Jagalah Allah Niscaya Allah Akan Menjagamu
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas suatu hadits
dari Nabi ﷺ yang merupakan wasiat beliau kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhu. Hadits tersebut adalah hadits yang panjang, di antaranya Nabi ﷺ bersabda,
احْفَظِ
اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
Hadits ini
adalah hadits yang masyhur, bahwasanya barangsiapa yang menjaga Allah maka
Allah akan menjaganya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang masyhur dalam Islam
yaitu,
الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ
العَمَلِ
“Balasan
sesuai dengan perbuatan.”
Maka dengan
kaidah ini, barangsiapa yang menjaga Allah, niscaya Allah ﷻ akan menjaganya.
Apa maksud
dengan menjaga Allah?
Secara
sederhana, maksud dari menjaga Allah ﷻ adalah menjaga syariat-Nya, menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Kita tahu tentunya Allah ﷻ tidak perlu dijaga. Akan tetapi ini adalah ushlub dalam bahasa
Arab bahwasanya yang dimaksud dengan menjaga Allah adalah menjaga syariat-Nya,
menjaga perintah-perintah-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah ﷻ dengan menjalankan seluruh perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya, maka dia akan dijaga oleh Allah ﷻ. Sejauh mana seseorang menjaga Allah, maka
sejauh itu pula Allah ﷻ akan memberikan penjagaan baginya.
Sama halnya
dengan perkataan sebagian orang yang mengambil firman Allah ﷻ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Pada
dasarnya Allah ﷻ tidak perlu untuk ditolong, akan tetapi
Allah ﷻ ingin melihat munculnya pejuang-pejuang
yang memperjuangkan agama Allah ﷻ. Dan ketika mereka tidak ingin memperjuangkan agama Allah,
niscaya Allah ﷻ akan menggantikan dengan yang lainnya.
Asalnya agama Allah ﷻ pasti tertolong, akan tetapi Allah ﷻ akan beri kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya
yang ingin masuk dalam golongan orang-orang yang menolong agama Allah.
Demikian pula
perkataan sebagian kita bahwa dakwah butuh para da’i-da’i. Kalau seseorang
sudah berkecimpung dalam bidang dakwah, maka itu adalah kemuliaan baginya.
Kalau dia tidak mau berkecimpung dalam dakwah, maka Allah ﷻ akan carikan orang yang lain yang mau turun
berdakwah. Oleh karenanya jangan sampai seseorang merasa bahwa dirinya memiliki
jasa terhadap Allah ﷻ.
Maka
demikianlah, Allah ﷻ tidak perlu dijaga, akan tetapi Allah ﷻ ingin ada orang mulia yang menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Karena sebagaimana
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan
barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)
Dalam
hadits qudsi Allah ﷻ juga berfirman,
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ
أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ
رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي
لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى
أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا
“Wahai
hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang
belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang
paling tinggi di antara kalian, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambah
kekuasaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan
orang-orang yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat
kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikit pun tidak akan mengurangi
kekuasaan-Ku.”[2]
Artinya
adalah jika seluruh manusia hatinya seperti Nabi Muhammad ﷺ, maka itu tidak akan menambah kekuasaan
Allah ﷻ sama sekali. Demikian pula jika seluruh
manusia memiliki hati seperti Iblis atau Fir’aun, maka hal tersebut sama sekali
tidak akan mengurangi kekuasaan Allah ﷻ. oleh karenanya seseorang beribadah kepada Allah ﷻ itu untuk dirinya sendiri, dan jika dia
kafir pun tidak akan mengurangi kekuasaan Allah ﷻ.
