BERSYUKUR SAAT MENDAPAT KESENANGAN DAN SABAR SAAT MENDAPAT COBAAN
Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan
Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ
إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ
لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang
Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki
oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan
ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia
bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh
Imam Muslim, no. 2999 (64); Ahmad, VI/16; Ad-Darimi, II/318 dan Ibnu Hibban
(no. 2885, at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân).
KOSA KATA HADITS
1.
عَجَبًا
: Menakjubkan sekali. Setiap manusia akan kagum atau heran jika melihat sesuatu
yang luar biasa dan tidak masuk akal.
2.
السَّرَّاءُ
: Kegembiraan, yaitu sesuatu yang menyenangkan dirinya.
3.
الضَّرَّاءُ
: Kesusahan, yaitu sesuatu yang membahayakan atau menimpa badannya. Termasuk
juga (segala sesuatu yang buruk) yang berkenaan (menimpa) keluarga, anak, dan
hartanya.[1]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ
إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ
Sungguh menakjubkan urusan seorang
Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak
dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak
menetapkan sesuatu, baik itu taqdir kauni atau syar’i, melainkan di dalamnya
terkandung kebaikan dan rahmat bagi para hamba-Nya. Di dalam cobaan, ujian,
musibah, petaka, kesulitan, kefakiran, penyakit, dan kematian, semua ini
terkandung hikmah yang amat besar yang tidak mungkin bisa dinalar oleh akal
manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Andai kata kita bisa menggali hikmah Allâh Azza wa Jalla yang terkandung dalam
ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun, akal kita
sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan
sia-sia (tidak ada artinya) jika dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla,
sebagaimana sinar lampu yang sia-sia (tidak ada artinya) di bawah sinar
matahari. Dan ini pun hanya gambaran saja, yang sebenarnya tentu lebih dari
sekedar gambaran ini.”[2]
Berbagai cobaan, ujian, penderitaan,
penyakit, kesulitan, dan kesengsaraan mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat
banyak.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ
Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur
dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan
itu pun suatu kebaikan baginya
Allâh Azza wa Jalla menciptakan
makhluk-Nya untuk memberikan cobaan dan ujian, lalu Dia menuntut konsekuensi
dari kesenangan, yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan, yaitu sabar.
Jika seseorang benar-benar beriman,
maka segala urusannya merupakan kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia
bersyukur dan ketika susah, ia bersabar.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman!
Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allâh supaya kamu beruntung. [Ali
‘Imran/3:200][3]
Orang-orang yang sabar lagi bersyukur
kepada Allâh Azza wa Jalla , Dia Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya petunjuk
di dunia dan di akhirat.
Menurut para Ulama, “Iman itu ada dua
bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.” Para Ulama
salaf berkata, “Sabar adalah sebagian dari iman.” Allâh Subhanahu wa Ta’ala
mengumpulkan sabar dan syukur dalam al-Qur’an, yaitu dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ
لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Sungguh, pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi orang yang selalu bersabar dan
banyak bersyukur. [Asy-Syûrâ/42:33[4]
Iman dibangun atas dua rukun, yaitu
yakin dan sabar. Dua rukun ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ
أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا
يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka
sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. [As-Sajdah/32:24]
Dengan keyakinan, seseorang akan tahu
hakikat perintah dan larangan, ganjaran dan siksaan. Dan dengan kesabaran ia
bisa melaksanakan perintah-Nya dan menahan diri dari semua larangan-Nya.[5]
Sabar dibagi menjadi tiga macam:
1.
Sabar
dalam melaksanakan perintah dan ketaatan.
2.
Sabar
dalam menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
3.
Sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian yang pahit.[6]
Syukur adalah pangkal iman, dan
dibangun di atas tiga rukun:
1.
Pengakuan
hati bahwa semua nikmat Allâh yang dikaruniakan kepadanya dan kepada orang
lain, pada hakekatnya semua dari Allâh Azza wa Jalla .
2.
Menampakkan
nikmat tersebut dan menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat-nikmat
itu.
3.
Menggunakan
nikmat itu untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan beribadah dengan benar
hanya kepada-Nya. Wallâhu a’lam.[7]
Sabar dan syukur merupakan faktor
penyebab bagi pelakunya untuk dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allâh.
Karena iman dibangun di atas sabar dan syukur. Sesungguhnya pangkal syukur
adalah tauhid dan pangkal sabar adalah meninggalkan hawa nafsu.[8]
Banyak sekali dalil yang menunjukkan
bahwa musibah, penderitaan, penyakit serta kematian itu merupakan hal yang
lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti akan menimpa mereka, untuk mewujudkan
peribadahan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan Kami pasti akan menguji kamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. [Al-Baqarah/2:
155]
الَّذِينَ إِذَا
أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
﴿١٥٦﴾ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
(Yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn
(Sesungguhnya kami milik Allâh dan kepada-Nyalah kami kembali)’. Mereka itulah
yang memperoleh shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah/2:156-157]
Mengenai firman Allâh Azza wa Jalla :
مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ
وَالضَّرَّاءُ
Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan
…” [Al-Baqarah/2: 214],
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Cobaan itu berupa penyakit, penderitaan, musibah, dan bencana.”[9]
Cobaan dan Ujian yang Menimpa akan
Menghapus Dosa dan Kesalahan
Musibah dan penyakit yang menimpa
seorang hamba itu bisa menjadi sebab diampuninya kesalahan-kesalahan yang
pernah ia lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan (mulut), dan
dengan seluruh anggota tubuhnya. Dan terkadang penyakit itu juga merupakan
hukuman dari suatu dosa yang pernah dilakukan seseorang, sebagaimana firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ
مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan banyak
(dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy-Syûra/42:30]
Disegerakannya hukuman bagi seorang
Mukmin di dunia justru itu baik baginya sehingga dengan itu Allâh akan
menghapuskan dosa-dosanya dan ia akan berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla dalam
keadaan bersih dan selamat.
Hadits-hadits yang menjelaskan
pengampunan dosa karena adanya musibah dan penyakit sangat banyak, di
antaranya:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ
أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا
تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu
penyakit atau sejenisnya, melainkan Allâh akan menggugurkan dosa-dosanya
bersamanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ
مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ، وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ،
حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang Muslim ditimpa
keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan,
termasuk duri yang menusuknya, melainkan Allâh akan menghapus sebagian dari
kesalahan-kesalahannya.[11]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ
مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ، حَتَّى الْهَمِّ
يُهَمُّهُ، إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
Tidaklah seorang Mukmin ditimpa rasa
sakit yang terus menerus,[12] kepayahan, penyakit, dan kesedihan, bahkan sampai
kesusahan yang menyusahkannya,[13] melainkan akan dihapus dosa-dosanya
dengan sebab itu.[14]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
apa saja yang menimpa seorang Mukmin berupa kesedihan, kesusahan, penyakit atau
kematian, semuanya akan menghapuskan dosa-dosa seorang hamba.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu
anhu, ia menuturkan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Beritahukan kepadaku tentang penyakit-penyakit
yang menimpa kami ini, apa yang akan kami peroleh karenanya?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Pengampunan dosa-dosa.’ Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Sekalipun penyakit
itu sedikit?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, ‘Sekalipun
sebuah duri dan yang lebih kecil lagi …’”[15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ
بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِيْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى
اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ
Bencana akan senantiasa menimpa orang
Mukmin dan Mukminah pada dirinya, anaknya, dan hartanya sehingga ia berjumpa
dengan Allâh dalam keadaan tidak ada kesalahan pun pada dirinya.[16]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
لَيَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِالسَّقَمِ حَتَّى يُكَفِّرَ ذٰلِكَ عَنْهُ كُلَّ ذَنْبٍ
Sesungguhnya Allâh benar-benar akan
menguji hamba-Nya dengan penyakit sehingga ia menghapuskan setiap dosa
darinya.[17]
Dicatat Sebagai Kebaikan dan Derajat
Ditinggikan dengan Sebab Musibah yang Menimpa Seorang Hamba
Di antara faedah cobaan, jika
seseorang bersabar, ia akan diberi pahala dengan dituliskan kebaikan dan
diangkatnya derajat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ
مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اللّٰهُمَّ
أْجُرْ نِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا) إِلَّا أَجَرَهُ
اللهُ فِي مُصِيْبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
Tidaklah seorang hamba ditimpa suatu
musibah lalu mengucapkan: ‘Sesungguhnya kami milik Allâh dan akan kembali
kepada-Nya. Ya Allâh, berilah aku ganjaran dalam musibahku ini, dan berikanlah
ganti kepadaku dengan yang lebih baik daripadanya.’ Melainkan Allâh memberikan
pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan untuknya dengan yang lebih baik
daripadanya.[18]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ
شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا، إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ
عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ
Tidaklah seorang Muslim tertusuk duri
atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu
derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya.[19]
Bisa jadi seseorang mempunyai
kedudukan yang agung di sisi Allâh Azza wa Jalla , tetapi dia tidak mempunyai
amal yang bisa mengantarkannya kepada kedudukan tersebut. Lalu Allâh Subhanahu
wa Ta’ala mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya sehingga dia pun
layak mendapatkan kedudukan itu dan sampai kepadanya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ,
dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكُوْنُ
لَهُ عِنْدَ اللهِ الْمَنْزِلَةُ، فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَمَا يَزَالُ
اللهُ يَبْتَلِيْهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ إِيَّاهَا
Sesungguhnya seseorang benar-benar
memiliki kedudukan di sisi Allâh, namun tidak ada satu amal yang bisa
mengantarkannya ke sana. Maka Allâh senantiasa mengujinya dengan sesuatu yang
tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukannya itu.[20]
Di antara Hikmah Musibah yaitu
Merupakan Jalan Menuju Surga
Surga tidak bisa diperoleh melainkan
dengan sesuatu yang tidak disukai jiwa manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ
بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga itu dikelilingi dengan
hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi
dengan berbagai macam syahwat.[21]
Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam
hadits qudsi:
اِبْنَ آدَمَ ، إِنْ صَبَرْتَ
وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلَى ، لَمْ أَرْضَ ثَوَابًا دُوْنَ
الْجَنَّةِ
Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan
mencari ganjaran pada saat awal musibah (yang menimpa), maka Aku tidak meridhai
pahala bagimu selain surga.[22]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ
قَالَ اللهُ تَعَالَى لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُم وَلَدَ عَبْدِيْ؟
فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ،
فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ:
حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُوْلُ اللهُ: اُبْنُوْا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي
الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.
Jika anak seorang hamba meninggal
dunia, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan berkata kepada para Malaikat-Nya:
‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?’ Para Malaikat menjawab:
‘Ya, benar.’ Setelah itu, Dia bertanya lagi: ‘Apakah kalian telah mengambil
buah hatinya?’ Mereka pun menjawab: ‘Ya.’ Kemudian, Dia berkata: ‘Apa yang
dikatakan oleh hamba-Ku itu?’ Mereka menjawab: ‘Dia memanjatkan pujian
kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn).’
Allâh Azza wa Jalla berfirman: ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku sebuah rumah di
dalam Surga dan namailah dengan Baitul Hamd (rumah pujian).’”[23]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: مَا
لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِيْ جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ
الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةَ
Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Tidak
ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman,
jika Aku telah mencabut nyawa orang kesayangannya dari penduduk dunia kemudian
dia mengharapkan pahala (dengan musibah itu), kecuali surga.’[24]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ
l قَالَ: إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِيْ بِحَبِيْبَتَيْهِ،
فَصَبَرَ {وَاحْتَسَبَ} عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya, lalu dia
bersabar {dan mengharapkan pahala}, maka Aku akan menggantikan keduanya dengan
surga.’[25]
Yang dimaksud dengan (dua hal yang
dicintainya) adalah kedua matanya.
Atha’ bin Abi Rabah Radhiyallahu anhu
berkata, “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pernah berkata kepadaku, ‘Maukah
kutunjukkan kepadamu salah seorang wanita penghuni surga?’ Saya jawab, ‘Ya.’
Beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘(Yaitu) wanita yang hitam ini. Ia pernah
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Aku terkena
penyakit ayan, dan auratku selalu terbuka (jika penyakit itu kambuh), maka
berdoalah kepada Allâh untukku.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya, ‘Jika engkau mau, engkau harus bersabar dan bagimu adalah surga. Dan
jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan
kesembuhan kepadamu.’ ‘Aku bersabar,’ jawab wanita tersebut. Lalu, ia berkata
lagi: ‘Sesungguhnya aku takut auratku akan terbuka, maka berdoalah kepada Allâh
Azza wa Jalla bagiku agar auratku tidak terbuka.’ Maka, Beliau berdoa bagi
wanita itu.”[26]
Wahai saudaraku yang sedang tertimpa
musibah, nash-nash ini menunjukkan secara gamblang bahwa musibah, penyakit,
kematian dan kesedihan merupakan sebab yang bisa mengantarkan kita ke surga.
Karena itu kita wajib bersabar dan ridha atas semua musibah serta wajib
bersyukur atas semua nikmat. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memasukkan kita
semua kedalam surga dengan rahmat-Nya, amin.
FAWAA’ID HADITS
1.
Kebaikan
dan keburukan sudah ditakdirkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
2.
Wajib
beriman kepada takdir baik dan buruk.
3.
Seorang
Muslim wajib mensyukuri semua nikmat yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan
kepadanya. Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita tidak akan dapat kita
hitung.
4.
Syukur
kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
5.
Kalau
kita berpikir dengan akal yang waras dan hati yang sadar, maka kita mendapati
bahwa diri kita pada hakikatnya belum bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dengan sebenarnya.
6.
Orang
Mukmin yang sempurna keimanannya dan tulus keyakinannya akan senantiasa
bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika merasakan kegembiraan.
7.
Seorang
Mukmin harus senantiasa memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar menjadi
hamba yang selalu bersyukur kepada-Nya.
8.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu
anhu sebuah do’a yang selalu dibaca di akhir shalat yang wajib:
اَللهم أَعِنِّيْ عَلَىٰ
ذِكْرِكَ ، وَشُكْرِكَ ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
Ya Allâh,
tolonglah aku untuk dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
beribadah dengan baik kepada-Mu.[27]
9.
Seorang Mukmin wajib bersabar dalam melaksanakan ibadah kepada Allâh Subhanahu
wa Ta’ala .
10.
Hidup ini merupakan cobaan dan ujian. Maka konsekuensi dari segala macam cobaan
dan ujian adalah sabar.
11.
Orang Mukmin yang sempurna keimanannya akan senantiasa bersabar atas kesulitan,
kesedihan ,musibah, penyakit dan lainnya yang menimpanya.
12.
Sabar adalah ibadah yang sangat mulia. Seseorang meraih pahala dan surga dengan
sabar.
13.
Sabar bukan berarti pasrah, tapi sabar adalah berjuang melawan hawa nafsu untuk
melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
14.
Tingkatan ujian dan musibah yang menimpa manusia berbeda-beda tergantung kepada
kehendak Allâh Yang Maha Mengetahui, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana.
15.
Peringatan untuk selalu husnuz zhann (berprasangka baik) kepada Allâh dalam
takdir (ketentuan)-Nya yang pahit bagi kita.
16.
Terkadang seseorang tidak menyukai sesuatu padahal itu baik baginya, sebaliknya
terkadang seseorang itu menyukai sesuatu padahal itu buruk baginya.
17.
Tanda yang menunjukkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-Nya adalah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian dan cobaan (seperti musibah dan yang
lainnya) kepadanya.
18.
Penetapan adanya hikmah bagi Allâh Azza wa Jalla dalam perbuatan-perbuatan-Nya.
19.
Balasan (baik dan buruk) disesuaikan dengan amalan seseorang.
20.
Dorongan untuk bersabar atas musibah yang menimpa, karena bisa jadi musibah itu
merupakan tanda kecintaan Allâh dan semakin besar musibah yang menimpa, maka
semakin besar pula ganjarannya.
21.
Seluruh perkara kehidupan seorang mukmin adalah baik. Pahala untuknya di sisi
Allâh sama, baik yang tampak olehnya buruk maupun baik.
MARAAJI’:
1.
Kutubus
sittah dan kitab-kitab hadits lainnya.
2.
Bahjatun
Nâzhirîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilaly.
3.
Syifâ-ul
‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, cet. II Dâr ash-Shumai’iy, th. 1434 H.
4.
‘Uddatus
Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Isma’il bin
Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id, th. 1436 H.
5.
Fat-hul
Majîd lisyarhi Kitâbit Tauhîd, ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul
Wahhab, tahqiq DR. al-Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Aalu Furayyan, cet.
VI, Dar Aalamil Fawaa`id, th. 1420 H.
6.
Al-Qaulus
Sadîd fii Maqâshidit Tauhîd, oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
7.
Fawâ-idul
Fawâ-id oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin
Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet. Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.
8.
Tafsîr
Ibni Katsir, cet. Dâr Thaybah.
9.
Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.
10. Hikmah di Balik Musibah, karya
penulis, Pustaka Imam Syafi’i-Jakarta.
_______
Footnote
[1]
Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, I/82
[2]
Syifâ-ul ‘Alîl fî Masâ-ilil Qadhâ’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lîl, III/1083
[3]
Lihat sebagian ayat tentang sabar: QS. Al-Baqarah/2:45, 153-157; QS. Ali
‘Imrân/3:142; QS. An-Nahl/16:126-127; QS. Luqmân/31:17; QS. Az-Zumar/39:10; QS.
Al-Muzzammil/73:10, dan lainnya.
[4]
Lihat juga al-Qur’an surat Ibrahim/14:5; QS. Luqmân/31:31 dan QS. Sabâ’/34:19
[5]
Lihat ‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 205) oleh Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. II/Daar ‘Aalamil Fawaa`id,
th. 1436 H.
[6]
‘Uddatus Shâbirîn wa Dzakhîratus Syâkirîn (hlm. 128) dan Fat-hul Majîd Syarah
Kitâbit Tauhîd (II/604).
[7]
Lihat al-Qaulus Sadîd fî Maqâshidit Tauhîd (hlm. 140) oleh Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir as-Sa’di.
[8]
Lihat Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 149) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ta’liq dan
takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, cet.
Daar Ibnul Jauzi, th. 1417 H.
[9]
Tafsîr Ibni Katsir (I/575), cet. Dâr Thaybah.
[10]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu anhu
[11]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5641, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
dan Abu Sa’id Radhiyallahu anhu
[12]
Kata al-washab berarti rasa sakit yang terus-menerus. Dan kata ini ada pada
firman Allâh Azza wa Jalla : وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ
“…Dan bagi mereka siksaan yang kekal.” (Ash-Shâffât/37:9). Maksudnya, terus
menerus. Lihat juga Syarh an-Nawawi (XVI/130).
[13]
Dikatakan (menurut suatu pendapat), dengan memberikan harakat fat-hah pada
huruf ya’ dan dhammah pada huruf ha’, yakni( يَهُمُّهُ
) artinya menyusahkannya. Dan ada juga yang mengatakan dengan memberikan
harakat dhammah pada huruf ya’ dan fat-hah pada huruf ha’, yakni ( يُهَمُّهُ ) (Keduanya adalah benar. Lihat Syarh
an-Nawawi (XVI/130)).
[14]
Shahih: HR. Muslim, no. 2573 dari Sahabat Abu Sa’id Radhiyallahu anhu dan Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu .
[15]
Hasan: HR. Ahmad, III/23 dan Ibnu Hibban, no. 692 – Mawârid). Al-Haitsami
berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (II/302), “Rawi-rawinya tsiqah.” Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Mawâridizh Zham-ân, no. 571
[16]
Hasan shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2399; Ahmad, II/450; al-Hakim, I/346, IV/314
dan Ibnu Hibban (no. 697 – Mawâridizh Zham-ân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu , at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah, no. 2280 dan Shahîh Mawâridizh Zham-ân (no. 576).
[17]
Shahih: HR. Al-Hakim, I/347-348 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 3393 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no.
1870
[18]
Shahih: HR. Muslim, no. 918 [4] dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha .
Beliau Radhiyallahu anha berkata, “Tatkala Abu Salamah wafat, aku mengucapkan
sebagaimana yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan aku, maka
Allâh mengganti yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
[19]
Shahih: HR. Muslim, no. 2572 dari Aisyah Radhiyallahu anha .
[20]
Shahih: HR. Abu Ya’la, no. 6069; Ibnu Hibban, no. 693—Mawârid; dan al-Hakim,
I/344. Ia berkata, “Sanadnya shahih.” Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz
Zawâid, II/292, “Rawi-rawinya tsiqah.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah,
no. 2599 dan Shahîh al-Mawârid, no. 572
[21]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6487 dan Muslim, no. 2822, 2823. Lafazh ini milik
Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu
[22]
Hasan: HR. Ibnu Majah, no. 1597. Maksud hadits di atas: Apabila seorang hamba
ridha dengan musibah yang menimpanya, maka Allâh ridha memberikan pahala
kepadanya dengan surga.
[23]
Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 1021 dan Ibnu Hibban, no. 726 – Mawârid dari
Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu . Hadits ini dihasankan oleh
Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1408
[24]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6424 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[25]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5653. Dan kata yang berada di antara dua kurung
tersebut dari kitab Sunan at-Tirmidzi, no. 2401
[26]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5652 dan Muslim, no. 2576
[27]
Shahih: HR. Ahmad, V/244-245, 247; Abu Dawud, no. 1522; an-Nasa-I, III/53; Ibnu
Khuzaimah, no. 751; Ibnu Hibban, no. 2017, 2018–At-Ta’lîqâtul Hisân), dan
al-Hakim, I/273; III/273-274) beliau menshahih-kannya dan disepakati oleh
adz-Dzahabi. Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu
Oleh Al-Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas حفظه الله
0 komentar:
Posting Komentar