Semangat Meraih
Ilmu Agama Dulu dan Kini
Kita tahu bagaimanakah keutamaan seseorang menuntut ilmu
agama, sungguh begitu besar dan tidak ada tandingannya.
Ada hadits shahih yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud
(no. 3641) dan haditsnya shahih, dari Katsir bin Qais, ia berkata, aku pernah
duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang
lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul
–shallallahu ‘alaihi wa sallam– (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits
yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut.
* Lihat hanya demi mendengar satu hadits, orang ini rela
menempuh perjalanan dari Madinah menuju ke Damasqus di Syam. Ini bukan jarak
yang dekat. Ini ditempuh dengan safar.
Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ
الْجَنَّةِ
“Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara
jalan menuju surga.”
* Ini
keutamaan pertama dari menuntut ilmu, bahwa dengan ilmu akan dimudahkan jalan
menuju surga.
Menempuh
jalan untuk mencari ilmu ada dua makna, bisa jadi benar-benar ia ke majelis
ilmu lewati jalan. Bisa jadi maknanya adalah hissi, yaitu ia lakukan cara apa
pun untuk meraih ilmu, bisa dengan hadir, duduk, mendengar, menghafal,
mencatat, sampai ia menguatkannya dengan banyak mengulang hingga menyebarkan
ilmu tadi pada yang lain.
Tentu saja
ia mencari ilmu ini atas dasar ikhlas karena setiap ibadah yang didasari ikhlas,
itulah yang mendapatkan balasan. Jika ilmu agama dicari hanya untuk meraih
dunia, dapat kedudukan mulia, dapat gelar, dapat duit, maka tentu tidak
mendapatkan balasan seperti disebut dalam hadits.
Yang
dimaksudkan akan dimudahkan jalan menuju surga adalah ia diberi taufik di dunia
untuk beramal shalih sehingga dengan amalan itu masuk surga, atau ia dimudahkan
jalan di akhirat untuk masuk surga. Demikian keterangan dari Al-Munawi dalam
Faidhul Qadir.
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Sesungguhnya
malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.”
*
Maksudnya, para malaikat benar-benar menghormati para penuntut ilmu. Ketika itu
juga malaikat mendengarkan ilmu.
وَإِنَّ الْعَالِمَ
لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى
جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya
orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai
pun ikan yang berada dalam air.”
* Berarti
dengan menuntut ilmu dan berada dalam majelis ilmu bisa menghapuskan dosa.
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya
keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan
bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.”
* Orang
yang berilmu bisa memberikan pengaruh ilmunya pada yang lain, pengaruhnya
besar. Sedangkan ahli ibadah tidak bisa memberikan pengaruh pada yang lain
seperti itu. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam misalkan seperti
cahaya bulan dan cahaya bintang untuk membandingkan ahli ilmu dan ahli ibadah.
Seorang alim yang benar adalah ia menyibukkan diri dengan ilmu dan tidak
melupakan amalan. Sedangkan seorang ahli ibadah adalah yang menyibukkan diri
dengan ibadah tanpa mempedulikan dasar ilmu dari ibadah tersebut.
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ
أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan
tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah
mendapatkan keberuntungan yang besar.”
* Seorang
hamba barulah dikatakan baik jika ia mengambil warisan ilmu dari Nabi. Bukan
sekedar menjadi seorang teknokrat, psikiater, dokter, seorang master atau
seorang professor. Karena warisan Nabi bukanlah dunia dan harta, bukan pula
ilmu dunia. Warisan Nabi yang sebenarnya adalah pada ilmu agama. Karenanya
jangan sampai meninggalkan ilmu agama karena sibuk dengan keduniaan atau sibuk
mencari ilmu dunia.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Karena
seorang dokter dan teknokrat yang kenal agama, jauh berbeda dengan yang tidak
kenal agama.
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az- Zumar: 9).
Tentang
ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di berkata,
لاَ يَسْتَوِي هَؤُلاَءِ
وَلاَ هَؤُلاَءِ، كَمَا لاَ يَسْتَوِي اللَّيْلُ وَالنَّهَار، وَالضِّيَاء
والظِّلاَم، والماَء والنَّار
“Tentu
tidak sama antara mereka dan mereka (yang berilmu dan tidak berilmu).
Sebagaimana tidak sama antara malam dan siang, tidak sama antara terang dan
kegelapan, begitu pula tidak sama antara air dan api.”
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS.
Al-Qashshash: 77). Ibnu Katsir berkata, “Gunakanlah yang telah Allah
anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada Rabbmu dan
membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan
ini semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 37).
Para ulama
membuktikan bahwa mereka punya semangat tinggi dalam meraih ilmu agama. Sampai
waktunya habis untuk meraih hal itu.
Al Khotib
Al Baghdadi dalam kitab tarikhnya berkata, “Aku pernah mendengar ‘Ali bin
‘Ubaidillah bin ‘Abdul Ghoffar Al Lughowi (lebih terkenal dengan sebutan As
Samsamani), ia menceritakan bahwa Muhammad bin Jarir Ath Thobari pernah menetap
selama 40 tahun dan menulis setiap harinya 40 halaman.
Dan telah
sampai kisah kepadaku dari Abu Hamid Ahmad bin Abi Thohir Al Faqih Al
Isfaroini, ia bekata, “Seandainya seseorang bersafar ke China lantas ia
menemukan kitab tafsir karya Ibnu Jarir, maka ia akan temukan tidak begitu
banyak (dari kenyataan, pen).” Atau beliau mengucapkan perkataan semakna dengan
itu.
Al Qodhi
Abu ‘Abdillah Muhammad, ia berkata bahwa ‘Ali bin Ahmad Ash Shona’ Ubaidullah
bin Ahmad As Samsar dan ayahku berkata bahwa Abu Ja’far Ath Thobari pernah
berkata pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis tafsir
Al Qur’an?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Jawab Ath
Thobari, “Tiga puluh ribu (30.000) lembar.” Mereka malah menjawab,
هَذَا مِمَّا تَفْنَى
الاَعْمَار
“Menulis
seperti itu malah menghabiskan umur kami.” Akhirnya kitab tersebut selesai dan
lebih diringkas yang akhirnya menjadi sekitar 3000 lembaran.
Ath-Thabari
berkata lagi pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis
kitab tarikh (sejarah) alam semesta mulai dari Adam hinggga saat ini?” “Berapa
lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Ath Thobari menyebut
sebagaimana kitab tafsir tadi, lalu mereka pun menjawab semisal itu. Lantas
Ibnu Jarir Ath Thobari berkata,
اِنَّا للهِ مَاتَتِ الهِمَم
“Inna
lillah … Semangat (ambisi) manusia saat ini telah mati.” (Tarikh Baghdad karya
Al Khottib Al Baghdadi, 2: 163)
Lihatlah
bagaimana semangat ulama dalam meraih akhirat, raih ilmu yang Allah cinta, raih
ilmu yang jadi warisan para Nabi. Bandingkan dengan semangat pemuda dan
orang-orang saat ini. Wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar