Ilmu Dulu Baru Amal
Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan
manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan
kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam
pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin,
suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi
demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir
jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh
Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan
pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika
melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka
agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya
dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal
nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri
kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan
kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal,
sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita
renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan
perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini,
seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ
، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu
mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’
li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis:
1/197)
Ulama ini
menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan
dalil. Sampai-pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam
masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena
inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.
Namun
sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan
landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang
yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha
mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan.
Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas
ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.
Ilmu Syarat
Sah Amal
Mengapa
harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi
keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu.
Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab
shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:
بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ
وَالعَمَلِ
“Bab: Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan”
(Shahih
al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)
Ucapan Imam
Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu,
perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam
buku-buku mereka. Imam Bukhari berdalil
dengan firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغفِرْ لِذَنبِكَ
“Ketahuilah
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan
mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Di ayat
ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari
ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar,
sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan
untuk dosamu.”.
Ketika
menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari
mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut:
Yang beliau
maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan
perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu
didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan
niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal.
(Umdatu
al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).
Dari
keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah
sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal
dengan niat yang benar, jika dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal.
Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan
mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan:
Amal itu
tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti
dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan,
serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan
semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena
telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan
niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka
hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan orang gila, yang tidak
dicatat amalnya.
(Syarh
Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah, 1/145)
Lebih dari
itu, setiap orang yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang
akan dia kerjakan. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan
amalnya tidak diterima. Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian
orang yang bertanya: Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk
diamalkan?
Sesungguhnya
setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari
belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum
memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa
memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika
menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan:
Imam
Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar
tidak didahului oleh pemahaman bahwa
ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal. Pemahaman ini
dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari
ilmu.
[Umadatul
Qori Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, as-Syamilah, 2/476]
Apa itu
Ilmu?
Yang kami
maksud dengan ilmu adalah dalil, baik dari al Qur’an maupun hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani
mengatakan:
العِلمَ مَا قَامَ عَلَيْهِ
الدَّلِيلُ وَالنَّافِعُ مِنْهُ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ
“Ilmu
adalah kesimpulan yang ada dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah
ilmu yang
dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”
(Majmu’
Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal. 388)
Bagian ini
perlu ditegaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman. Intinya ingin menjelaskan,
setiap orang yang beramal dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan, orang ini
telah beramal atas dasar ilmu. Sebaliknya, beramal namun tidak ada landasan
dalil belum dikatakan beramal atas dasar ilmu.
Lantas
bagaimana dengan orang awam yang tidak faham dalil? Apakah dia diwajibkan
mencari dalil? Jawabannya, untuk orang awam, dalil bagi mereka adalah
keterangan dan fatwa ulama yang mendasari nasehatnya dengan dalil. Bukan
keterangan ulama yang pemikirannya bertolak belakang dengan al-Qur’an dan
sunnah. Dalilnya adalah firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah
kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)
Muslim Vs
Nasrani Vs Yahudi
Tekait
masalah ini, ada tiga kelompok manusia yang sangat esktrim perbedaannya. Ketiga
jenis manusia ini Allah sebutkan dalam al-Qur’an, di surat al-Fatihah. Allah
berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
“Berilah
kami petunjuk ke jalan yang lurus {} yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri
nikmat {} Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang
yang sesat.”
(QS.
Al-Fatihah: 5 – 7)
Pada ayat
di atas, Allah membagi manusia terkait dengan hidayah ilmu menjadi tiga
golongan:
Pertama, golongan orang yang mendapat nikmat.
Merekalah golongan yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat dalam beragama.
Kedua, golongan orang-orang yang dimurkai.
Merekalah orang-orang yahudi
Ketiga, golongan orang-orang yang sesat,
yaitu orang-orang nasrani.
Syaikhul
Islam menjelaskan sebab kedua umat yahudi dan nasrani dikafirkan:
Kesimpulannya,
bahwa kekafiran orang yahudi pada asalnya disebabkan mereka tidak mengamalkan
ilmu mereka. Mereka memahami kebenaran, namun mereka tidak mengikuti kebenaran
tersebut dengan amal atau ucapan. Sedangkan kekafiran nasrani disebabkan amal
perbuatan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka rajin dalam melaksanakan
berbagai macam ibadah, tanpa adanya syariat dari Allah… karena itu, sebagian
ulama, seperti Sufyan bin Uyainah dan yang lainnya mengatakan: “Jika ada
golongan ulama yang sesat, itu karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang
yahudi. Sedangkan golongan ahli ibadah yang rusak karena dalam dirinya ada
kemiripan dengan orang nasrani” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, Ahmad bin Abdul
Halim al-Harrani, dengan Tahqiq Dr. Nashir al-`Aql, Kementrian Wakaf dan Urusan
Islam KSA, 1419 H, jilid 1, hal. 79 )
Penjelasan
yang bagus di atas memberikan kesimpulan, titik perbedaan antara umat islam
dengan kaum yahudi dan nasrani adalah terkait masalah ilmu dan amal. Umat islam
menduduki posisi pertengahan, dengan menggabungkan antara ilmu dan amal.
Tingkatan
Ilmu
Untuk
melengkapi pembahasan, berikutnya kita kupas tentang tingkatan ilmu berdasarkan
hukumnya. Sesungguhnya hukum belajar ilmu syar`i itu ada dua tingkatan:
Pertama,
fardhu `ain (menjadi kewajiban setiap orang)
Ilmu syar`i
yang wajib diketahui dan dipelajari semua orang adalah ilmu syar`i yang menjadi
syarat seseorang untuk bisa memahami aqidah pokok dengan benar dan tata cara
ibadah yang hendak dikerjakan. Termasuk juga ilmu tentang praktek mu`amalah
yang hendak dia lakukan.
Kedua,
fardhu kifayah
Tingkatan
yang kedua adalah ilmu syar`i yang harus dipelajari oleh sebagian kaum muslimin
dengan jumlah tertentu, sehingga memenuhi kebutuhan untuk disebarkan kepada
umat. Dalam kondisi ini, jika sudah ada sebagian kaum muslimin dengan jumlah
yang dianggap cukup, yang melaksanakannya maka kaum muslimin yang lain tidak
diwajibkan.
Catatan:
Bagi mereka
yang ingin mengkhususkan diri mempelajari ilmu syar`i lebih mendalam, hendaknya
dia meniatkan diri untuk melaksanakan tugas fardhu kifayah dalam bentuk mencari
ilmu. Agar dia mendapatkan tambahan pahala mengamalkan amalan fardhu kifayah,
disamping dia juga mendapatkan ilmu. Allahu a’lam
[lih. Kitab al-Ilmu, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin,
Mauqi` al-Islam, hal. 14]
Penulis: Ammi Nur Baits
0 komentar:
Posting Komentar