Maka perlu
untuk kita tanamkan dalam benak kita bahwa jika kita menjaga Allah ﷻ, maka itu berarti kita menjaga diri kita
sendiri. Oleh karenanya Nabi ﷺ
membuat suatu kaidah dalam sabdanya,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[3]
Kisah
Penjagaan Allah Terhadap Hamba-Nya Yang Menjaga Allah
Ada kisah
yang Allah ﷻ sebutkan tentang penjagaannya terhadap
orang-orang yang menjaga Allah, bahkan penjagaan tersebut bukan hanya dirinya,
melainkan Allah ﷻ menjaga hingga keturunan-keturunannya juga
dijaga oleh Allah ﷻ.
Kisah Ummu
Sulaim dan Abu Thalhah
Ummu Sulaim
adalah seorang wanita saleh dan telah dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺ dalam sabda beliau,
رَأَيْتُنِي دَخَلْتُ
الجَنَّةَ، فَإِذَا أَنَا بِالرُّمَيْصَاءِ، امْرَأَةِ أَبِي طَلْحَةَ
“Aku
melihatku (bermimpi) memasuki surga. Di sana aku bertemu rumaysha, istri dari
Abu Thalhah.”[4]
Siapakah
wanita saleh ini? Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bercerita,
قَالَ مَالِكٌ أَبُو أَنَسٍ
لِامْرَأَتِهِ أُمِّ سُلَيْمٍ، وَهِيَ أُمُّ أَنَسٍ: إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ
يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَرِّمُ الْخَمْرَ،
فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى الشَّامَ فَهَلَكَ هُنَاكَ، فَجَاءَ أَبُو طَلْحَةَ
فَخَطَبَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَلَّمَهَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَتْ: يَا أَبَا
طَلْحَةَ، مَا مِثْلُكَ يُرَدُّ، وَلَكِنَّكَ امْرُؤٌ كَافِرٌ، وَأَنَا امْرَأَةٌ
مُسْلِمَةٌ، لَا يَصْلُحُ لِي أَنْ أَتَزَوَّجَكَ، فَقَالَ: مَا ذَاكَ دَهْرُكِ
قَالَتْ: وَمَا دَهْرِي؟ قَالَ: الصَّفْرَاءُ وَالْبَيْضَاءُ، قَالَتْ: فَإِنِّي
لَا أُرِيدُ صَفْرَاءَ وَلَا بَيْضَاءَ، أُرِيدُ مِنْكَ الْإِسْلَامَ، فَإِنْ
تَسْلَمْ فَذَاكَ مَهرِيْ، وَلَا أَسْأَلُكَ غَيْرَة
“Berkata
Malik ayahnya Anas kepada istrinya Ummu Sulaim (Ibunya Anas), ‘Sesungguhnya
laki-laki itu (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) mengharamkan khamr’. Maka dia
(Malik) pergi hingga ke negeri Syam, kemudian dia meninggal di sana. Kemudian
datanglah Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, maka dia mengatakan kepada Ummu Sulaim
mengenai itu. Maka Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu
tidak layak ditolak, akan tetapi Anda seorang musyrik sementara aku seorang
muslimah, karena itu tidak boleh bagiku menikah denganmu’. Abu Thalhah berkata,
‘Apa keinginanmu agar aku bisa menikahimu?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Apa
keinginanku?’. Abu Thalhah berkata, ‘Emas dan perak?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Aku tidak mengharap
emas dan perak, aku ingin Islam darimu, jika Anda masuk Islam maka itulah
maharku, aku tidak meminta yang lain’.”[5]
Akhirnya
Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Maka
jadilah Abu Thalhah sebagai bapak tiri Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Dari
pernikahan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, lahirlah seorang anak yang Abu Thalhah
sangat cinta kepada anak tersebut. Anak tersebut adalah Abu Umair yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda kepadanya dengan menanyakan burung
peliharaannya yang telah mati. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam waktu itu
berkata kepadanya,
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا
فَعَلَ النُّغَيْرُ
“Wahai Aba
Umair, apa yang terjadi dengan burung kecilmu itu?”[6]
Abu Umair
inilah anak Abu Thalhah dari pernikahannya dengan Ummu Sulaim. Kemudian Anas
bin Malik radhiallahu ‘anhu bercerita dalam Musnad Imam Ahmad,
اشْتَكَى ابْنٌ لِأَبِي
طَلْحَةَ، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَتُوُفِّيَ الْغُلَامُ،
فَهَيَّأَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَيِّتَ. وَقَالَتْ لِأَهْلِهَا: لَا يُخْبِرَنَّ
أَحَدٌ مِنْكُمْ أَبَا طَلْحَةَ بِوَفَاةِ ابْنِهِ، فَرَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ،
وَمَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ مِنْ أَصْحَابِهِ. قَالَ: مَا فَعَلَ
الْغُلَامُ؟ قَالَتْ: خَيْرُ مَا كَانَ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِمْ عَشَاءَهُمْ،
فَتَعَشَّوْا وَخَرَجَ الْقَوْمُ، وَقَامَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى مَا تَقُومُ
إِلَيْهِ الْمَرْأَةُ، (وفي رواية أخرى: ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا
كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ، فَوَقَعَ بِهَا) فَلَمَّا كَانَ آخِرُ اللَّيْلِ،
قَالَتْ: يَا أَبَا طَلْحَةَ، أَلَمْ تَرَ إِلَى آلِ فُلَانٍ اسْتَعَارُوا
عَارِيَةً فَتَمَتَّعُوا بِهَا، فَلَمَّا طُلِبَتْ كَأَنَّهُمْ كَرِهُوا ذَاكَ.
قَالَ: مَا أَنْصَفُوا، قَالَتْ: فَإِنَّ ابْنَكَ كَانَ عَارِيَةً مِنَ اللَّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِنَّ اللَّهَ قَبَضَهُ فَاسْتَرْجَعَ وَحَمِدَ اللَّهَ،
فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
(وفي رواية أخرى: فَقَالَ: أَعْرَسْتُمَا اللَّيْلَةَ، قَالَ: نَعَمْ) فَقَالَ:
«بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا» ، فَحَمَلَتْ بِعَبْدِ اللَّهِ
فَوَلَدَتْهُ لَيْلًا، وَكَرِهَتْ أَنْ تُحَنِّكَهُ حَتَّى يُحَنِّكَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَحَمَلْتُهُ غُدْوَةً، وَمَعِي
تَمَرَاتُ عَجْوَةٍ، فَوَجَدْتُهُ يَهْنَأُ أَبَاعِرَ لَهُ، أَوْ يَسِمُهَا،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ وَلَدَتِ اللَّيْلَةَ،
فَكَرِهَتْ أَنْ تُحَنِّكَهُ حَتَّى يُحَنِّكَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَمَعَكَ شَيْءٌ؟» قُلْتُ: تَمَرَاتُ عَجْوَةٍ،
فَأَخَذَ بَعْضَهُنَّ فَمَضَغَهُنَّ، ثُمَّ جَمَعَ بُزَاقَهُ فَأَوْجَرَهُ
إِيَّاهُ، فَجَعَلَ يَتَلَمَّظُ، فَقَالَ: «حُبُّ الْأَنْصَارِ التَّمْرَ» قَالَ:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِّهِ، قَالَ: «هُوَ عَبْدُ اللَّهِ»
“Anak Abu
Thalhah menderita sakit. Sementara Abu Thalhah pergi ke masjid, anak tersebut
meninggal. Lalu Ummu Sulaim mengurus jenazah anaknya dan berpesan kepada
keluarganya, ‘Jangan salah seorang pun dari kalian mengabarkan kepada Abu
Thalhah tentang kematian putranya’. Kemudian Abu Thalhah pulang kepada
keluarganya, bersama teman-temannya dari masjid. Dia berkata, ‘Bagaimana
kondisi anak kita?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Lebih baik dari sebelumnya’.
Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makanan kepada suami dan tamunya dan mereka
pun makan, setelah itu mereka pulang. Dan Ummu Sulaim menyiapkan diri
sebagaimana harusnya seorang istri (dalam riwayat yang lain, Ummu Sulaim
berhias lebih cantik daripada hari biasanya hingga Abu Thalhah menggaulinya).
Di akhir malam Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu
terhadap suatu keluarga, mereka meminjam suatu barang, dan mereka betul-betul
dapat menikmati barang tersebut, lalu ketika yang punya barang memintanya, mereka
enggan mengembalikannya?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Mereka tidak adil’. Lalu Ummu
Sulaim melanjutkan perkataannya, ‘Sesungguhnya anakmu adalah titipan Allah dan
Dia sudah mengambilnya’. Maka Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’ (Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan memuji Allah. Ketika pagi sudah tiba Abu
Thalhah bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menceritakan
kejadian yang dialaminya). (Dalam riwayat lain Rasulullah berkata, ‘Apakah
semalam kalian berhubungan?’ Abu Thalhal berkata, ‘Iya’). Maka Rasulullah
berkata, ‘Semoga Allah ﷻ memberkahi malam kalian berdua’. Maka Ummu
Sulaim hamil dan melahirkan di malam hari. Ummu Sulaim tidak mau mentahnik
putranya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mentahniknya. Maka aku
pun membawanya (putra Abu Thalhah) pada pagi hari dengan membawa kurma ajwa
kepada Rasulullah. Lalu aku mendapati beliau sedang memberi tanda bagi
unta-untanya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya semalam Ummu Sulaim
telah melahirkan seorang anak, dan dia tidak mau mentahniknya sebelum engkau
melakukannya’. Kemudian Rasulullah berkata, ‘Apakah engkau membawa sesuatu?’
Aku berkata, ‘Beberapa kurma Ajwa’. Maka beliau mengambil beberapa biji kurma
dan mengunyahnya, lalu beliau mengumpulkannya seraya memasukkannya ke dalam
mulut bayi tersebut, maka bayi tersebut menghisap-hisap jari Nabi. Kemudian
Nabi berkata, ‘Kurma adalah sesuatu yang paling disukai oleh orang Anshar’.
Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikanlah nama kepada bayi ini’. Beliau
bersabda: ‘Namanya Abdullah’.”[7]
Ini adalah
gambaran seorang suami istri yang luar biasa keimanannya. Bahkan istrinya Ummu
Sulaim pun tidak kalah luar biasa dalam menyembunyikan kesedihannya, hingga dia
mampu mengajak suaminya untuk menggauilinya. Dan suaminya pun tatkala diberi
tahu akan kematian anaknya, dia tetap tenang mengucap kalimat istirja’ bahkan
memuji Allah ﷻ.
Abdullah
bin Abi Thalhah ini kemudian tumbuh menjadi anak yang saleh dan meninggal dalam
medan jihad fii sabilillah. Dia memiliki sepuluh anak laki-laki yang semuanya
Ahli Qira`ah. Lima di antaranya adalah Ahli Hadits yang terkenal, yaitu Ishaq,
Ismail, Ya’qub, Abdullah dan ‘Amr. Yang paling terkenal di antara lima anaknya
ini adalah Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah yang juga sekaligus guru dari
Imam Malik rahimahullah. Lihatlah bagaimana Allah ﷻ menjaga Abu Thalhah, putranya, dan bahkan menjaga cucu-cucunya.
Inilah di
antara makna “Jika engkau menjaga Allah, niscaya Allah akan menjagamu”. Saat
ini kita hidup di zaman yang banyak terjadi fitnah. Kita khawatir anak-anak
kita rusak dengan pergaulan pemuda di zaman ini. Betapa banyak perzinaan
terjadi karena pergaulan antara laki-laki dan wanita yang salah. Bahkan
homoseksual pun terjadi di mana-mana. Jika Allah tidak menjaga anak-anak kita,
maka kita pun pasti tidak bisa menjaga mereka. Oleh karenanya kita butuh
penjagaan Allah agar anak kita bisa terjaga. Dan di antara caranya adalah kita
sendiri berusaha menjadi orang tua yang saleh, agar anak-anak kita dijaga oleh
Allah ﷻ.
