Makna Kedekatan dan
Kebersamaan Allah
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengutus
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas petunjuk dan agama yang lurus.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada beliau dan orang-orang yang senantiasa mengikuti ajaran
beliau hingga hari Kiamat kelak. Amma ba’d.
Saudariku yang saya cintai karena Allah, perlu kita
ketahui bahwasanya mengenal Dzat yang menciptakan kita merupakan suatu
kenikmatan yang sangat besar. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mengenal
Rabbnya? Bukankah di alam kubur nanti kita akan ditanya oleh malaikat,
“Siapakah Rabbmu?” Dan tentu saja orang-orang yang teguh imannya dan mereka
mengenal Rabbnya di dunia yang mampu menjawab. Lalu kita akan bertanya,
“Bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya sama
sekali.”
Diantara cara mengenal Allah Ta’ala adalah mengenal nama
dan sifat-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan
hadist nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam kesempatan kali ini, izinkan saya untuk menulis
sedikit mengenai sifat Allah yaitu Qurbullah min kholqihi (Kedekatan Allah
dengan hamba-Nya) dan Ma’iyyatullah li kholqihi (Kebersamaan Allah dengan
hamba-Nya). Semoga kita semua selalu diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Aamiin.
Manhaj Salaful Ummah dalam Kaidah Asma’ wa Shifat
Sebelum kita mengetahui apa itu Kedekatan dan Kebersamaan
Allh dengan Hamba-Nya, sedikit saya bahas disini bagaimana kaidah para salaf
-para pedahulu kita dalam Islam dari kalangan sahabat Rasulullah dan para
pengikutnya, yang disebut juga dengan ahlussunnah wal jama’ah- dalam memahami
nama dan sifat Allah. Hal ini ditujukan agar kita memahami dengan kaidah yang
shahih, karena para sahabat nabi adalah generasi yang langsung ditarbiyah oleh
Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga yang paling mendekati
kebenaran.
Adapun kaidah ahlussunnah wal jama’ah tentang nama dan
sifat Allah yang harus kita yakini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Diantara iman kepada Allah adalah mengimani
segala yang Allah sifatkan tentang diri-Nya di dalam kitab-Nya (al-Qur’an -pen)
dan apa yang Rasul sifatkan tentang Allah (al-Hadist -pen) tanpa tahrif
(dirubah), ta’thil (ditiadakan), takyif (dibagaimanakan), dan tamtsil
(diserupakan dengan makhluk). Tetapi mereka beriman bahwasanya Allah Subahanahu
wa Ta’ala,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. asy-Syura: 11) [1]
Mengapa
kita harus memahami nama dan sifat Allah melalui kitab dan sunnah? Jawabannya masih
dalam perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Karena Allah Subhanahu adalah Dzat
yang paling mengetahui tentang diri-Nya bukan selain-Nya, yang paling benar
perkataan-Nya, dan yang paling baik ucapan-Nya. Adapun Rasulullah adalah
manusia yang paling jujur perkataannya.” [2]
Makna
Kedekatan dan Kebersamaan Allah
Makna
kedekatan Allah dengan hamba-Nya adalah Allah Subhanahu Maha dekat dengan
orang-orang yang berdo’a dan yang bermunajat kepada-Nya, Maha Mendengar do’a
dan bisik-bisik hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan do’a para hamba-Nya kapan
saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki, maka Allah Maha dekat dengan
ilmu-Nya dan pengawasan-Nya. [3]
Sebagaimana
terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.“ (QS. al-Baqarah: 186)
Sedangkan
makna kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai
dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua
makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya,
pendengaran-Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang
merupakan makna Rububiyah-Nya. [4]
Makna
tersebut adalah makna yang dijelaskan oleh para Imam ahli tafsir dari kalangan
ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan firman Allah,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ،
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ
السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’
(tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4)
Diantara
yang menafsirkan adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah:
“Dia maha
mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di
manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di
dalam rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua
mahluk-Nya secara menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia
mendengar (semua) ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia
mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan.” [5]
Pembagian
Ma’iyyah Allah
Para ulama
membagi ma’iyyah menjadi 2, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah:
Ma’iyyah
‘Ammah (Ma’iyyah Umum)
Adalah
kebersamaan Allah dengan seluruh hamba-Nya dalam pengawasan dan
penglihatan-Nya, mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya baik perbuatan yang
baik atau buruk, dan Dzat yang membalas semua perbuatan mereka.
Ma’iyyah
Khoshshoh (Ma’iyyah Khusus)
Adalah
kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang beriman saja, yaitu dengan
pertolongan-Nya dan penjagaan-Nya. [6]
Lalu,
Dimanakah Allah?
Setelah
kita mengetahui bahwasanya Allah itu Maha dekat dan bersama dengan hamba-Nya,
mungkin ada diantara kita yang bertanya, “Lalu, dimanakah Allah? Jika dia dekat
dan bersama hamba-Nya berarti Allah berada di sekitar kita? Berarti Allah ada
dimana-mana?”.
Tentu saja
ini pernyataan yang salah saudariku, karena Allah tetap beristiwa’ di atas
‘Arsy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Telah
disebutkan perkara iman kepada Allah (dalam nama dan sifat-Nya -pen) adalah
beriman kepada semua yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya, hadist mutawatir dari
Rasul-Nya, dan kesepakatan (ijma’) ulama salaf. Diantara perkara tersebut
adalah Allah Subhanahu berada di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas para
makhluk-Nya, Dan Allah Subhanahu bersama dengan mereka dimanapun mereka berada,
Mengetahui apa saja yang mereka kerjakan. Sebagaimana Allah menggabungkan
sifat-sifat tersebut dalam firman-Nya,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا
يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا
يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’
(tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadid: 4) [7]
‘Abdullah
ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhhuma, yang merupakan ulama tafsir dari kalangan
sahabat radhiyallahu ‘anhhum , menafsirkan kalimat “Dan Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada” dalam QS. al-Hadid ayat 4 di atas:
[وَهُوَ
مَعَكُمْ]
“Dia (Allah) Mengetahui kalian,
[أَيْنَ
مَا كُنتُمْ]
baik di darat maupun di lautan.” [8]
Adapun kata
ma’a tidak harus bersatu di dalam satu tempat, adanya percampuran dan saling
bersentuhan. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menuliskan
bantahan dari syubhat ini:
Tidak
terdapat dalam kaidah bahasa Arab bahwa kata ma’a harus bersatu dalam satu
tempat, adanya percampuran, dan saling bersetuhan.
Menyelisihi
ijma’ salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Menyelisihi
fitrah manusia bahwasanya Allah Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya..
Menyelisihi
al-Qur’an dan al-Hadist bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. [9]
Disebutkan
sebelumnya, bahwa Allah Maha dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Maknanya Allah
Maha mendengar dan mengabulkan do’a hamba-Nya, serta bersama seluruh hamba-Nya
dengan ilmu-Nya, dan keduanya tidak menafikan istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy.
Maka sudah sepantasnya kita berhenti pada perkataan ini saja, tanpa mengubah
maknanya sebagaimana sikap para sahabat dan ulama salaf.
Renungan
Bagi Kita Semua
Saudariku
yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, kita telah bersama-sama mengetahui
makna dari kedua sifat Allah di atas. Kita tahu bahwa Allah bersama kita dengan
pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, dan
kekuasaan-Nya. Akan tetapi mengapa dengan mudahnya kita bermaksiat kepada Dzat
yang melihat gerak-gerik kita? Tidakkah kita takut dengan adzab Allah yaitu
neraka menyala-nyala yang panasnya 70 kali lipat panasnya api dunia?
Kita tahu
bahwa Allah Maha dekat dengan mendengar dan mengabulkan do’a para hamba-Nya,
akan tetapi mengapa kita masih saja enggan berdo’a? Padahal seorang hamba
sangatlah butuh kepada Rabbnya. Untuk itu marilah kita kembali berbenah
saudariku, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di
kerongkongan. Semoga tulisan ini bermanfaat terkhusus untuk penulis dan dapat
mengingatkan kita semua akan kebesaran dan kekuasaan Allah.
Wallahu
a’lam.
***
Penulis: Ummu Uwais Bondan Asrini Ariefah
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
[1] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[2] Idem.
[3] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 197, Muhammad
Khalil Kharras.
[4] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 401, Syaikh
Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin.
[5] Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah.
[6] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 79, Syaikh Sholih
bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
[7] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[8] Tafsir Ibnu Abbas, Maktabah Syamilah.
[9] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 115, Syaikh
Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan
Artikel muslimah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar