Berusaha untuk
Ikhlas
Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena
keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّمَا
يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
“Allah akan
menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut,
karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.”[1]
Ikhlas
adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut
harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan
jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang
sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan
tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang
musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan,
namun tidak membawa manfaat apa-apa.”
Perintah
untuk Ikhlas
Setiap
amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia
niatkan.”[2]
Dan niat
itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah: 5)
Allah pun
mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي
صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Katakanlah:
“Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya,
pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)
Dalam ayat
lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari
ikhlas- dalam firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu
mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah
Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku
akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya.”[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’
(tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia
akan mendapatkan dosa.”[4]
Dalam
hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا
مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ
لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa
yang menutut ilmu yang sebenarnya harus
ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya
untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga
pada hari kiamat nanti.”[5]
Pengertian
Ikhlas Menurut Para Ulama
Para ulama
menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya
sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.[6]
Abul Qosim
Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam
melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam
rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin
mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah
di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim
juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita
sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin
mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan
kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian
manusia.
Hudzaifah
Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara
zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya’. Riya’ adalah amalan
zhohir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan.
Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan batin.
Dzun Nuun
menyebutkan tiga tanda ikhlas:
1.
Tetap
merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
2.
Melupakan
amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
3.
Mengharap
balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’.
Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau
terselamatkan dari dua hal tadi.”
Ada empat
definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
1.
Meniatkan
suatu amalan hanya untuk Allah.
2.
Tidak
mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
3.
Kesamaan
antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
4.
Mengharap
balasan dari amalannya di akhirat.
Nantikan
pembahasan selanjutnya mengenai tanda-tanda ikhlas. Semoga Allah memudahkan
dalam setiap urusan.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Follow on TwitterSend an emailNovember 19,
200926 27,259 3 minutes read
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
[1] HR. An Nasa-i no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin
Khattab.
[3] HR. Muslim no. 2985, dari Abu Hurairah.
[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.
[5] HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu Majah no. 252, dari Abu
Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Kami ambil perkataan-perkataan ulama tersebut dari
kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu
‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H.
0 komentar:
Posting Komentar