Kisah dua
anak Yatim
Dalam surah
Al-Kahfi Allah ﷻ bercerita tentang bagaimana penjagaan
Allah ﷻ terhadap orang yang menjaga Allah ﷻ. Dan kisah ini mengaitkan antara Nabi Musa
dan Nabi Khadir ‘alaihimassalam. Allah ﷻ berfirman,
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا
أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ
لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Maka
keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri
itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang
hampir roboh (di negeri itu), lalu dia (Khadir) menegakkannya. Dia (Musa)
berkata, ‘Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu’.”
(QS. Al-Kahfi : 77)
Nabi Musa
‘alaihissalam di ayat ini bermaksud mempertanyakan perbuatan Nabi Khadir
tersebut. Karena untuk apa dia melakukan hal itu sementara penduduk kampung
tersebut berbuat buruk kepada mereka (tidak mau menjamunya). Maka Nabi Khadir
bercerita,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ
لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ
أَسمْرِي
“Dan adapun
dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya
tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka
Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan
simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut
kemauanku sendiri.” (QS. Al-Kahfi : 82)
Nabi Khadir
menjelaskan bahwa di bawah tembok itu ada harta kedua anak yatim itu. Maka
Allah ﷻ menyuruh beliau untuk memperbaiki tembok
tersebut agar harta itu tersembunyi dan tidak diambil oleh orang lain.
Tidak ada
sebab khusus yang Nabi Khadir sebutkan tentang perbuatannya memperbaiki tembok
tersebut kecuali karena orang tua mereka adalah orang saleh. Sebagian ulama
seperti Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
حُفِظَا بِصَلَاحِ
أَبِيهِمَا، وَلَمْ يُذْكَرْ لَهُمَا صَلَاحٌ
“Mereka
dijaga karena kesalehan orang tuanya, dan keduanya tidak disebut sebagai anak
yang saleh.”[8]
Yang
disebut saleh adalah orang tuanya dan bukan kedua anak yatim tersebut. Dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan,
فَانْتَفَعَا بِصَلَاحِ
أَبِيْهِمَا وَلَيْسَ مِنْ سَعْيِهِمَا
“Mereka
mendapat manfaat dari kesalehan kedua orang mereka, dan bukan dari usaha
mereka.”[9]
Bahkan
dalam sebagian riwayat para salaf menyebutkan bahwa orang tua yang dimaksud
dalam ayat ini adalah orang tua (kakek) mereka yang ketujuh,
كَانَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ
الْأَبِ الصَّالِحِ سَبْعَةُ آبَاءٍ
“Antara
mereka berdua dan orang tua mereka yang saleh ada tujuh ayah.”[10]
Artinya
adalah Allah ﷻ menjaga tujuh turunannya. Ini menunjukkan
bahwa ayahnya tersebut adalah orang yang luar biasa dalam kesalehan dan dalam
menjaga Allah ﷻ. Bahkan karena kesalehan orang tua mereka
Allah ﷻ sampai mengirim Nabi Khadir untuk
memperbaiki tembok kedua anak tersebut.
Oleh
karenanya kesalehan seseorang sangat berpengaruh dengan nasib anak-anak kita.
Kalau kita ingin anak-anak kita dijaga oleh Allah ﷻ, maka berusahalah kita menjadi orang tua yang saleh. Maka
bagaimana anak-anak kita menjadi anak yang saleh, sementara hobi kita menonton
sinetron serta film-film yang mengumbar aurat? Bagaimana kita ingin agar anak
saleh sementara kita sendiri tidak saleh, Atau sementara diri kita masih sering
bermaksiat. Sa’id Ibnul Musayyib pernah berkata,
إِنِّي لَأُصَلِّي فَأَذْكُرُ
وَلَدِي فَأَزِيدُ فِي صَلَاتِي
“Aku
Shalat, kemudian aku ingat anakku. Maka aku menambah shalatku.”[11]
Maka jika
seseorang ketika ingin melakukan kesalahan, ingatlah bahwa dampak dari
kesalahan itu bisa mengenai anak-anaknya. Oleh karenanya selain seseorang
berdoa, dia juga harus bertakwa kepada Allah ﷻ serta harus berusaha untuk menjadi pribadi yang saleh.
Inilah di
antara buah dari menjaga Allah ﷻ. Maka barangsiapa yang bisa menjaga Allah ﷻ, niscaya Allah akan menjaganya. Oleh
karenanya Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
“Baginya
(manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
Yang
dimaksud malaikat menjaga seorang hamba di sini adalah jika hamba tersebut akan
mendapat keburukan maka akan dipalingkan. Jika akan terjerumus dalam kecelakaan
maka akan dijauhkan. Allah ﷻ
mengirim malaikat-malaikat untuk menjaga orang-orang yang beriman. Dan betapa
sering Allah ﷻ palingkan kita dari kerusakan atau
keburukan, bukan karena tiba-tiba, akan tetapi karena Allah ﷻ yang mengaturnya agar kita terhindar dari
keburukan tersebut.
Sebagian
ulama menyebutkan bahwa terkadang Allah ﷻ memberikan penjagaannya kepada kita dalam hal-hal yang kita
senangi, semangati, dan yang kita inginkan. Contohnya adalah ada seseorang yang
semangat meraih harta hingga telah masuk dalam perdagangan, akan tetapi dia
tidak berhasil. Dia menyangka bahwa itu adalah kekalahan baginya, padahal
terkadang itu adalah cara Allah ﷻ untuk memalingkannya. Karena Allah ﷻ tahu bahwa jika dia berdagang dan kaya, maka ia menjadi lupa
kepada Allah ﷻ. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا
شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Bisa jadi
ada seseorang yang bersusah payah dalam upayanya mencapai jabatan tertentu,
akan tetapi Allah ﷻ membuat dia kalah sehingga tidak tercapai.
Karena bisa jadi jika dia menang, maka dia bisa lupa dengan Allah ﷻ, lupa dengan Al-Quran, lupa dengan
pengajian, sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Akan tetapi Allah ﷻ tahu bahwa dia belum pantas untuk
mendapatkan hal tersebut. Dan yang seperti ini adalah contoh penjagaan Allah ﷻ kepada seorang hamba.
Orang yang
menjaga Allah ﷻ, niscaya urusannya akan dimudahkan oleh
Allah. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah ﷻ niscaya Dia akan membukakan jalan keluar
baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”
(QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Maka jika
seseorang ternyata memiliki banyak masalah, banyak yang menzaliminya, hendaknya
dia introspeksi diri karena jangan-jangan masalahnya ada pada dirinya. Bisa
jadi segala kesulitan itu ada karena dia bermasalah dengan Allah ﷻ, atau dia bermaksiat, atau menzalimi orang
lain. Ketahuilah bahwa orang mukmin telah pasti akan mendapat ujian, akan
tetapi solusi bagi mereka juga pasti. Maka jika solusi tidak kita temukan, maka
introspeksilah diri kita. Karena bisa jadi masalahnya ada pada diri kita.
Oleh DR. Firanda
Andirja, Lc. MA.
https://bekalislam.firanda.com
Footnote:
_______
[1] HR. At-Tirmidzi
no. 2516, Abu Isa berkata hadits ini hasan shahih
[2] HR. Muslim no.
2577
[3] HR.
At-Tirmidzi no. 2516, Abu Isa berkata hadits ini hasan shahih
[4] HR. Bukhari
no. 3679
[5] Ahkamul Janaiz
1/24
[6] HR. Bukhari
no. 6129
[7] HR. Ahmad no.
12047
[8] Tafsir Ibnu
Katsir 18/91
[9] Jami’ul Masail
5/203
[10] Tafsir Ath-Thabari, 15/363
[11] Tafsir
Al-Baghawi 1/789
0 komentar:
Posting Komentar