Keutamaan Shalat Subuh Berjamaah dan Dua Rakaat Shalat
Sunnah Sebelum Subuh
Keutamaan Shalat Subuh Berjamaah dan Dua Rakaat Shalat
Sunnah Sebelum Subuh adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah
dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan
ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad
Al-Badr pada 29 Muharram 1441 H / 29 September 2019 M.
Penerjemah: Ustadz Cecep Nurohman, Lc.
Berkata penulis Al-Imam Al-Mundziri Rahimahullahu Ta’ala,
“Bab Dalil-Dalil Yang Datang Menjelaskan Tentang Keutamaan Shalat Berjamaah.”
Dan Al-Imam Al-Mundziri membawakan beberapa hadits, diantaranya adalah hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
صَلَاةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ
جُزْءًا
“Shalat
berjamaah itu lebih utama daripada shalat salah seorang diantara kalian secara
sendirian lebih utama 25 kali bagian.” (HR. Bukhari 648, Muslim 649)
Abudullah
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwasannya Nabi yang mulia bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ
أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 kali derajat.” (HR.
Bukhari 645, Muslim 650)
Al-Imam Abu
‘Isa At-Tirmidzi Rahimahullahu Ta’ala berkata bahwa mayoritas para perawi
hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang meriwayatkan hadits tentang
shalat berjamaah, mereka meriwayatkan dengan lafadz 25 kecuali Ibnu Umar.
Beliau yang meriwayatkan tentang lafadz 27 derajat keutamaan.
Kata
Al-Imam Al-Mundiri bahwa para ulama berselisih tentang penafsiran makna hadits
di atas. Maka sebagaian para ulama mengatakan bahwasanya “derajat” itu sifatnya
lebih kecil daripada “bagian”.
Adapun
makna “Shalat secara sendiri” dimana seseorang shalat dengan sendiri dan tidak
berjamaah.
Kata Syaikh
Hafidzahullahu Ta’ala bahwa yang dimaksud dengan “Al-Jamaah” pada bab di atas
adalah mengerjakan shalat-shalat wajib secara berjamaah di rumah-rumah Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang memang diperintahkan oleh Allah untuk ditegakkan di
dalamnya. Agar kita mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar kita senantiasa
menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surat An-Nur:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّـهُ
أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ
وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾ رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ
اللَّـهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا
تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ﴿٣٧﴾
“Di
rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan
menyebut namaNya, di sana bertasbih mensucikan namaNya diwaktu pagi dan diwaktu
petang. Yaitu laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli
dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta melaksanakan shalat.” (QS.
An-Nur[24]: 36-37)
Kata
Syaikh, mari kita berhenti, renungi sejenak makna firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “Yaitu laki-laki.” Maka sifat kelaki-lakian yang sesungguhnya adalah
tatkala seorang laki-laki keluar ke rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
mengerjakan shalat lima waktu yang memang kaum laki-laki dipanggil oleh Allah
untuk mengerjakan shalat tersebut di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
bukan termasuk sifat kelaki-lakian yang sempurna tatkala seseorang dipanggil
untuk mengerjakan shalat di masjid kemudian dia duduk di rumahnya bersama
keluarganya, bersama istrinya dan anak-anaknya. Bukan sifat seorang laki-laki
tatkala dia mengerjakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ
فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa
yang mendengar panggilan dan seruan adzan kemudian dia tidak mendatangi
panggilan tersebut, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada udzur.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dihadits yang lain:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ
الصَّلاَةَ ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بيو تهم
“Sungguh
aku sangat berkeinginan untuk memerintahkan agar ditegakkan shalat kemudian aku
keluar menuju rumah-rumah yang tidak menghadiri shalat berjamaah dan aku bakar
rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata Syaikh
bahwa hadits di atas merupakan dalil bahwasannya meninggalkan shalat secara
berjamaah -padahal ada kemampuan untuk datang ke masjid melaksanakan shalat
berjamaah- termasuk merupakan bagian dari dosa besar yang sangat besar. Karena
Nabi Shallallahu ‘Alaihi was Sallam tidak memiliki keinginan untuk membakar
rumah-rumah mereka kecuali dalam perkara yang besar dan bukan dalam perkara
yang kecil.
Kata Syaikh
Hafidzahullahu Ta’ala, Al-Imam Al-Mundiri menukilkan dari Abu ‘Isa At-Tirmidzi
Rahimahullahu Ta’ala bahwasannya beliau berkata bahwa mayoritas para perawi
hadits yang berbicara tentang masalah shalat berjamaah meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat 25 kecuali Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma
yang membawakan riwayat 27. Dan riwayat yang datang dari Ibnu Umar adalah
riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan riwayat
tersebut tidak bertentangan dan tidak kontradiksi dengan riwayat-riwayat yang
lain yang datang dengan lafadz 25.
Dan Al-Imam
Al-Mundziri Rahimahullahu Ta’ala mengisyaratkan akan adanya ikhtilaf para ulama
tatkala menggabungkan antara kedua lafadz tersebut (antara riwayat yang
berbicara tentang 25 dengan riwayat yang berbicara tentang 27). Maka beliau
menyebutkan di antara penafsiran para ulama untuk menggabungkan dua hadits di
atas bahwasanya “derajat” itu sifatnya lebih kecil daripada “bagian”. Karena
didalam hadits Ibnu Umar disebutkan “lebih utama 27 derajat”. Sedangkan hadits
Abu Hurairah disebutkan “25 bagian”. Maka tidak ada pertentangan pada kedua
riwayat tersebut.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwasanya “derajat” itu lebih kecil daripada “bagian” dan
pendapat ini adalah pendapat yang paling lemah didalam menjamakkan kedua makna
hadits di atas. Karena datang dalam riwayat yang lain -yang juga dalam
Ash-Shahihain- di mana disebutkan 27 derajat dan 25 derajat. Keduanya datang
dengan lafadz “derajat” baik yang 27 atau panjang 25. Maka bilangannya berbeda
tapi lafadz “derajat”nya sama. Lafadz “derajat” itu shahih didalam kitab
Ash-Shahihain yang menjelaskan tentang dua bilangan di atas. Maka para ulama
membawakan pendapat-pendapat yang lain untuk menggabungkan makna dua hadits di
atas. Diantara pendapat para ulama bahwasanya bilangan yang kecil itu masuk ke
dalam bilangan yang besar dan tidak ada kontradiksi.
Kemudian
kata beliau bahwa diantara pendapat para ulama untuk menggabungkan dua hadits
di atas bahwasanya dikali pertama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dikabarkan bahwasanya shalat jamaah lebih utama 25 derajat. Kemudian dikali
yang kedua dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya shalat jamaah
lebih utama sebanyak 27 derajat. Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengabarkan yang kedua kalinya dengan lafadz 27.
Kemudian
diantara pendapat para ulama untuk menggabungkan makna dua hadits di atas
bahwasanya perbedaan lafadz tersebut atau redaksi hadits tersebut menunjukkan
perbedaan pahala atau ganjaran yang didapatkan oleh orang yang shalat. Karena
memang orang yang shalat itu pahala mereka berbeda, sesuai dengan kondisi
shalat-shalat mereka.
Maka kata
Syaikh kesimpulannya bahwasanya lafadz 25 dan lafadz 27 itu semuanya tsabit,
semuanya shahih dan tidak ada kontradiksi diantara kedua riwayat tersebut.
BAB
DALIL-DALIL YANG DATANG MENJELASKAN TENTANG KEUTAMAAN DUA RAKAAT SHALAT SUNNAH
SEBELUM SUBUH
Penulis
berkata, Sa’ad bin Hisyam meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha
bahwasanya beliau berkata Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi was Sallam bersabda:
رَكعَتَا الْفجْر خير من
الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat
shalat sunnah sebelum subuh lebih baik nilainya daripada dunia dan seisinya”
(HR. Muslim 725)
‘Aisyah
Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha juga meriwayatkan:
Dalam
lafazh lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Tidak
pernah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih bersegera
mengerjakan sebuah shalat sunnah melebihi bersegeranya Nabi di dalam
mengerjakan shalat sunnah sebelum subuh” (HR. Bukhari 1169, Muslim 724)
Kata Syaikh
Abdurrazzaq Hafidzahullahu Ta’ala bahwa makna perkataan penulis, “ما
جاء في ركعتي الفجر من الفضل”
maknanya adalah dua raka’at shalat sunnah sebelum shalat subuh. Dan shalat
sunah tersebut datang di dalam menjelaskan keutamaan pahalanya nash-nash
syariat yang sangat banyak. Diantaranya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu Ta’ala
‘Anha. Dimana beliau berkata bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
رَكعَتَا الْفجْر خير من
الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat
shalat sunnah sebelum subuh lebih baik nilainya di sisi Allah daripada dunia
dan seisinya” (HR. Muslim 725)
Bayangkan,
kaum muslimin yang Allah muliakan..
Kalau
seandainya 2 rakaat shalat sunnah sebelum subuh nilainya lebih baik daripada
dunia dan seisinya, maka bagaimana dengan shalat subuh yang kita kerjakan yang
sifatnya wajib?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam sebuah hadits qudsi, kata Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ
عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan
tidaklah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan sebuah amalan yang lebih
aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan atas dirinya. Dan senantiasa
hambaKu mendekatkan diri dengan menambah amalan-amalan sunnah sampai Aku
mencintai dirinya.” (HR. Bukhari 6502)
Oleh
karenanya kata Syaikh bahwa barangsiapa yang diberikan kemuliaan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
bisa mengerjakan shalat subuh dan shalat sunnah sebelum subuh, maka sungguh dia
telah diberikan kebaikan yang sangat besar. Dan shalat tersebut menjadi kunci
kebaikan dan kunci keberkahan untuk harinya di hari tersebut. Dan kedua shalat
tersebut (shalat sunnah sebelum subuh dan shalat subuh) merupakan sebab Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjaga dirinya dan memberikan kecukupan di sepanjang
harinya.
Datang
sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lainnya
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
ابْنَ آدَمَ ، ارْكَعْ لِي
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Wahai anak
Adam, ruku’lah (shalatlah) untukKu empat Rakaat diawal pagi, niscaya Aku akan
berikan kecukupan untukmu disepanjang harimu.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)
Al-Imam
Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala berkata didalam kitab Zaadul Ma’ad menukilkan
perkataan guru beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala. Kata
Syaikhul Islam, “Pendapat yang aku yakini bahwasanya 4 rakaat di dalam hadits
tersebut adalah shalat sunnah fajar dan shalat subuh.”
Maka
barangsiapa yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa
mengerjakan shalat sunnah 2 rakaat sebelum subuh dan mengerjakan dua rakaat
shalat subuh di awal pagi hari, maka dia akan diberikan kecukupan oleh Allah di
sepanjang harinya, dia senantiasa dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia
senantiasa dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَن صَلَّى الصُّبحَ، فَهُوَ
فِي ذِمَّةِ اللَّهِ
“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat subuh, maka dia dalam tanggungan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.” (HR. Muslim 657)
Kata
Syaikh, seorang hamba yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk mengerjakan shalat subuh baik shalat wajib ataupun shalat sunnah sebelumnya
di awal pagi hari, maka dia telah mengambil keamanan di pagi hari tersebut.
Sebagaimana perkataan salah seorang salaf:
يومك مثل جملك إن أمسكت أوله
تبعك آخره
“Harimu
seperti unta yang kamu miliki, kalau engkau mampu memegang awal harimu dengan kebaikan/dengan
ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sepanjang hari akan mengikuti
awal harimu.”
Kemudian
penulis Rahimahullahu Ta’ala membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu Ta’ala
‘Anha:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Tidak
pernah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih bersegera
mengerjakan sebuah shalat sunnah melebihi bersegeranya Nabi di dalam
mengerjakan shalat sunnah sebelum subuh” (HR. Bukhari 1169, Muslim 724)
Maka dalam
hadits tersebut terdapat perhatian yang sangat besar dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam akan dua rakaat sebelum shalat subuh. Dan kata Syaikh
bahwasannya shalat sunnah sebelum shalat subuh adalah diantara perkara yang
memang sangat ditekankan dan diperhatikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Diantara buktinya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
pernah meninggalkan dua rakaat tersebut baik dalam kondisi mukim ataupun dalam
kondisi safar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa mengerjakan shalat
sunnah sebelum subuh dalam setiap kondisi beliau. Maka ini diantar dalil yang
menunjukkan akan keutamaan shalat sunnah sebelum fajar.
DALIL-DALIL
YANG MENJELASKAN TENTANG KEUTAMAAN MENJAGA SHALAT SUBUH DAN SHALAT ASHAR
Berkata
penulis Rahimahullah, meriwayatkan Abu Bakar bin Umarah bin Ru’aibah, dari
ayahnya, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لَنْ يلجَ النَّار أَحدٌ
صلَّى قبْلَ طُلوعِ الشَّمْس وَقَبْل غُرُوبَها
“Tidak akan
masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari
terbenam (aknanya yakni shalat subuh dan shalat ashar).” (HR. Muslim 634)
Abi Bakar
bin Abi Musa Al-Asy’ari meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
منْ صلَّى الْبَرْديْنِ
دَخَلَ الْجنَّةَ
“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat subuh dan shalat ashar, dia pasti akan masuk surga.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Kata
Syaikh, khusus dua shalat yang agung tersebut (shalat subuh dan shalat ashar)
disebutkan secara khusus akan keutamaannya dibanyak nash-nash syar’i. Karena
kedua shalat tersebut memang memiliki masyaqqah (kesukaran) yang sangat berat
bagi sebagian manusia.
Shalat
subuh datang diwaktu tatkala manusia sedang beristirahat, tatkala mereka sedang
dalam kondisi tenang dan menginginkan untuk tetap di atas tempat tidur mereka,
merasakan lezatnya tidur, maka berat bagi sebagian jiwa untuk bangun dari
tempat tidurnya untuk mengerjakan ibadah yang besar tersebut. Adapun shalat
ashar, maka dia datang di waktu di mana manusia sedang sibuk-sibuknya
mengerjakan perkara dunia mereka, sedang sibuk-sibuknya menyempurnakan
amalan-amalan dunia mereka sebelum kembali beristirahat ke rumah-rumah mereka.
Maka barangsiapa yang diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
bisa menjaga keistiqamahan shalat subuh dan shalat ashar, maka biidznillah dia
akan mampu menjaga keistiqamahan shalat-shalat yang lainnya.
Menjaga
shalat subuh dan shalat ashar bersamaan dengan masyaqqah yang didapatkan
merupakan diantara wasilah bagi seorang hamba untuk dimudahkan di dalam
mengerjakan shalat-shalat yang lainnya.
Maka
Al-Imam membawakan dua dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut. Pertama
hadits Abu Bakar bin Umarah, dari ayahnya dia berkata bahwa dia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَنْ يلجَ النَّار أَحدٌ
صلَّى قبْلَ طُلوعِ الشَّمْس وَقَبْل غُرُوبَها
“Tidak akan
masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari
terbenam.” (HR. Muslim 634)
Yang
dimaksud dengan shalat sebelum matahari terbit adalah shalat subuh. Adapun
shalat yang dimaksudkan sebelum matahari terbenam adalah shalat ahsar.
Dan makna
sabda Rasulullah, “Tidak akan masuk neraka”, ini adalah dalil akan keutamaan
yang sangat besar di dalam shalat subuh dan shalat ashar. Bahwasanya tatkala
seseorang istiqamah menjaga kedua shalat tersebut akan menjadi hijab antara
dirinya dengan neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun
dalil kedua yang Al-Imam bawakan adalah hadits Abi Bakar Al-Asy’ari dari
ayahnya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
منْ صلَّى الْبَرْديْنِ
دَخَلَ الْجنَّةَ
“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat subuh dan shalat ashar, dia pasti akan masuk surga.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Kata Syaikh
bahwa yang dimaksud dengan “Al-Bardain” adalah shalat subuh dan shalat ashar.
Dan kedua shalat tersebut dinamakan dengan shalat Bardain karena keduanya
datang diwaktu yang dingin. Adapun shalat subuh datang di awal waktu pagi,
adapun shalat ashar maka dia datang diakhir siang yang merupakan awal perubahan
cuaca dari panas ke dingin.
Dan yang
dimaksud dengan shalat Bardain adalah menjaga shalat tersebut/ mengistiqamahkan
shalat tersebut. Maka menjaga shalat subuh dan shalat ashar merupakan diantara
wasilah yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan hadits yang sebelumnya menjelaskan bahwasanya menjaga shalat subuh
dan shalat ashar merupakan wasilah yang akan menyelamatkan seorang hamba dari
siksa neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berkata
Syaikh Hafidzahullahu Ta’ala bahwa dalam hadits di atas dan hadits yang
sebelumnya terdapat isyarat bahwasanya untuk masuk ke dalam surga dan selamat
dari siksa neraka terikat usaha seorang hamba untuk mengerjakan dan menjaga
shalat-shalat wajib. Dan diantara shalat yang paling besar perkaranya adalah
shalat subuh dan shalat ashar. Maka barangsiapa yang tidak mengerjakan shalat,
dia bukan seorang muslim dan dia tidak akan masuk ke dalam surga Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang meninggalkan shalat/yang tidak
mengerjakan shalat, dia akan masuk ke dalam neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang kufar yang
mereka masuk ke dalam neraka Allah:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
﴿٤٢﴾
“Apa yang
menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqar?” (QS. Al-Mudatstsir[74]: 42)
قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّينَ ﴿٤٣﴾
“Maka
mereka menjawab: dahulu kami di dunia tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat.” (QS. Al-Mudatstsir[74]: 43)
Maka kata
beliau, ini adalah jawaban yang pertama dari jawaban penghuni neraka saqar.
Bahwasannya diantara sebab yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka
tersebut karena mereka meninggalkan shalat-shalat yang Allah wajibkan kepada
mereka.
Maka shalat
merupakan tiang agama kita. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Sesungguhnya
perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang
meninggalkan shalat maka sungguh dia telah kufur.”
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا؟
كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ
يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ
“Barangsiapa
yang mampu menjaga shalat-shalat yang Allah wajibkan kepada dirinya, maka dia
akan diberikan cahaya oleh Allah, maka shalat tersebut akan menjadi dalil dan
menjadi sebab keselamatan bagi dirinya di hari kiamat nanti. Namun barangsiapa
yang tidak menjaga shalatnya, maka dia tidak akan memiliki cahaya, tidak
memiliki dalil dan hujjah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dia tidak
akan mendapatkan keselamatan di hari kiamat.”
0 komentar:
Posting Komentar