10 Pelebur Dosa (4)
Kesempatan kali ini adalah serial terakhir dari 10
Pelebur Dosa yang sebelumnya telah dibahas. Di antara sebab dosa bisa lebur
adalah berkat syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi pelaku dosa
besar, bisa pula karena musibah yang menimpa seorang muslim. Dan yang lebih
besar dari itu semua adalah karena rahmat dan ampunan Allah.
Sebab Keenam: Syafa’at[1] Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan yang lainnya pada pelaku (dosa besar)[2] di hari kiamat kelak.
Sebagaimana telah terdapat hadits mutawatir (dengan jalur
periwayatan yang banyak) yang membicarakan tentang syafa’at. Seperti sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih,
شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
“Syafa’atku
untuk pelaku dosa besar dari umatku.”[3]
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خُيِّرْت بَيْنَ أَنْ
يَدْخُلَ نِصْفُ أُمَّتِي الْجَنَّةَ ؛ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْت
الشَّفَاعَةَ لِأَنَّهَا أَعَمُّ وَأَكْثَرُ ؛ أَتَرَوْنَهَا لِلْمُتَّقِينَ ؟ لَا
. وَلَكِنَّهَا لِلْمُذْنِبِينَ المتلوثين الْخَطَّائِينَ
“Separuh
dari umatku akan dipilih untuk masuk surga atau akan diberi syafa’at. Maka aku
pun memilih agar umatku diberi syafa’at kareana itu tentu lebih umum dan lebih
banyak. Apakah syafa’at itu hanya untuk orang bertakwa? Tidak. Syafa’at itu
untuk mereka yang terjerumus dalam dosa (besar).”[4] [5]
Sebab
Ketujuh: Musibah di dunia yang menjadi sebab terhapusnya dosa.
Sebagaimana
disebutkan dalam shahihain (Bukhari-Muslim), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ
وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى
– حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah
menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek,
kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang)[6], kesusahan
hati[7] atau sesuatu yang menyakiti[8] sampai pun duri yang menusuknya
melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”[9]
Sebab
Kedelapan: Ujian di alam kubur, juga siksaan dan kenikmatan yang menjadi
sebab terhapusnya dosa-dosanya.
Sebab
Kesembilan: Kengerian dan kesulitan pada hari kiamat.
Sebab
Kesepuluh: Rahmat dan ampunan dari Allah tanpa sebab yang dilakukan oleh
hamba.
Jika sudah
jelas bahwa celaan dan hukuman akan terhindar pada pelaku dosa karena sepuluh
sebab di atas, maka anggapan yang menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku dosa
besar (al kabair) hanya bisa terhapus dengan taubat berarti menyelisihi
keterangan di atas.
[10 Pelebur
Dosa ini diterjemahkan dari Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 7: 487-501]
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[1]
Syafa’at adalah meminta agar dihapuskan dosa dan kesalahan. Demikian kata Ibnul
Atsir dalam An Nihayah fii Ghoribil Hadits wal Atsar 2: 485. As Safarini
berkata bahwa syafa’at adalah meminta kebaikan untuk yang lain (Lawami’ul Anwar
Al Bahiyah, 2: 204).
[2] Yang
dimaksud pelaku dosa besar adalah orang yang berbuat dosa besar atau maksiat
namun masih termasuk ahlu tauhid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikann syafa’at kepada pelaku dosa besar agar mereka keluar dari nereka
setelah mereka mampir dulu di dalamnya. (Asy Syafa’ah ‘an Ahlis Sunnah war Rod
‘alal Mukholifina fiiha, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman Al Judai’, hal. 51).
Syarat
seseorang mendapatkan syafa’at adalah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim
dalam Madarijus Salikin (1: 341),
فهذه ثلاثة أصول … لا شفاعة
إلا بإذنه ولا يأذن إلا لمن رضي قوله وعمله ولا يرضى من القول والعمل إلا توحيده
واتباع رسوله
“Inilah
tiga ushul …: (1) Tidak ada syafa’at
kecuali dengan izin Allah. (2) Tidak ada izin kecuali pada orang yang Allah
ridhoi perkataan dan amalannya. (3) Tidak ada ridho pada perkataan dan amalan
kecuali dengan bertauhid dan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.”
Syarat
pertama adalah untuk syaafi’ (orang yang memberi syafa’at). Syarat kedua dan
ketiga adalah untuk masyfu’ lahu (orang yang diberi syafa’at).
Dalil yang
mendukung tiga syarat di atas,
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي
السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ
يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa
banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali
sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya)” (QS.
An Najm: 26).
Dalam
hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
– صلى الله عليه وسلم – « لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ
يَسْأَلَنِى عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ
حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
»
“Katakanlah
wahai Rasulullah, siapa yang berbahagia karena mendapat syafa’atmu di hari
kiamat nanti?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Abu
Hurairah, aku merasa tidak ada yang bertanya kepadaku tentang hal ini selain
engkau. Yang aku lihat, ini karena semangatmu mempelajari hadits. Yang
berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah yang mengucapkan laa
ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)
[3] HR. Abu
Daud no. 4739, Tirmidzi no. 2435 dan Ahmad 3: 213. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[4] HR.
Tirmidzi no. 2441, Ibnu Majah no. 4317 dan Ahmad 2: 75. Hadits ini shahih kata
Syaikh Al Albani selain perkataan “قوله لأنها”.
[5] Dalam
riwayat Tirmidiz, dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’iy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِى آتٍ مِنْ عِنْدِ
رَبِّى فَخَيَّرَنِى بَيْنَ أَنْ يُدْخِلَ نِصْفَ أُمَّتِى الْجَنَّةَ وَبَيْنَ
الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْتُ الشَّفَاعَةَ وَهِىَ لِمَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ
بِاللَّهِ شَيْئًا
“Ada yang
mendatangiku dari sisi Rabbku, aku disuruhh memilih antara memasukkan separuh
dari umatku ke dalam surga atau memilih syafa’at. Aku pun memilih syafa’at dan
ini akan diperoleh oleh orang yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada
Allah dengan sesuatu apa pun” (HR. Tirmidzi no. 2441. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
[6] Kata “وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ” keduanya adalah
penyakit hati. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)
[7] Kata “غَمٍّ” termasuk penyakit hati yang berarti
kesempitan (kesulitan) yang diderita hati. Ada ulama yang merinci makna dari
tiga kata “الْهَمّ وَالْغَمّ وَالْحُزْن”.
Kata “الْهَمّ” muncul dari pikiran
yang timbul bentuk menyakiti dari orang lain. Kata “وَالْغَمّ”
timbul pada hati. Sedangkan “وَالْحُزْن”
timbul karena sesuatu yang hilang sehingga membuat susah. (Lihat Fathul Bari,
10: 106)
[8] Ada
yang menyatakan bahwa maksudnya adalah umum. Ada yang menyatakan khusus pada
bentuk menyakiti dari orang lain padanya. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)
[9] HR.
Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573.
https://rumaysho.com/2436-10-pelebur-dosa-4.html
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar