Keringanan Ketika
Turun Hujan: Diperbolehkan Menjamak Shalat
Di saat hujan, boleh menjamak shalat. Bagaimana
aturannya?
Menjama’ shalat berarti menggabungkan dua shalat di salah
satu waktu. Menjama’ shalat ini berlaku
pada shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’. Menjama’ shalat ini boleh
dilakukan di waktu shalat yang pertama dan disebut jama’ taqdim. Atau boleh
pula dilakukan di waktu shalat yang kedua dan disebut jama’ takhir.
Adapun sebab diperbolehkannya safar bisa karena keadaan
safar dan keadaan mukim (tidak bersafar). Di antara sebab menjama’ yang
diperbolehkan ketika keadaan mukim adalah karena hujan yang menyulitkan.
Dalil yang Membolehkan Jama’ Ketika Hujan
[Dalil Pertama]
Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta
Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena
hujan.”
Dalam
riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu
’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam
riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’
shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.”[1]
Syaikh Al
Albani mengatakan, ”Perkataan Ibnu ’Abbas ”bukan karena keadaan takut dan bukan
pula karena hujan”, ini pertanda bahwa menjama’ shalat ketika hujan sudah
dikenal di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Seandainya bukan demikian,
lantas apa faedahnya udzur hujan ditiadakan dalam perkataan beliau tersebut
sebagaimana udzur-udzur menjama’ shalat lainnya. Renungkanlah!”[2]
[Dalil
Kedua]
Dari Abu Az
Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
”Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta
Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[3]
Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam
Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”
Al Baihaqi
mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan
Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjama’)
bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena safar. Akan tetapi dalam
riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut
jama’ tersebut dilakukan di Madinah.” [4] Artinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.
[Dalil
Ketiga]
Imam Malik
dalam Al Muwatho’ mengatakan dari Nafi’,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ
إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاء ِفِي المَطَرِ جَمَعَ
مَعَهُمْ
”Apabila
para amir (imam shalat) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, Ibnu
’Umar ikut menjama’ shalat bersama mereka.”[5] Ini berarti Ibnu ’Umar
menyetujui perbuatan menjama’ shalat ketika hujan.
[Dalil
Keempat]
Hisam bin
Urwah mengatakan bahwa:
أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ
وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ
الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ
بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا
بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
”Sesungguhnya
ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al
Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan
Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak
mengingkari hal tersebut.”[6]
[Dalil
Kelima]
Dari Musa
bin Uqbah,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ
العَزِيْزِ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ الآخِرَةِ إِذَا كَانَ
المَطَرُ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنَ المُسَيِّبِ وَعُرْوَةَ ابْنَ الزُبَيْرِ وَأبَا
بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَشَيْخَةَ ذَلِكَ الزَمَانِ كَانُوْا
يُصَلُّوْنَ مَعَهُمْ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
”Sesungguhnya
Umar bin Abdul Aziz biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan. Dan
Sa’id bin Al Musayyib, ’Urwah bin Az Zubair, Abu Bakr bin Abdur Rahman, dan
para ulama ketika itu, mereka shalat bersama para amir (baca: imam shalat) dan
mereka tidak mengingkarinya.”[7]
Syaikh Al
Albani mengatakan, ”Dua dalil di atas menunjukkan bahwa menjama’ shalat karena
hujan sudah sering dilakukan di tengah-tengah para salaf.”[8]
Hanya Boleh
Menjama’ Shalat, Tanpa Mengqoshor
Yang
dimaksud mengqoshor shalat adalah meringkas shalat yang jumlahnya empat raka’at
(shalat Zhuhur, ’Ashar, dan ’Isya) menjadi dua raka’at.
Perlu
diperhatikan di sini, bahwa menjama’ shalat ketika hujan adalah hanya
menggabungkan dua shalat saja di salah satu waktu, tanpa mengqoshornya. Karena
perlu dipahami bahwa menjama’ shalat tidak selamanya digabungkan dengan qoshor.
Boleh melakukan jama’ saja tanpa qoshor seperti ketika hujan. Sedangkan ketika
safar, boleh menqoshor shalat saja tanpa menjama’.
Syaikh
’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh
mengqoshor shalat dalam keadaan hujan, yang dibolehkan adalah hanya menjama’
saja kalau kondisinya adalah mukim (bukan bersafar). Mengqoshor shalat
merupakan hanya keringanan ketika bersafar. Wallahu waliyyut taufiq.”[9]
Jama’
Ketika Hujan Dilakukan dengan Imam di Masjid, Bukan di Rumah
Jama’
ketika hujan ini hanya boleh dilakukan di masjid bersama imam masjid. Karena
ketika di masjid barulah ada kesulitan. Sedangkan jika seseorang berinisiatif
shalat di rumah ketika hujan, maka ia tidak mendapat kesulitan sama sekali.
Dalam
Fatawal Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) no. 4554 terdapat
pertanyaan,
س: ما حكم الجمع في البيت في
أيام المطر أو أيام البرد إذا كنا جماعة؟ والذي نعرفه أن الجمع في المسجد وليس في
البيت، أفيدونا.
”Apa hukum
menjama’ shalat di rumah ketika hujan atau cuaca dingin apabila kami adalah
jama’ah? Yang kami ketahui bahwa jama’ hanya di masjid bukan di rumah.”
Jawab:
ج: المشروع أن يجمع أهل
المسجد إذا وجد مسوغ للجمع، كالمطر، كسبا لثواب الجماعة، ورفقا بالناس، وبهذا جاءت
الأحاديث الصحيحة. أما جمع جماعة في بيت واحد من أجل العذر المذكور فلا يجوز؛ لعدم
وروده في الشرع المطهر، وعدم وجود العذر المسبب للجمع.
”Yang
dibolehkan adalah para jama’ah masjid menjama’ apabila mendapatkan sesuatu yang
membolehkan untuk menjama’ (seperti hujan, pen) untuk memperoleh pahala shalat
berjama’ah dan untuk memberi kemudahan bagi banyak orang. Hal ini dibolehkan
berdasarkan hadits yang shohih. Adapun menjama’ dengan berjama’ah di suatu
rumah karena ada udzur yang telah disebutkan maka seperti itu tidak diperbolehkan.
Karena tidak adanya dalil dalam syari’at yang suci ini dan tidak adanya udzur
yang menyebabkan boleh untuk menjama’ shalat. Wa billahit taufiq wa shollallahu
’ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.”
Fatwa ini
ditandatangani oleh ’Abdullah bin Qu’ud dan ’Abdullah bin Ghodyan sebagai
anggota, ’Abdur Rozaq ’Afifi sebagai Wakil Ketua, dan ’Abdul ’Aziz bin Baz
sebagai Ketua.[10]
Bagaimana
Jika Sudah Menjama’ Lalu Hujan Reda?
Apabila
shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu hilang udzur
(sebab untuk menjama’) seperti shalat ketika hujan kemudian hujan tersebut
reda, maka shalatnya tetap sah. Shalat yang telah dijama’ tadi tetap sah dan
tidak perlu diulangi. Karena jika shalat yang dijama’ telah selesai ditunaikan
dan udzur melakukan jama’ masih ada, maka shalatnya diterima. Dan tidak mengapa
apabila udzur sudah tidak ada lagi.[11]
Bolehkah
Menjama’ Shalat Zhuhur dan Ashar Karena
Hujan?
Hal ini
terdapat perselisihan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya menjama’ shalat
Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ bagi orang mukim (tidak bersafar)
ketika hujan. Kecuali Imam Malik, ia hanya membolehkan menjama’ shalat ketika
hujan untuk shalat Maghrib dan Isya’ (shalat yang dikerjakan di malam hari)
saja, sedangkan shalat Zhuhur dan Ashar tidak dijama’.[12]
Lalu
manakah pendapat yang kuat? Yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama
yang membolehkan jama’ untuk shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya
ketika hujan. Dalilnya, dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbas, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah
mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan
dalam keadaan takut maupun safar.”[13] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair
adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka
bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”
Berikut
penjelasan tambahan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsamin:
Jika ada
yang mengatakan, ”Apa dalil yang mengkhususkan menjama’ shalat Maghrib-Isya
ketika angin kencang, hujan, atau jalan yang licin?”
