KEUTAMAAN MENJAGA
IBDAH SUNNAH
Ibadah sunnah memiliki keutamaan yang sangat besar,
sehingga tidak selayaknya seorang muslim bermudah-mudah dalam meninggalkannya.
Berikut ini beberapa keutamaan ibadah sunnah dalam syariat.
Menyempurnakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah wajib
Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam pelaksanaan ibadah
wajib, kita masih memiliki banyak kekurangan. Shalat wajib kita yang kurang
khusyu’, atau puasa Ramadhan kita yang kurang sempurna. Di sinilah fungsi
ibadah sunnah, yaitu menyempurnakan atau menambal kekurangan yang terdapat
dalam ibadah wajib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ،
فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ
وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ
وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا
انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
“Sesungguhnya
perkara pertama kali yang dihisab pada hari kiamat dari amal seorang hamba
adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat.
Jika shalatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi. Jika terdapat suatu
kekurangan pada shalat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah
hamba-Ku memiliki ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang
kurang?” Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (HR. Tirmidzi
no. 413, An-Nasa’i no. 466, shahih)
Dalam
riwayat Ahmad dengan lafadz,
إِنَّ مِنْ أَوَّلَ مَا
يُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، قَالَ: يَقُولُ
رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ
عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ
تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ
لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا
لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى
ذَاكُمْ
“Sesungguhnya
perkara pertama kali yang dihisab pada hari kiamat dari amal manusia adalah
shalat.” Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat, dan
Allah lebih mengetahui, “Periksalah shalat hamba-Ku, apakah sempurna atau ada
kekurangan?” Jika shalatnya sempurna, maka dicatat sempurna untuknya. Jika
terdapat suatu kekurangan, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku
memiliki ibadah sunnah?” Jika seorang hamba memiliki amal ibadah sunnah, Allah
Ta’ala berfirman, “Sempurnakanlah ibadah wajibnya dengan ibadah sunnahnya.”
Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (HR. Ahmad no. 9494)
Mendatangkan
kecintaan dari Allah Ta’ala sehingga menjadi wali atau kekasih-Nya yang pilihan
Seorang
hamba yang ingin menjadi kekasih pilihan Allah, hendaklah dia mendekatkan diri
kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah, di samping melaksanakan ibadah yang
bersifat wajib. Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang wali Allah,
إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ
عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي
يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي
بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Allah
Ta’ala berfirman, “Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, maka aku mengumumkan
perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih Aku cintai dibandingkan amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan
tidaklah hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal
sunnah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi
pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatan yang dia
gunakan untuk melihat; menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang; dan
menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh
akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku
lindungi. “ (HR. Bukhari no. 6502)
Berdasarkan
hadits di atas, terdapat dua tingkatan wali atau kekasih Allah Ta’ala.
Tingkatan
pertama, yaitu al-muqtashiduun (pertengahan) atau ash-haabul yamiin (golongan
kanan). Mereka bersikap sederhana (pertengahan) dalam amal, yaitu dengan
melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, namun terkadang
mengerjakan yang makruh dan meninggalkan amal sunnah.
Tingkatan
ke dua, yaitu as-saabiquun al-muqarrabuun (orang yang bersegera dalam kebaikan
dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala). Mereka berlomba-lomba dan bersegera
berbuat kebaikan, yaitu dengan melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang
haram, senantiasa berusaha mengerjakan amal sunnah, dan juga meninggalkan
perkara makruh. Inilah derajat atau tingkatan kewalian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkatan pertama. [1]
Menjaga
amal ibadah wajib dengan menjaga pelaksanaan ibadah sunnah
Seseorang
yang bermudah-mudah untuk mengerjakan perbuatan yang hukumnya makruh, akan
lebih mudah untuk terjerumus ke dalam perbuatan haram. Diriwayatkan dari
sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ،
وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ،
وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي
يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِي
الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ،
فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya
perkara yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya,
terdapat perkara yang samar (syubhat), yang kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Siapa saja yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, dia telah
membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa saja yang terjerumus dalam
perkara syubhat, dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram. Seperti
seorang penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, maka lambat
laun dia akan masuk ke dalam tanah larangan tersebut. Ketahuilah bahwa setiap
raja itu memiliki tanah larangan. Dan ketahuilah bahwa tanah larangan Allah
adalah perkara-perkara yang Allah haramkan. Ingatlah bahwa di dalam tubuh
manusia ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, maka menjadi baiklah
seluruh tubuhnya. Dan jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya.” (HR.
Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599)
Dalam
hadits di atas, seseorang yang gemar mendekati hal-hal yang Allah Ta’ala
haramkan (belum sampai mengerjakannya), cepat atau lambat dia akan terjerumus
ke dalamnya. Demikian pula sebaliknya. Seseorang yang bermudah-mudah untuk
meninggalkan amal sunnah dan menjauh dari amal sunnah, cepat atau lambat dia
akan mudah meninggalkan amal yang wajib.
Semoga
Allah Ta’ala memudahkan kita untuk memperhatikan amal ibadah sunnah, setelah
menyempurnakan ibadah yang bersifat wajib.
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Silakan dilihat pembahasannya di sini: Keutamaan Wali
Allah Ta’ala
0 komentar:
Posting Komentar