Tiga Kondisi yang
Menuntut Kesabaran
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga
shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan
sahabatnya. Wa ba’du.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kondisi seorang mukmin begitu mengagumkan. Semua
kondisinya merupakan kebaikan, dan tidak akan ditemukan hal semacam ini kecuali
pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, dan kondisi
ini adalah kebaikan untuknya dan jika ia ditimpa keburukan ia bersabar dan
kondisi ini juga kebaikan untuknya.” (HR. Mulim No. 2999)
Kondisi seorang mukmin senantiasa baik, karena ia
diliputi oleh dua keadaan, yaitu ia bersabar terhadap hal yang ia benci dan
bersyukur dengan hal yang ia sukai. Sebagian salaf mengatakan,
اَلْإِيْمَانُ
نِصْفَانِ نِصْف صَبْر، وَنِصْف شُكْر
“Iman
terdiri dari 2 bagian, sebagiannya adalah sabar dan sebagian yang lain adalah
syukur.” (Qaa’idah fi Ash-Shab, hal. 2)
Seorang
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah hendaknya melazimkan kesabaran dalam
tiga kondisi:
Pertama,
bersabar di atas ketaatan hingga ia melaksanakannya.
Melaksanakan
ketaatan butuh kesabaran, karena umumnya raga ingin bermanja-manja dan hawa
nafsu mendorong untuk melakukan perbuatan sia-sia.
Allah
Ta’ala berfirman.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ
بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan
perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132)
Bersabarlah
dalam ketaatan, niscaya Allah akan tumbuhkan nikmat iman dengan sebab
kesabaran. Jika nikmat dalam melaksanakan perintah Allah telah diraih, maka
ketaatan tidak lagi menjadi beban atau penggugur kewajiban, tapi ketaatan akan
menjadi kebutuhan dan sumber kebahagiaan bagi seorang hamba. Sebagaimana
seseorang yang melaksanakan shalat untuk menggugurkan kewajibannya, bisa jadi
ia merasa berat di awal, tapi jika ia jujur dalam niatnya untuk mendekatkan
diri kepada Allah, maka Allah akan tumbuhkan iman dalam dirinya, sehingga
shalat akan menjadi kebutuhan dan sebab kebahagiaannya. Demikianlah aqidah islam,
iman akan meningkat dengan sebab ketaatan yang bertambah.
Kedua,
bersabar untuk meninggalkan larangan.
Sebagian
orang mengira bahwa meninggalkan larangan lebih mudah dari melaksanakan
perintah, karena melakukan sesuatu butuh usaha lebih besar daripada
meninggalkan sesuatu. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Setan senantiasa
menghiasi larangan dengan keindahan dan perkara yang disukai hawa nafsu.
Sebagian
salaf mengatakan,
أَعْمَالُ الْبِرِّ
يَفْعَلُهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِ الْمَعَاصِى
إِلَّا صَدِّيْقٌ
“Amal
kebaikan bisa dilakukan oleh orang yang baik maupun fajir (jahat), namun hanya
orang jujur yang mampu meninggalkan maksiat.” (Qaa’idah fi Ash-Shabr, hal. 3)
Di antara
contoh kesabaran dalam meninggalkan larangan adalah kisah Nabi Yusuf
‘‘alaihissalam yang memilih tidak berzina karena ketaqwaannya kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman tentang perkataan nabi Yusuf ‘alaihissalam
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي
كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Yusuf
berkata, ‘Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku. Dan jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku
termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)
Ketiga,
bersabar dalam menghadapi takdir Allah.
Takdir
Allah ada yang disukai adapula yang tidak disukai. Sedangkan orang yang beriman
dalam menyikapi takdir Allah tidak lepas dari dua perkara, yaitu syukur dengan
takdir yang ia sukai dan sabar menerima dan menghadapi takdir yang tidak
menyenangkan baginya seperti sakit, musibah kehilangan anggota keluarga dan
harta benda atau buruknya sikap manusia kepadanya.
Tidaklah
Allah menghendaki suatu musibah atau kesempitan menimpa seorang hamba kecuali
ada hikmah kebaikan untuk dirinya, dan Allah lebih mengetahui kebaikan untuk
hamba-Nya daripada dirinya sendiri.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi bisa jadi
engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu
tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Realisasi
bersabar dengan takdir Allah adalah dengan :
1. Menjaga
lisan dari mengumpat dan mengeluh
2. Tidak
melakukan hal-hal yang menunjukan penentangan terhadap ketetapan Allah
subhanahu wata’ala atas dirinya, seperti : memukul-mukul wajah, merobek-robek
baju dan yang semisalnya.
Hendaknya
seseorang yang ditimpa musibah bersabar dan menghibur dirinya dengan janji
Allah berupa pahala tanpa batas. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya
orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS.
Az-Zumar: 10)
Semoga kita
termasuk orang-orang yang Allah teguhkan di atas kesabaran, baik untuk
menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan menerima setiap takdir yang
telah Allah tetapkan.
Wallaahu
a’lam
Referensi:
Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah, Qaa’idah fi Ash-Shabr,
Daarul Qaasim
Terjemahan Al-Qur’an Al-Kariim
Penulis : Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar