MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN
MENUJU
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ،
نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ
يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ،
وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ
يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ
الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ
عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka
Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan
(urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla
memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi
(aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat.
Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong
saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan
mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah
satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara
mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka,
Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para
Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya
(dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa
mempercepatnya.”
TAKHHRIJ
HADITS
Hadits ini
shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 2699).
2. Ahmad (II/252, 325).
3. Abu Dâwud (no. 3643).
4. Tirmidzi (no. 1425, 2646, 2945).
5. Ibnu Mâjah (no. 225).
6. Ad-Dârimi (I/99).
7. Ibnu Hibbân (no. 78- Mawâriduzh Zham-ân).
8. Ath-Thayâlisi (no. 2439).
9. Al-Hâkim (I/88-89).
10. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 127).
11. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa
Fadhlihi (I/63, no. 44).
Dalam
riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ
الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ
أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Seorang
Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan
tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan
membelanya)[1] . Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa
Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang
Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari
Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi
(aib)nya pada hari Kiamat.[2]
SYARAH
HADITS
• Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya), “Barangsiapa yang
melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan
darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”
Karena
balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini
banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ
مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya
Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]
Al-Kurbah
(kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita
dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya berupaya meringankan beban
tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya melepaskan) dengan cara
menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan
kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh
akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh
akan menghilangkan kesulitannya.[4]
Seorang
Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan
ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.
Seorang
Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim
lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh
Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan
terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu,
seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza
wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Kiamat.
• Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya : “Dari salah satu
kesusahan hari Kiamat.”
Kenapa
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu
kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang
mengatakan bahwa kurab (kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar
biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan
aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang
mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan
kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang
meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari
Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
…يَـجْمَعُ اللهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ،
فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ
مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ،
وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ
مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ
يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟…
“…Allah
mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu
tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6]
dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung
kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung.
Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa
yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta
syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian…’” dan seterusnya.[7]
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
bersabda,
تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً
غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ
يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ
يُهِمَّهُمْ ذَاكَ
Kalian akan
dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak
berpakaian) dan tidak berkhitan.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang
laki-laki dan perempuan akan saling melihat (aurat) yang lain?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa
yang mereka inginkan.”[8]
Dari Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhumadari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman
Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ” (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang
bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي
رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
Salah
seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua
telinganya.[9]
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ،
وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
Pada hari
Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai
tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga mereka
Dalam
lafazh Muslim,
إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ
إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ
Sesungguhnya
keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh
puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga
mereka.[10]
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَانَ يَوْمُ
الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ
أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ
بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ،
وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ
إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.
Apabila
hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas
satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari membuat mereka berkeringat lalu
mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka
ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut,
ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam
sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara[11].
• Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi
kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi
kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Ini
menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla
menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى
الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
… Dan
itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/25:26]
Memberi
kemudahan kepada yang kesulitan (dalam utang) ganjarannya besar. Ini dapat
dilakukan dengan dua cara :
Pertama :
Memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu
membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Kedua :
Dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.
Kedua
perbuatan ini memiliki keutamaan besar.
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ
النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ
لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ
Dahulu ada
seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia
melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya,
‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’
maka Allâh pun memaafkannya.[12]
Dari Abu
Qatâdah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ
يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ
أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Siapa ingin
diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia
meringankan orang yang kesulitan (hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]
Dari Abu
Yasar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ
وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ
Barangsiapa
memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau
menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya [14]
• Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa
menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan
akhirat.”
Banyak
nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa
dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang
lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum
yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya
aib-aib mereka dilupakan.[15]
Perkataan
di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ
بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا تَغْتَابُوْا
الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ
عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ
يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ
Wahai
orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya,
jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka !
Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya
dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya
(meskipun ia berada) di rumah.[16]
Terkait
dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok :
Pertama :
Orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia
tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan
kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh
diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh
Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]
Maksud ayat
ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan
kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin
padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Sebagai
orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar agar
merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak
bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa
menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta
memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti
yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita
al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan sebagaimana Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang
mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”
Anjuran
menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan
kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk
mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup aibnya.
Oleh karena
itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera
bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang
lain.
Kedua :
Orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya
terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring
masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya,
seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya.
Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd
(hukuman had). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى
امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا
Hai Unais!
Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]
Orang
seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke
penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari
kejahatannya dan membuat jera yang lainnya.
Imam Mâlik
rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu
menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi
informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat
jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang
ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini
dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya.
Begitu juga
pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang
kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang
itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan
bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama
Islam.
• Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama
hamba tersebut menolong saudaranya.”
Dalam
hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadisebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
…وَمَنْ كَانَ فِـيْ
حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ
“…Dan
barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong
kebutuhannya.”
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong
dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh
Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat
siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]
Tolong
menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan
air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, ‘Umar bin al-Khaththab
dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian
Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya,
ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu
bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu
menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang
bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu
berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau
menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18 . Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti
jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’lam.
Mujahid
rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhumadiperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]
Diriwayatkan
dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang
tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang
paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada
yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang
berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri.
Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang
yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Bâri (5/97, Kitâbul Mazhâlim).
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no.
2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi (no. 1426), dan Ibnu
Hibbân (no. 533) dari Shahabat Ibnu ‘Umar c .
[3]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 1284), Muslim (no. 923),
Abu Dâwud (no. 3125), dan lainnya dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu .
[4]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/286).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/287, dengan
ringkas).
[6]. Ada yang menafsirkan penglihatan Allâh meliputi
mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka karena di tanah
lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan Allah sudah pasti
meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di akhirat, di tanah lapang
maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul Baari, VIII/396].
[7]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3340, 3361, dan 4712),
Muslim (no. 194), Ahmad (2/435-436), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu.
[8]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6527), Muslim (no. 2859),
dan an-Nasa-i (4/114-115).
[9]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6531) dan Muslim (no.
2862).
[10]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6532) dan Muslim (no.
2863).
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2864), Ahmad (6/3), dan
at-Tirmidzi (no. 2421) dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu . Lafazh
ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi (7/104-106, no. 2536) dan
Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (no. 1382).
[12]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2078, 3480), Muslim
(no. 1562), an-Nasâi (7/318), dan Ibnu Hibbân (no. 5041, 5042) dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1563).
[14]. Shahih: HR. Muslim (no. 3006).
[15]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/291).
[16]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4880) dan Ahmad
(4/420-421, 424).
[17]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2314) dan Muslim (no.
1697) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18]. Hilyatul Auliyâ’ (1/84, no. 113).
[19]. Hilyatul Auliyâ (3/326, no. 4131).
[20]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2890), Muslim (no.
1119), an-Nasâ-i (4/182), dan Ibnu Hibbân (no. 3551-at-Ta’lâqâtul Hisân). Lihat
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/293-296) dengan diringkas dan sedikit tambahan.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
https://student-activity.binus.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar