Kamis, 20 Januari 2022

Keutamaan Shalat Subuh Berjamaah dan Dua Rakaat Shalat Sunnah Sebelum Subuh

Keutamaan Shalat Subuh Berjamaah dan Dua Rakaat Shalat Sunnah Sebelum Subuh

 

Keutamaan Shalat Subuh Berjamaah dan Dua Rakaat Shalat Sunnah Sebelum Subuh adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 29 Muharram 1441 H / 29 September 2019 M.

Penerjemah: Ustadz Cecep Nurohman, Lc.

Berkata penulis Al-Imam Al-Mundziri Rahimahullahu Ta’ala, “Bab Dalil-Dalil Yang Datang Menjelaskan Tentang Keutamaan Shalat Berjamaah.” Dan Al-Imam Al-Mundziri membawakan beberapa hadits, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا

 

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat salah seorang diantara kalian secara sendirian lebih utama 25 kali bagian.” (HR. Bukhari 648, Muslim 649)

Abudullah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasannya Nabi yang mulia bersabda:

 

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

 

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 kali derajat.” (HR. Bukhari 645, Muslim 650)

Al-Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi Rahimahullahu Ta’ala berkata bahwa mayoritas para perawi hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang meriwayatkan hadits tentang shalat berjamaah, mereka meriwayatkan dengan lafadz 25 kecuali Ibnu Umar. Beliau yang meriwayatkan tentang lafadz 27 derajat keutamaan.

Kata Al-Imam Al-Mundiri bahwa para ulama berselisih tentang penafsiran makna hadits di atas. Maka sebagaian para ulama mengatakan bahwasanya “derajat” itu sifatnya lebih kecil daripada “bagian”.

Adapun makna “Shalat secara sendiri” dimana seseorang shalat dengan sendiri dan tidak berjamaah.

Kata Syaikh Hafidzahullahu Ta’ala bahwa yang dimaksud dengan “Al-Jamaah” pada bab di atas adalah mengerjakan shalat-shalat wajib secara berjamaah di rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memang diperintahkan oleh Allah untuk ditegakkan di dalamnya. Agar kita mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An-Nur:

 

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّـهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾ رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ﴿٣٧﴾

 

“Di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut namaNya, di sana bertasbih mensucikan namaNya diwaktu pagi dan diwaktu petang. Yaitu laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta melaksanakan shalat.” (QS. An-Nur[24]: 36-37)

Kata Syaikh, mari kita berhenti, renungi sejenak makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Yaitu laki-laki.” Maka sifat kelaki-lakian yang sesungguhnya adalah tatkala seorang laki-laki keluar ke rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengerjakan shalat lima waktu yang memang kaum laki-laki dipanggil oleh Allah untuk mengerjakan shalat tersebut di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bukan termasuk sifat kelaki-lakian yang sempurna tatkala seseorang dipanggil untuk mengerjakan shalat di masjid kemudian dia duduk di rumahnya bersama keluarganya, bersama istrinya dan anak-anaknya. Bukan sifat seorang laki-laki tatkala dia mengerjakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

 

“Barangsiapa yang mendengar panggilan dan seruan adzan kemudian dia tidak mendatangi panggilan tersebut, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada udzur.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dihadits yang lain:

 

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بيو تهم

 

“Sungguh aku sangat berkeinginan untuk memerintahkan agar ditegakkan shalat kemudian aku keluar menuju rumah-rumah yang tidak menghadiri shalat berjamaah dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata Syaikh bahwa hadits di atas merupakan dalil bahwasannya meninggalkan shalat secara berjamaah -padahal ada kemampuan untuk datang ke masjid melaksanakan shalat berjamaah- termasuk merupakan bagian dari dosa besar yang sangat besar. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi was Sallam tidak memiliki keinginan untuk membakar rumah-rumah mereka kecuali dalam perkara yang besar dan bukan dalam perkara yang kecil.

Kata Syaikh Hafidzahullahu Ta’ala, Al-Imam Al-Mundiri menukilkan dari Abu ‘Isa At-Tirmidzi Rahimahullahu Ta’ala bahwasannya beliau berkata bahwa mayoritas para perawi hadits yang berbicara tentang masalah shalat berjamaah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat 25 kecuali Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma yang membawakan riwayat 27. Dan riwayat yang datang dari Ibnu Umar adalah riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan riwayat tersebut tidak bertentangan dan tidak kontradiksi dengan riwayat-riwayat yang lain yang datang dengan lafadz 25.

Dan Al-Imam Al-Mundziri Rahimahullahu Ta’ala mengisyaratkan akan adanya ikhtilaf para ulama tatkala menggabungkan antara kedua lafadz tersebut (antara riwayat yang berbicara tentang 25 dengan riwayat yang berbicara tentang 27). Maka beliau menyebutkan di antara penafsiran para ulama untuk menggabungkan dua hadits di atas bahwasanya “derajat” itu sifatnya lebih kecil daripada “bagian”. Karena didalam hadits Ibnu Umar disebutkan “lebih utama 27 derajat”. Sedangkan hadits Abu Hurairah disebutkan “25 bagian”. Maka tidak ada pertentangan pada kedua riwayat tersebut.

Pendapat yang lain mengatakan bahwasanya “derajat” itu lebih kecil daripada “bagian” dan pendapat ini adalah pendapat yang paling lemah didalam menjamakkan kedua makna hadits di atas. Karena datang dalam riwayat yang lain -yang juga dalam Ash-Shahihain- di mana disebutkan 27 derajat dan 25 derajat. Keduanya datang dengan lafadz “derajat” baik yang 27 atau panjang 25. Maka bilangannya berbeda tapi lafadz “derajat”nya sama. Lafadz “derajat” itu shahih didalam kitab Ash-Shahihain yang menjelaskan tentang dua bilangan di atas. Maka para ulama membawakan pendapat-pendapat yang lain untuk menggabungkan makna dua hadits di atas. Diantara pendapat para ulama bahwasanya bilangan yang kecil itu masuk ke dalam bilangan yang besar dan tidak ada kontradiksi.

Kemudian kata beliau bahwa diantara pendapat para ulama untuk menggabungkan dua hadits di atas bahwasanya dikali pertama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikabarkan bahwasanya shalat jamaah lebih utama 25 derajat. Kemudian dikali yang kedua dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya shalat jamaah lebih utama sebanyak 27 derajat. Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan yang kedua kalinya dengan lafadz 27.

Kemudian diantara pendapat para ulama untuk menggabungkan makna dua hadits di atas bahwasanya perbedaan lafadz tersebut atau redaksi hadits tersebut menunjukkan perbedaan pahala atau ganjaran yang didapatkan oleh orang yang shalat. Karena memang orang yang shalat itu pahala mereka berbeda, sesuai dengan kondisi shalat-shalat mereka.

Maka kata Syaikh kesimpulannya bahwasanya lafadz 25 dan lafadz 27 itu semuanya tsabit, semuanya shahih dan tidak ada kontradiksi diantara kedua riwayat tersebut.

BAB DALIL-DALIL YANG DATANG MENJELASKAN TENTANG KEUTAMAAN DUA RAKAAT SHALAT SUNNAH SEBELUM SUBUH

Penulis berkata, Sa’ad bin Hisyam meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha bahwasanya beliau berkata Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi was Sallam bersabda:

 

رَكعَتَا الْفجْر خير من الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

 

“Dua rakaat shalat sunnah sebelum subuh lebih baik nilainya daripada dunia dan seisinya” (HR. Muslim 725)

‘Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha juga meriwayatkan:

Dalam lafazh lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,

 

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

 

“Tidak pernah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih bersegera mengerjakan sebuah shalat sunnah melebihi bersegeranya Nabi di dalam mengerjakan shalat sunnah sebelum subuh” (HR. Bukhari 1169, Muslim 724)

Kata Syaikh Abdurrazzaq Hafidzahullahu Ta’ala bahwa makna perkataan penulis, “ما جاء في ركعتي الفجر من الفضل maknanya adalah dua raka’at shalat sunnah sebelum shalat subuh. Dan shalat sunah tersebut datang di dalam menjelaskan keutamaan pahalanya nash-nash syariat yang sangat banyak. Diantaranya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha. Dimana beliau berkata bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

رَكعَتَا الْفجْر خير من الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

 

“Dua rakaat shalat sunnah sebelum subuh lebih baik nilainya di sisi Allah daripada dunia dan seisinya” (HR. Muslim 725)

Bayangkan, kaum muslimin yang Allah muliakan..

Kalau seandainya 2 rakaat shalat sunnah sebelum subuh nilainya lebih baik daripada dunia dan seisinya, maka bagaimana dengan shalat subuh yang kita kerjakan yang sifatnya wajib?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam sebuah hadits qudsi, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

 

“Dan tidaklah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan sebuah amalan yang lebih aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan atas dirinya. Dan senantiasa hambaKu mendekatkan diri dengan menambah amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintai dirinya.” (HR. Bukhari 6502)

Oleh karenanya kata Syaikh bahwa barangsiapa yang diberikan kemuliaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa mengerjakan shalat subuh dan shalat sunnah sebelum subuh, maka sungguh dia telah diberikan kebaikan yang sangat besar. Dan shalat tersebut menjadi kunci kebaikan dan kunci keberkahan untuk harinya di hari tersebut. Dan kedua shalat tersebut (shalat sunnah sebelum subuh dan shalat subuh) merupakan sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga dirinya dan memberikan kecukupan di sepanjang harinya.

Datang sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lainnya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

ابْنَ آدَمَ ، ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

 

“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untukKu empat Rakaat diawal pagi, niscaya Aku akan berikan kecukupan untukmu disepanjang harimu.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)

Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala berkata didalam kitab Zaadul Ma’ad menukilkan perkataan guru beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala. Kata Syaikhul Islam, “Pendapat yang aku yakini bahwasanya 4 rakaat di dalam hadits tersebut adalah shalat sunnah fajar dan shalat subuh.”

Maka barangsiapa yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa mengerjakan shalat sunnah 2 rakaat sebelum subuh dan mengerjakan dua rakaat shalat subuh di awal pagi hari, maka dia akan diberikan kecukupan oleh Allah di sepanjang harinya, dia senantiasa dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia senantiasa dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَن صَلَّى الصُّبحَ، فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ

 

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat subuh, maka dia dalam tanggungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim 657)

Kata Syaikh, seorang hamba yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengerjakan shalat subuh baik shalat wajib ataupun shalat sunnah sebelumnya di awal pagi hari, maka dia telah mengambil keamanan di pagi hari tersebut. Sebagaimana perkataan salah seorang salaf:

 

يومك مثل جملك إن أمسكت أوله تبعك آخره

 

“Harimu seperti unta yang kamu miliki, kalau engkau mampu memegang awal harimu dengan kebaikan/dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sepanjang hari akan mengikuti awal harimu.”

Kemudian penulis Rahimahullahu Ta’ala membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha:

 

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

 

“Tidak pernah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih bersegera mengerjakan sebuah shalat sunnah melebihi bersegeranya Nabi di dalam mengerjakan shalat sunnah sebelum subuh” (HR. Bukhari 1169, Muslim 724)

Maka dalam hadits tersebut terdapat perhatian yang sangat besar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan dua rakaat sebelum shalat subuh. Dan kata Syaikh bahwasannya shalat sunnah sebelum shalat subuh adalah diantara perkara yang memang sangat ditekankan dan diperhatikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diantara buktinya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan dua rakaat tersebut baik dalam kondisi mukim ataupun dalam kondisi safar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa mengerjakan shalat sunnah sebelum subuh dalam setiap kondisi beliau. Maka ini diantar dalil yang menunjukkan akan keutamaan shalat sunnah sebelum fajar.

DALIL-DALIL YANG MENJELASKAN TENTANG KEUTAMAAN MENJAGA SHALAT SUBUH DAN SHALAT ASHAR

Berkata penulis Rahimahullah, meriwayatkan Abu Bakar bin Umarah bin Ru’aibah, dari ayahnya, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

لَنْ يلجَ النَّار أَحدٌ صلَّى قبْلَ طُلوعِ الشَّمْس وَقَبْل غُرُوبَها

 

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam (aknanya yakni shalat subuh dan shalat ashar).” (HR. Muslim 634)

Abi Bakar bin Abi Musa Al-Asy’ari meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

منْ صلَّى الْبَرْديْنِ دَخَلَ الْجنَّةَ

 

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat subuh dan shalat ashar, dia pasti akan masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kata Syaikh, khusus dua shalat yang agung tersebut (shalat subuh dan shalat ashar) disebutkan secara khusus akan keutamaannya dibanyak nash-nash syar’i. Karena kedua shalat tersebut memang memiliki masyaqqah (kesukaran) yang sangat berat bagi sebagian manusia.

Shalat subuh datang diwaktu tatkala manusia sedang beristirahat, tatkala mereka sedang dalam kondisi tenang dan menginginkan untuk tetap di atas tempat tidur mereka, merasakan lezatnya tidur, maka berat bagi sebagian jiwa untuk bangun dari tempat tidurnya untuk mengerjakan ibadah yang besar tersebut. Adapun shalat ashar, maka dia datang di waktu di mana manusia sedang sibuk-sibuknya mengerjakan perkara dunia mereka, sedang sibuk-sibuknya menyempurnakan amalan-amalan dunia mereka sebelum kembali beristirahat ke rumah-rumah mereka. Maka barangsiapa yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa menjaga keistiqamahan shalat subuh dan shalat ashar, maka biidznillah dia akan mampu menjaga keistiqamahan shalat-shalat yang lainnya.

Menjaga shalat subuh dan shalat ashar bersamaan dengan masyaqqah yang didapatkan merupakan diantara wasilah bagi seorang hamba untuk dimudahkan di dalam mengerjakan shalat-shalat yang lainnya.

Maka Al-Imam membawakan dua dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut. Pertama hadits Abu Bakar bin Umarah, dari ayahnya dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

لَنْ يلجَ النَّار أَحدٌ صلَّى قبْلَ طُلوعِ الشَّمْس وَقَبْل غُرُوبَها

 

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam.” (HR. Muslim 634)

Yang dimaksud dengan shalat sebelum matahari terbit adalah shalat subuh. Adapun shalat yang dimaksudkan sebelum matahari terbenam adalah shalat ahsar.

Dan makna sabda Rasulullah, “Tidak akan masuk neraka”, ini adalah dalil akan keutamaan yang sangat besar di dalam shalat subuh dan shalat ashar. Bahwasanya tatkala seseorang istiqamah menjaga kedua shalat tersebut akan menjadi hijab antara dirinya dengan neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun dalil kedua yang Al-Imam bawakan adalah hadits Abi Bakar Al-Asy’ari dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

منْ صلَّى الْبَرْديْنِ دَخَلَ الْجنَّةَ

 

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat subuh dan shalat ashar, dia pasti akan masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kata Syaikh bahwa yang dimaksud dengan “Al-Bardain” adalah shalat subuh dan shalat ashar. Dan kedua shalat tersebut dinamakan dengan shalat Bardain karena keduanya datang diwaktu yang dingin. Adapun shalat subuh datang di awal waktu pagi, adapun shalat ashar maka dia datang diakhir siang yang merupakan awal perubahan cuaca dari panas ke dingin.

Dan yang dimaksud dengan shalat Bardain adalah menjaga shalat tersebut/ mengistiqamahkan shalat tersebut. Maka menjaga shalat subuh dan shalat ashar merupakan diantara wasilah yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hadits yang sebelumnya menjelaskan bahwasanya menjaga shalat subuh dan shalat ashar merupakan wasilah yang akan menyelamatkan seorang hamba dari siksa neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berkata Syaikh Hafidzahullahu Ta’ala bahwa dalam hadits di atas dan hadits yang sebelumnya terdapat isyarat bahwasanya untuk masuk ke dalam surga dan selamat dari siksa neraka terikat usaha seorang hamba untuk mengerjakan dan menjaga shalat-shalat wajib. Dan diantara shalat yang paling besar perkaranya adalah shalat subuh dan shalat ashar. Maka barangsiapa yang tidak mengerjakan shalat, dia bukan seorang muslim dan dia tidak akan masuk ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang meninggalkan shalat/yang tidak mengerjakan shalat, dia akan masuk ke dalam neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang kufar yang mereka masuk ke dalam neraka Allah:

 

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ﴿٤٢﴾

 

“Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqar?” (QS. Al-Mudatstsir[74]: 42)

 

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ﴿٤٣﴾

 

“Maka mereka menjawab: dahulu kami di dunia tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al-Mudatstsir[74]: 43)

Maka kata beliau, ini adalah jawaban yang pertama dari jawaban penghuni neraka saqar. Bahwasannya diantara sebab yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka tersebut karena mereka meninggalkan shalat-shalat yang Allah wajibkan kepada mereka.

Maka shalat merupakan tiang agama kita. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

 

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

 

“Sesungguhnya perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat maka sungguh dia telah kufur.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

 

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا؟ كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ

 

“Barangsiapa yang mampu menjaga shalat-shalat yang Allah wajibkan kepada dirinya, maka dia akan diberikan cahaya oleh Allah, maka shalat tersebut akan menjadi dalil dan menjadi sebab keselamatan bagi dirinya di hari kiamat nanti. Namun barangsiapa yang tidak menjaga shalatnya, maka dia tidak akan memiliki cahaya, tidak memiliki dalil dan hujjah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dia tidak akan mendapatkan keselamatan di hari kiamat.”

 

https://www.radiorodja.com

 

0 komentar:

Posting Komentar