MENYINGKAP RAHASIA Di Balik Fadhilah AL HAWQOLAH
Dalam riwayat yang dishahihkan oleh al-Hakim dan
disepakati oleh adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kalimat “Laa haula walaa quwwata
illaa billaahi” merupakan harta karun yang terletak di bawah ‘Arsy. Dalam riwayat
yang lain (al-Musnad: 5/418, Shahih Ibn Hibban no. 821) disebutkan bahwa
kalimat tersebut merupakan tanaman-tanaman di surga. [dinukil dari Fiqhul
Ad’iyati wal Adzkaar: 1/278]
Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah r
memerintahkan untuk memperbanyak ucapan “Laa haula walaa quwwata illaa
billaahi” (Silsilah ash-Shahihah: 2528], dan ini menunjukkan betapa agungnya
kedudukan kalimat tersebut. Sehingga wajib bagi kita untuk mempelajari
kandungan maknanya sekaligus mengamalkannya dengan benar.
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin al-Badr
hafizhahullaah mengatakan: “Merupakan kelaziman bagi setiap muslim (dalam
berdzikir kepada Allah) untuk memahami maksud dan makna kalimat ini, agar
dzikirnya kepada Allah berdiri di atas dasar ilmu dan pemahaman tentang maksud
kalimat dzikir yang diucapkannya. Adapun jika seorang muslim sekedar
mengulang-ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau lafaz yang tidak
diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di hati dan faidah yang diperoleh
pun lemah.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna)
kalimat ini (demikian juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya),
karena dengan itu, dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya akan terwujud,
yang berdzikir pun akan meraih faidahnya.” [Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280]
HAKIKAT MAKNA AL-HAWQOLAH
Kalimat al-Hawqolah, sebagaimana dikatakan oleh para
ulama, mengandung konsekuensi makna; “isti’aanah (memohon pertolongan) hanya
kepada Allah.” Karena kalimat ini berisi ikrar hamba, bahwasanya ia sedikitpun
tidak memiliki daya dan kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan dan
menghindar dari apa yang dibencinya, kecuali dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari al-Maula, yaitu Allah semata.
Sungguh para Salaf begitu mendalam pemahamannya tentang
rahasia makna kalimat ini. Renungkanlah bagaimana Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu
menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla walaa quwwata illaa billaah) dengan
ucapannya:
لاَ
حَوْلَ بِنَا عَلَى الْعَمَلِ بِالطَّـاعَةِ إلاَّ بِاللهِ، وَلاَ قُوَّةَ لَنَا
عَلَى تَرْكِ الْمَعْصِيَةِ إلاَّ بِاللهِ
“Tidak ada
kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan ketaatan kecuali dengan pertolongan
Allah, dan tidak ada kekuatan bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali
dengan pertolongan dari Allah (pula).”
Demikian
pula Zuhair bin Muhammad pernah ditanya tentang makna “Laa hawla walaa quwwata
illaa billaah”, lalu beliau menjawab:
لاَ تَأْخُذُ مَا تُحِبُّ
إِلاِّ بِاللهِ، وَلاَ تَمْتَنِعُ مِمَّا تَكْرَهُ إِلاَّ بِعَوْنِ اللهِ
“Engkau
tidak akan mampu meraih apa-apa yang engkau sukai kecuali dengan pertolongan
Allah, dan engkau tidak akan mampu menghindar dari apa-apa yang engkau benci
kecuali dengan pertolongan Allah pula.”
Kedua
tafsiran tersebut diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsuur:
5/393-394 [dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/282]
Oleh sebab
itu, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullaah mengatakan dalam kitabnya
Madaarijus Saalikiin (1/78): “Tidak diragukan lagi bahwasanya do’a yang paling
bermanfaat dan paling utama bagi hamba adalah do’a agar ia mendapatkan
pertolongan dari Allah demi meraih keridhaan-Nya dan taufik dalam mentaati-Nya.
Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Mu’adz bin
Jabal karena kecintaannya kepada Mu’adz:
يَا مُعَاذُ، وَاللهِ إِنِي
لأُحِبُّكَ، فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُـوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَـلاَةٍ: اللَّهُمَّ
أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai
Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu, maka dari itu jangan engkau lupa untuk
membaca dipenghujung sholat (setelah tahiyyat, sebelum salam -red) do’a (yang
artinya): ‘Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir kepada-Mu, dalam
mensyukuri-Mu, dan dalam memperbaiki ibadahku kepada-Mu.” [Hadits Shahih, lihat
pula Shahiih Targhiib wat Tarhiib no. 1596, asy-Syaamilah -red]
ANTARA
“AL-HAWQOLAH” DAN “AL-FATIHAH”
Para ulama
mengatakan: Sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallaah” tidak akan ada
faidahnya kecuali dengan mengikhlaskan segenap ibadah hanya bagi Allah semata,
maka demikian pula kalimat al-Hawqolah “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”
tidak akan berarti apa-apa kecuali dengan mengikhlaskan isti’anah (permohonan
pertolongan) hanya kepada Allah semata. Sungguh Allah telah menghimpun
“rahasia” kedua makna tersebut pada satu ayat dalam Surat al-Qur-aan yang
paling agung, al-Fatihah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
“Hanya
kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
Kalimat
pertama (إيَّاكَ نَعْبُدُ) menyiratkan ikrar
perlepasan diri hamba dari kesyirikan, dan kalimat kedua (وإياك نستعين) mengandung ikrar ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan hamba dalam mewujudkan segala hal yang diinginkannya kecuali
dengan pertolongan Allah semata.
Tidak heran
jika Ibnul Qayyim menukil ucapan gurunya (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah): “Aku
meneliti dan merenungkan (kandungan) do’a yang paling bermanfaat (bagi hamba),
maka aku menemukannya pada do’a yang mengandung permintaan tolong hamba kepada
Allah untuk meraih keridhaan-Nya, dan aku melihat (kandungan do’a tersebut) ada
di al-Fatihah (إياك نعبد وإياك نستعين)…”
[Madaarijus Saalikiin: 1/78, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/284]
ANTARA
“AL-HAWQOLAH” DAN “TAWAKKAL”
Kalimat
“Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” juga mengandung konsekuensi tawakkal
hanya kepada Allah. Yang demikian ini, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dikarenakan segala perkara bergantung pada masyii-atillaah
(kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya. Betapapun seorang hamba berjuang dalam
ikhtiarnya meraih hasrat dan impian, keputusan akhir tetap ada di tangan Allah,
karena hanya Dia yang memiliki kemampuan dan kekuatan. Seorang hamba hanya
wajib ber-ikhtiar, sedang kepastian setiap perkara ada dalam genggaman-Nya,
maka harapan hanya pantas ditujukan kepada Allah saja, dan itu mutlak
membutuhkan tawakkal.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menukil sebuah atsar yang indah dan sarat makna, ketika
menjelaskan hakikat ini:
مَنْ سَرَّهُ أنْ يَكُوْنَ
أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ، وَمَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ
أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ اللهِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا فِيْ
يَدِهِ
“Barangsiapa
senang menjadi manusia yang paling kuat, maka hendaklah ia bertawakkal kepada
Allah. Dan barangsiapa yang senang menjadi manusia yang paling kaya, maka
hendaklah apa-apa yang ada di tangan Allah lebih pasti baginya dibandingkan
dengan apa-apa yang telah ada dalam genggaman tangannya (sekalipun).” [Majmu’ Fatawa: 13/321-322, dinukil dari
Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/283]
Demikianlah
rahasia di balik keagungan al-Hawqolah. Tentunya setelah memahami makna kalimat
ini, kita bisa mengamalkannya dalam do’a dengan hati yang lebih khusyu’, penuh
harapan dan rasa ketundukan pada Allah ‘azza wa jalla, terutama pada 2 kondisi
yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Petama;
saat memohon pertolongan Allah. dan kedua; ketika bertawakkal, menanti
keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar.
***
Disusun
oleh Redaksi al-Hujjah (semoga Allah mengampuni dan meninggikan derajatnya)
Muroja’ah
oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
Sumber
Bacaan Utama:
Fiqhul
Ad’iyah wal Adzkaar (1/275-284)
Karya
Tulis: Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin
Abdulmuhsin al-Badr
1 komentar:
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
Posting Komentar