Bahaya Pencampur
Adukan Kebenara dan Kebatilan
Profetik UM Metro – Allah SWT Berfirman: “Jangan kalian
mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan
kebenaran. Padahal kalian menyadarinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 42).
Kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika hatinya mampu
menerima segala yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada
Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan.” (QS An-Nur [24]: 51-52).
Juga dalam ayat yang lain “Dan apa yang diberikan Rasulullah SAW kepadamu maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr: 7).
Demikianlah seharusnya orang mukmin ketika al Qur’an di
hadapanya maka dia memperlakukan dirinya seperti gelas kosong yang siap diisi
oleh Allah SWT, apapun isinya, karena seorang mukmin sangat yakin Allah SWT
akan mengisi gelas (hati) yang kosong tersebut dengan curahan air kebaikan,
walaupun serasa pahit. Bisa saja Allah swt mengisi dengan air susu yang nikmat,
madu bahkan kopi manis, yang semua mukmin akan merasakan kenikmatan langsung.
Akan tetapi bisa jadi Allah SWT mengisi gelas mukmin dengan jamu yang sangat
pahit, yang mana tidak semua mukmin mampu meminumnya, akan tetapi Allah SWT
menjadikan jamu untuk mengobati penyakit yang ada pada diri mukmin tersebut,
sehingga esok harinya dirinya akan sehat dan bugar.
Akan tetapi betapa banyak hari ini orang yang ragu akan
hal ini, mereka hanya siap ketika menerima kenikmatan tetapi ragu bahkan tidak
terima dengan pahitnya kehidupan. Banyak syariat Allah SWT yang logik mudah
diterima manusia, dan mudah dilaksanakan, akan tetapi betapa banyak syariat
Allah SWT sebagai ujian yang diragukan bahkan ditolak oleh manusia.
Penolakan akan syariat dengan berbagai dalih, salah
satunya adalah dalih keilmiahan. Dalih keilmiahan sering menjadi justifikasi
atau pembenaran akan konsep seseorang, yang kadang mengkaburkan ajaran syariat
itu sendiri, dia melakukan proses talbis (pencampur adukan) antara teori
manusia yang memperkosa konsep kebenaran mutlak al-Qur’an dan sunnah. Dan pola
ini sangatlah berbahaya.
Surat al baqarah ayat 42 ada dua karakter manusia yang
menolak ajaran kebenaran, tetapi tidak dengan terang-terangan, mereka
menggunakan dua pola yang seakan dianggap baik dan ilmiah: yang pertama, pola
talbis ( cammpur aduk kebenaran dan kebatilan)
dan yang kedua, Menyembunyikan kebenaran yang diketahui (kitman al haq).
Yang pertama, Campur aduk Kebenaran dan Kebatilan (talbis
al haq wa al bathil)
Allah swt berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran
dengan kebatilan. Ayat ini adalah larangan untuk mencampur adukan kebenaran dan
kebatilan. Kata larangan (al-nahyu) dalam kaidah ushul fiqih adalah keharaman,
karena asal dari larangan adalah haram. Ayat ini jelas menunjukan keharaman
melakukan pencampur adukan kebenaran dengan kebatilan, karena akan menyebabkan
ketidak jelasan kebenaran itu sendiri. Ini adalah pola tasybih (membuat
syubhat) sebuah konsep kebenaran, tasywih (membuat samar kebenaran) dan talfiq
al batil (pencampuran yang batil).
Saat ini diakui trend pengkajian pola integrasi keilmuan,
yang memadukan agama dengan keilmuan umum, agar umat Islam mampu berfikir
secara universal. Hal ini adalah sebuah keharusan, karena semua ilmu diyakinin
datang dari Allah SWT, tetapi pola integrasi adalah untuk menguatkan keilmuan
itu sendiri, membangun keyakinan dan menjalankan perintah Allah SWT dan
mengetahui hikmah dari sebuah pelarangan.
Berbeda dengan pola talbis ini, karena ini mencoba
memperkosa kebenaran dengan segala nilai yang bertentangan dengan kebenaran.
Imam Jalaluddin dalam Kitab Tafsirul Jalalain mengatakan,
kata “al-haqq” atau kebenaran pada Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah kitab suci
yang diturunkan kepada Ahli Kitab. Sedangkan kebatilan pada Surat Al-Baqarah
ayat 42 adalah keterangan dusta yang mereka ada-adakan. Sementara kebenaran
yang mereka sembunyikan adalah sifat Nabi Muhammad SAW.
Imam Al-Baidhawi dalam Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut
Ta’wil mengatakan, kata “talbisū” atau mencampur adalah tindakan membuat
sesuatu menjadi mirip dengan yang lain. Dengan demikian, makna Surat Al-Baqarah
ayat 42 adalah, “Jangan kalian mencampur kebenaran yang diturunkan kepada
kalian dengan kebatilan yang kalian rekayasa dan menyembunyikan kebenaran
tersebut sehingga keduanya tidak dapat dibedakan.”
Pencampur adukan ini sering terjadi dalam konteks
kehidupan, berdalih toleransi maka harus melunturkan prinsip keyakinan, misal
harus bersama merayakan hari raya. Bahkan muncul banyak pemahaman yang terkait
kesatuan agama (wihdatul adyan) sehingga tidak nampak prinsip dan cabang dalam
sebuah agama. Akhirnya efek dari pencampur adukan ini menyebabkan kerusakan
faham beragama, terutama agama Islam.
Pencampur adukan biasa dilakukan oleh para ilmuwan yang
berpaham pluralisme. Hakikatnya penulis tidak menolak pluralitas (perbedaan
agama) akan tetapi memahami semua agama adalah sama, mengakibatkan sebuah
masalah besar, karena umat tidak akan mampu memahami mana agama yang dianggap
benar. Paham pluaralisme sangat berbeda dengan paham pengakuan akan pluralitas
beragama, karena Islam sendiri menerima pluralitas agama, sebagaimana Allah SWT
berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (al maidah 48)
Namun, Islam menolak pluralisme. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam
surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme,
sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.
Pluralisme didefinisikannya sebagai paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan, karena itu, tiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan agama lainnya salah.
Adapun liberalisme agama dimaknai MUI sebagai paham yang hanya menerima doktrin
agama yang sesuai kebebasan akal pikiran saja. Kemudian, sekularisme agama
sebagai paham yang ingin agar agama hanya mengatur soal hablu minaallah,
sedangkan habluminannas mesti diatur via konvensi sosial. Dalam masalah akidah
dan ibadah, demikian fatwa MUI, umat Islam wajib bersikap eksklusif. Namun, di
saat yang sama, sifat eksklusif demikian tidak menghalangi orang Islam untuk
berinteraksi secara wajar dengan umat agama lain.
Hakikatnya secara eksplisit pencampur adukan ini tidak
nampak, akan tetapi bagi mereka yang memiliki dasar dan prinsip beragama yang
kuat akan memahami hal ini. Banyak kajian-kajian ilmiah yang secara dzohir
sangat bagus, sistematis dan logis, akan tetapi menggiring umat untuk tidak
memiliki prinspi beragama sama sekali, akhirnya sisipan-sisipan kebatilan
berkedok keilmiahan dan riset yang secara metodologis benar itu, diakui oleh
umat dan dunia.
Yang kedua, menyembunyikan kebenaran dan ilmu (kitman
al haq)
Larang Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 42 adalah
menyembunyikan kebenaran. Hakikatnya hal ini terjadi pada orang-orang yahudi
yang menyembunyikan kebenaran kerasulan nabi Muhammad saw oleh para rahib
mereka, bahkan mereka merubah ayat atau menghapusnya. Sehingga umat benar-benar
tersesat dengan keinginan dan nafsu para Rahib mereka.
Hakikatnya penyakit ini juga banyak terjadi pada kalangan
ilmuwan muslim, yang mereka menyembunyikan ayat Allah SWT yang tidak sesuai
dengan nalar berfikir mereka, karena mereka lebih mengedepankan logika mereka.
Bahkan kadang mereka asyik dengan mengambil sebagian yang mereka sukai, dan
meninggalkan ayat yang mereka sendiri ragu dan berat melakukan. Sebagaimana Allah
SWT berfirman: Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir pada Allah
dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah
dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan
kami ingkar terhadap (sebagian yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan,” (QS. An-Nisa: 150-151).
Begitu indah ayat al-Qur’an, dengan ungkapan dalih
mencari jalan tengah akan tetapi harus menyembunyikan kebenaran. Banyak sekali
ayat al Qur’an disembunyikan baik sengaja maupun tidak sengaja, misal ayat
tentang jihad harus ditafsiri dengan tafsir yang menghilangkan makna hakikinya,
bahkan sangat jarang sekali mendapatkan porsi pembahasan. Ayat dalam keluarga
misal poligami, selalu diragukan dengan dalih keadilan, akhirnya mayoritas umat
ragu dan dianggap tidak baik. Ayat tentang warisan, yang seakan tidak adil
mendapatkan sorotan tajam dalam konteks keadilan dan kesetaraan. Dan masih
banyak lagi ayat yang tidak mendapatkan perhatian, dengan berbagai macam cara
untuk mendistorsi ayat tersebut.
Seharusnya orang beriman menjadikan hati untuk mengimani,
kemudian iman melakukan dorongan (drive) kepada akal untuk mengungkap makna
(hikmah) dan melakukan relation of understanding sehingga menghadirkan
pemahaman yang baik. Tentu ini adalah kerja akademis yang tidak mudah, sehingga
membutuhkan kemampuan ilmu dan iman yang totalitas.
Insan profetis hendaknya meninggalkan dua larangan ini,
karena ini sangat bahaya bagi umat, terkecuali karena ketidak tahuanya. Akan
tetapi ketika ada kesengajaan mencampur adukan karena sebuah proyek akademik,
atau menyembunyikan dengan berbagai dalih, karena ketidak cocokan atau
keraguan, maka sungguh Allah SWT akan tusuk mereka dengan api neraka
sebagaimana hadits nabi: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia
menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan
dikekang dengan tali kekang dari neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 261; Syaikh
al-Albani menyatakan tentang hadits ini ‘Hasan Shahîh).
Seri Bahagia
dengan Al-Qur’an!
Penulis: Dr. M.
Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)
0 komentar:
Posting Komentar