Beliau
rahimahullah lalu mengatakan, ”Dalil yang digunakan oleh ulama yang
mengkhususkan jama’ ketika hujan pada shalat Maghrib dan ’Isya saja adalah
hadits,
أَنَّ الرَّسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
جَمَعَ بَيْنَ العِشَائَيْنِ فِي لَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ “
”Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan di
waktu malam.” Namun hadits ini perlu ditinjau lagi. Hadits ini adalah riwayat
An Najad dan bukan riwayat Bukhari.[14]
Lalu Syaikh
Ibnu ’Utsaimin mengatakan, ”Walaupun dalam hadits itu dikatakan bahwa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam menjama’ shalat ketika hujan di malam hari (pada
saat Maghrib dan Isya’, pen), bukan berarti ini adalah larangan untuk menjama’
shalat di siang hari ketika hujan (pada saat Zhuhur dan Ashar, pen). Karena
illah (sebab) dari dilakukan jama’ ketika hujan adalah adanya kesulitan. Maka
pendapat yang benar dari permasalahan ini adalah: bolehnya menjama’ shalat
Zhuhur dan Ashar karena sama-sama termasuk udzur (alasan), sebagaimana pula
boleh menjama’ shalat Maghrib dan Isya’. Dan illahnya (sebabnya) adalah karena
terdapat kesulitan. Maka apabila didapatkan kesulitan baik di malam atau siang
hari maka diperbolehkan menjama’ shalat ketika itu.”[15]
Jama’
Shalat Ketika Hujan Haruskah Jama’ Taqdim atau Jama’ Ta’khir ?
Dalam
Syarhul Mumthi’ 2/285 dikatakan bahwa apabila seseorang ingin menjama’ maka
boleh baginya memilih jama’ taqdim (dikerjakan pada waktu shalat pertama) atau
jama’ takhir (dikerjakan pada waktu shalat kedua), tergantung mana yang
dianggap paling mudah. Kalau jama’ takhir itu lebih mudah maka shalat jama’nya
dilakukan pada waktu shalat kedua. Kalau jama’ taqdim itu lebih mudah maka
shalat jama’nya dilakukan pada waktu shalat pertama.
Dalilnya
adalah sebagai berikut :
Pertama,
firman Allah Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al
Baqarah: 185)
Kedua, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
”Sesungguhnya
agama itu mudah.”[16]
Ketiga,
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari bergeser ke
barat, beliau mengerjakan shalat Zhuhur pada waktu Ashar. Apabila matahari
bergeser ke barat beliau shalat Zhuhur dan Ashar (dengan jama’ di waktu
Zhuhur), lalu beliau berangkat.
Keempat,
Jama’ adalah syari’at untuk mempermudah hamba. Maka apa yang paling mudah
itulah yang paling afdhol (utama).
Kemudian
Syaikh Al Utsamin dalam kitab ini mengatakan,”Jika menjama’ ketika hujan,
manakah yang lebih utama, dengan jama’ taqdim ataukah takhir?”
Syaikh
mengatakan,”Yang paling afdhol adalah jama’ taqdim karena itulah yang paling
mudah bagi manusia ketika itu. Oleh karena itu, banyak orang yang menjama’
shalat ketika hujan dengan jama’ taqdim.”
Bolehkah
Menjama’ Shalat Jum’at dan Ashar ?
Sebagian
ulama memang tidak membolehkan hal ini, sebagaimana pendapat Syaikh Ibnu Baz,
yang pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (komisi Fatwa di Saudi
Arabia).[17]
Namun yang
lebih tepat adalah hal ini dibolehkan. Karena shalat Zhuhur dan shalat Jum’at
statusnya sama. Jika ada udzur hujan, maka dibolehkan untuk menjama’.
Dalam
Kifayatul Akhyar, kitab fiqh bermazhab Syafii disebutkan, ”Sebagaimana
dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar karena hujan, juga dibolehkan
menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar”.[18]
Ukuran
Hujan yang Memperbolehkan Jama’
Dalam Al
Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah
hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika
harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik
dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.”[19]
Dalam
Kifayatul Akhyar disebutkan, ”Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk
menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib
dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang
berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan
Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini
disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu
berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian
persyaratannya menurut Ar Rafii dan An Nawawi.
Namun yang
benar meski hujan tidak terlalu deras asalkan membasahi pakaian.
Sedangkan
Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah
sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab
At Tatimmah.[20]
Jika Masih
Terlihat Mendung, Bolehkah Menjama’ Shalat?
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ”Apabila langit
mendung namun hujan belum turun, jalan-jalan juga tidak berlumpur, akan tetapi
hujan diperkirakan akan terjadi, bolehkah menjama’ shalat?”
Syaikh
rahimahullah menjawab, ”Tidak boleh menjama’ shalat dalam kondisi seperti itu
karena sesuatu yang hanya perkiraan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi.
Dan betapa banyak perkiraan manusia akan terjadi hujan dengan semakin tebalnya
awan, ternyata awan menghilang dan hujan pun tidak turun sama sekali.”[21]
Perhatian:
Tidak Boleh Bermudah-mudahan dalam Menjama’ Shalat Ketika Hujan
Dalam
khutbah Jum’at pada tanggal 13/7/1412 H, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
-semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,
”Tidak
boleh seorang muslim mengerjakan shalat sebelum waktunya berdasarkan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin. Barangsiapa yang melakukan demikian dengan
sengaja, maka dia telah berdosa dan shalatnya tidak sah. Barangsiapa yang
melakukan demikian karena tidak tahu (jahil), maka dia tidak berdosa. Akan
tetapi, ia harus mengulangi shalatnya karena shalat yang ia lakukan sebelum
waktunya hanya termasuk shalat nafilah (sunnah) saja.
Termasuk
mengerjakan shalat sebelum waktunya adalah menjama’ shalat Ashar di waktu
Zhuhur atau shalat Isya di waktu Maghrib tanpa udzur (alasan) syar’i yang
memperbolehkan untuk menjama’ shalat. Perbuatan seperti ini termasuk melanggar
aturan Allah dan menentang hukum-Nya karena hal ini berarti telah meremehkan
perkara yang wajib yang merupakan bagian dari rukun Islam. Perbuatan semacam
ini termasuk dosa besar. Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ’anhu telah
menyatakan,
ثَلَاثٌ مِنَ الكَبَائِرِ:
الجَمْعُ بَيْنَ صَلَّاتَيْنِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ، وَالنَّهْبِ، وَالفِرَارِ مِنَ
الزَحْفِ
”Tiga
perkara yang termasuk dosa besar : [1] Menjama’ dua shalat tanpa ada udzur
(alasan), [2] Merampok, dan [3] Lari dari pertempuran.” … Dan sebagian orang menganggap remeh masalah
ini, mereka malah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan
Isya tanpa ada udzur sama sekali.
Imam Muslim
berkata dalam kitab shohihnya (dari Ibnu Abbas, pen), ”Sesungguhnya Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib
dan Isya di Madinah bukan karena hujan atau bukan dalam keadaan takut.” Lalu
ada yang mengatakan (pada Ibnu Abbas, pen), ”Apa yang Rasulullah inginkan dari
hal ini?” Beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak ingin
menyulitkan umatnya.” Jika kita betul-betul memperhatikan hadits ini akan jelas
bahwa apabila hanya sekedar hujan, maka itu bukan merupakan alasan untuk
menjama’ shalat, bahkan ini tidak termasuk udzur (alasan) sampai seseorang
mendapatkan kesulitan bila tidak menjama’.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan mengenai hadits Ibnu Abbas tadi, ”Jama’ yang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan adalah untuk menghilangkan
kesulitan dari umatnya. Jama’ diperbolehkan apabila ketika tidak menjama’ akan
mendapatkan kesulitan. Padahal Allah ingin menghilangkan kesulitan dari
umat-Nya.” Berdasarkan penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma dan perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, maka jelaslah bahwa tidak boleh seseorang
menjama’ shalat hingga mendapatkan kesulitan kalau tidak menjama’nya.”
Dalam
lanjutan khutbah di atas, Syaikh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Dan
telah dijelaskan oleh para ulama rahimahullah bahwa hujan yang membolehkan
seseorang menjama’ dan meninggalkan shalat jama’ah adalah hujan yang
menimbulkan kesulitan. Dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni,
2/375,”Hujan yang dibolehkan seseorang menjama’ shalat adalah yang membasahi
pakaian dan menimbulkan kesulitan ketika keluar pada saat hujan. Adapun hujan
gerimis (rintik-rintik) yang tidak membasahi pakaian maka tidak dibolehkan
untuk menjama’ shalat. Adapun semata-mata jalan yang berlumpur (karena
sebelumnya telah turun hujan), maka terdapat perselisihan dalam ulama mazhab
(Hambali) dan di antara murid-murid Imam Ahmad, apakah termasuk alasan yang
bisa dibenarkan untuk menjama’ shalat ataukah bukan? Yang benar kondisi seperti
ini termasuk alasan yang dibenarkan ketika memang menimbulkan kesulitan.”[22]
Bersambung
insya Allah pada pembahasan Keringanan Menjama’ Shalat Ketika Mukim.
Kami harap
pembaca dapat membaca pula tiga artikel sebelumnya:
1. Beberapa
amalan ketika turun hujan.
2. Fenomena
Kilatan Petir dan Geledek.
3.
Keringanan Ketika Hujan: Dibolehkan Meninggalkan Shalat Jama’ah.
Penulis Muhammad Abduh Tuasikal
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Yuk mainkan permainan POKER No ROBOT 100% silahkan langsung saja merapat dan bermain POKER bersama kami di ARENADOMINO ditunggu ya gan.. :) WA +855 96 4967353
Posting Komentar