beliau berkata,
“Dua rakaat apa yang kamu lakukan, wahai Qais?” Aku berkata, “Wahai Rasulullah,
aku belum melaksanakan shalat sunnah Fajar. Inilah dua rakaat shalat sunnah
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mendiamkannya.”
Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa hadits ini memiliki ‘illah (cacat) yaitu
munqathi’ (terputus sanadnya) seperti kata Tirmidzi.
Dalam
Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Diamnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menunjukkan akan bolehnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengqadha’ shalat sunnah Zhuhur setelah ‘Ashar. Ini pun sama maksudnya.”
Ulama
Hanafiyah mengatakan tidak bolehnya menunaikan setelah shalat Shubuh secara
langsung. Karena ada riwayat dari Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang belum
menunaikan shalat sunnah Fajar, hendaklah ia menunaikannya setelah matahari
terbit.” Karena Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menunaikan qadha’ shalat
sunnah fajar di waktu Dhuha.
Ibnu
Qudamah menyatakan kembali bahwa larangan ini masih bisa dipahami dengan makna
lain. Jika memang seperti itu, menunaikannya di waktu Dhuha lebih baik dan
terlepas dari perselisihan ulama dan tidak menyelisihi keumuman hadits tadi.
Akan tetapi, jika dikerjakan langsung setelah shalat Shubuh, itu boleh. Karena
hadits terakhir tadi tidak membatasi kebolehan tadi. Demikian kata beliau.
Nantikan
kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi
sebuah buku.
Bahasan ini
dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya
Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu
Hazm.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar