Amat Disayangkan
Banyak Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki
Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban
mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Itulah yang sering
kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah
(yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk
menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar
sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir.
Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun
tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu
amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena
Allah, namun hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang
demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan
dalam ayat berikut.
Daftar Isi tutup
1. Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia,
Sungguh Akan Sangat Merugi
2. Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat
Satu Bagianpun Di Akhirat
3. Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
4. Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia
5. Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia
dengan Riya’
6. Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia,
Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Yang
dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu
barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang
dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang
beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”.
Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua
diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan
membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka.
Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada
mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang
mereka cari seutuhnya (sempurna).
Dunia,
mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi
seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir terus
meningkat. Dan itu senyatanya yang
mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia
tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah
firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang hanya
beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia akan
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak akan
memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak menginginkan akhirat.
Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang yang mengharapkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ
وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan
barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang
yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Orang-orang
seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua
dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk mengharapkan
wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan mereka. (Lihat
penjelasan ayat ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)
Sungguh
betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak
sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan
dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas
–radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu
‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin
memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta
segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas
juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat
malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah
akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia
(lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat,
mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan
Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah
mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan
kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan
apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam
beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan
balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya
Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa
seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika seseorang
beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika shalat tahajud,
puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang
akan dia peroleh dan tidak akan dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat?
Sungguh di akhirat dia akan sangat merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di
akhirat disebabkan amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun
bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah
Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir
–rahimahullah- menafsirkan ayat di atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan
di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan
kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun
akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan
sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak
sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan
dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat
tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki.
Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh.
Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun
barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri
berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu
‘anhu-, beliau mengatakan,
بشر هذه الأمة بالسناء
والرفعة والدين والتمكين في الأرض فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في
الآخرة من نصيب
“Umat ini
diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka
bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih
dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu
Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya
shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At
Tarhib)
Terdapat
pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
بشر هذه الأمة بالتيسير
والسناء والرفعة بالدين والتمكين في البلاد والنصر فمن عمل منهم بعمل الآخرة
للدنيا فليس له في الآخرة من نصيب
“Umat ini
diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan
kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan
amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian
pun di akhirat. ”
Tanda
Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari
membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu
Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ ،
وَالدِّرْهَمِ ، وَالْقَطِيفَةِ ، وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ
لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
“Celakalah
hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun
jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.”
(HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis
pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna
hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa
dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang
disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi,
bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba
dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap
wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara
tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin
menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun
tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang
dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ
فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا
إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di
antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka
diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS.
At Taubah: 58)
Itulah
tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia
diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak
kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah
sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.”
Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun
seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak
diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan
untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan
mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho
jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena
yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan
untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap
pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan
balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.
Akan
tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa
ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini
terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin Khottob,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ
مِنِّى. حَتَّى أَعْطَانِى مَرَّةً مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ
مِنِّى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ
مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ
فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ ».
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas
mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih
miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut
padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh
(lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak
merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya.
Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya
keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung
padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali
lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan
sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai
Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan
sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho.
Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena
mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang
tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh.
Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba
dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya
Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia
Niat
seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
[Pertama]
Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama
sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka
orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun.
Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang
mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan
wajah Allah dan negeri akhirat.
[Kedua]
Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan
dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka
semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai
memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga]
Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah
Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia
ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu
mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong
agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa
mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan
ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak
awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan
upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong
dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun
amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama]
Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang
melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini
tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya:
Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti
dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah
laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang
menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua]
Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim
dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa
senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali
silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan
dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya
telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap
mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan
ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan
nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam
amalan ini.
Perbedaan
dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh
Muhammad At Tamimi –rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid
pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau
–rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian?
Riya’ dan
beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan
terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun,
Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya
termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah
beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya.
Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti
shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk
mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan
lainnya.
Tetapi
perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari
dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang
melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun,
untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi,
keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan
Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi
kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari
sisi yang lain.
Kenapa
Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Sebenarnya
jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan
ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia
cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu
menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi
sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini … !!
Semoga
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ
هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ
الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ
الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa
yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai,
dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya
adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah
merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh
kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di
Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah
–saudaraku-, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah
semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap
amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan
tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah
selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi
taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
·
Al
Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di,
Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al
‘Arobiyah As Su’udiyah.
·
I’aanatul
Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
·
At
Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At
Tauhid.
·
Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad
Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat
Tauzi’.
·
Tuhfatul
Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al
Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
****
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Artikel https://rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar