Keberkahan di Waktu
Pagi
Disini kita akan mengetahui keberkahan dan keutamaan
waktu pagi.
Di suatu masjid seperti biasa selepas shalat shubuh,
seorang pemuda duduk di masjid sambil menunggu matahari terbit. Dia bukan hanya
sekedar duduk santai ketika itu, tetapi dia membuka beberapa lembaran Al Qur’an
yang telah dihafalnya dan dia mengulang-ulang untuk menguatkan dalam hatinya.
Setelah itu, dia tidak lupa berdzikir dengan bacaan dzikir yang telah
dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pagi. Namun, ada
suatu kondisi yang berkebalikan. Di belakang dia terdapat seorang pemuda juga
yang sebaya dengannya. Ketika sehabis shalat shubuh dan membaca dzikir setelah
shalat, pemuda yang kedua ini malah mengambil tempat di belakang. Sambil bersandar
di dinding dan akhirnya perlahan-lahan kepalanya tertunduk kemudian tertidur
pulas hingga matahari terbit.
Inilah sebagian kondisi kaum muslimin saat ini. Sehabis
shalat shubuh di masjid, sebagian di antara kita ada yang memanfaatkan waktu
pagi karena dia mengetahui keutamaan di dalamnya. Ada pula yang tertidur pulas
karena telah dipengaruhi rayuan setan dan tidak mampu mengalahkannya.
Perlu kita ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu
yang sangat utama dan penuh berkah.
Tulisan berikut akan sedikit mengupas mengenai keutamaan
waktu pagi dan bagaimana memanfaatkannya. Semoga Allah selalu memberi kita
taufik untuk mengamalkan setiap ilmu yang telah kita peroleh.
Waktu yang berkah adalah waktu yang penuh kebaikan. Waktu
pagi telah dido’akan khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
waktu yang berkah.
Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah,
berkahilah umatku di waktu paginya.”
Apabila
Nabi shallallahu mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri (yang meriwayatkan hadits
ini, pen) adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika
pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta. Abu Daud
mengatakan bahwa dia adalah Shokhr bin Wada’ah. (HR. Abu Daud no. 2606. Hadits
ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
Ibnu
Baththol mengatakan, “Hadits ini tidak menunjukkan bahwa selain waktu pagi
adalah waktu yang tidak diberkahi. Sesuatu yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (pada waktu tertentu) adalah waktu yang berkah dan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik uswah (suri teladan) bagi
umatnya. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi
dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu yang
lainnya karena pada waktu pagi tersebut adalah waktu yang biasa digunakan
manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat
(fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah
di dalamnya.” (Syarhul Bukhari Libni Baththol, 9/163, Maktabah Syamilah)
[Kedua]
Waktu Pagi adalah Waktu Semangat Untuk Beramal
Dalam
Shohih Bukhari terdapat suatu riwayat dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ،
وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ
الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya
agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar
kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal
dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu
berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah
ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara
kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa
waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di
Fathul Bari)
Yang
dimaksud ‘al ghodwah’ dalam hadits ini adalah perjalanan di awal siang. Al
Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud ‘al ghodwah’ adalah waktu antara shalat
fajar hingga terbitnya matahari. (Lihat Fathul Bari 1/62, Maktabah Syamilah)
Inilah tiga
waktu yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai waktu semangat
(fit) untuk beramal.
Syaikh
Abdurrahmanbin bin Nashir As Sa’di mengatakan bahwa inilah tiga waktu utama
untuk melakukan safar (perjalanan) yaitu perjalanan fisik baik jauh ataupun
dekat. Juga untuk melakukan perjalanan ukhrowi (untuk melakukan amalan akhirat).
(Lihat Bahjah Qulubil Abror, hal. 67, Maktbah ‘Abdul Mushowir Muhammad
Abdullah)
BAGAIMANA
KEBIASAAN ORANG SHOLIH DI PAGI HARI?
[1]
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
An Nawawi
dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari
tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut
terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau
rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Apakah
engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”
Jabir
menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ
يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ
فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.
“Iya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat
duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu
para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu
mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum
saja.” (HR. Muslim no. 670)
An Nawawi
mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan
mengontinukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan).
Al Qadhi
mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama.
Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdo’a hingga
terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/29, Maktabah Syamilah)
[2]
Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu
Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh.
Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk
masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah
budaknya sembari berkata, “Mari silakan
masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil
berdzikir.
Ibnu Mas’ud
lantas berkata, “Apa yang menghalangi
kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”
Lalu kami
menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud
lantas bekata, “Apakah kalian mengira
bahwa keluargaku telah lalai?”
Kemudian
Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit.
Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai
budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian
melihat ke luar. Jika matahari belum
terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa
matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit.”
Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau
mengatakan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى
أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا
“Segala
puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR.
Muslim no. 822)
[3] Keadaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Pagi Hari
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang
kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat
aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya –Ibnu Qayyim
Al Jauziyah.-
Ketika
menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul
Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian
(setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala
hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah
kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah
kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.” (Al Wabilush Shoyib min
Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Sumber https://rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar