Senin, 25 November 2019

Mukjizat Istighfar pada Waktu Sahur


Mukjizat Istighfar pada Waktu Sahur


“Wa bil–ashâri hum yastaghfirûn(a), dan pada waktu sahur, mereka pun beristighfar”
 [adz Dzâriyyât : 18]

Berbincang tentang istighfar pada waktu sahur, ada dua ayat yang diabadikan Allah dalam firman-Nya; pertama, surat Ali Imran ayat 17, kedua, surat Adz-Dzariyat ayat 18. Kedua ayat ini sama-sama menyebutkan salah satu amalan orang yang dijanjikan surga; beristighfar pada waktu sahur. Kita bertanya, sedemikian istimewakah waktu sahur sehingga beristighfar pada waktu itu berbuah surga?

Jawabannya, tentu iya. Berikut sedikit penjelasan tentang masalah ini.

Waktu Sahur dan Keistimewaannya

Tentang waktu sahur, Sayyid Quthb dengan sangat baik hati memaparkan kepada kita tentang betapa indahnya waktu mulia ini dalam karya fenomenalnya, Fi Zhilâlil Qur’ân; beliau menjelaskan ketika menafsiri surat Ali Imran ayat 17 yang berbunyi, “Ash-shâbirîna wash-shâdiqîna wal-qânitîna wal-munfiqîna wal-mustaghfirîna bil ashâr, (juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sahur.” Katanya, “Kata ‘Al-Ashâr’ yang bermakna pada waktu sahur itu sendiri mengambarkan situasi pada waktu malam menjelang fajar. Saat yang hening, menimbulkan nuansa lembut dan tenang, dan tercurahlah semua perasaan serta getaran yang tertahan dalam hati. Apabila hal ini dipadukan dengan istighfar, maka akan memberikan kesan yang amat serasi dalam jiwa dan hati nurani, dan akan bertemulah ruh manusia dengan ruh alam semesta, yang sama-sama menghadap kepada Pencipta alam dan Pencipta manusia.” Kemudian Sayyid Quthb mengakhiri, “Mereka yang sabar, jujur, taat kepada Allah, suka berinfak dan memohon ampunan Allah pada waktu sahur, akan mendapatkan keridhaan Allah. Merekalah yang layak mendapatkan keridhaan dengan naungannya yang segar dan maknanya yang penuh kasih sayang. Ini lebih baik dari semua keinginan dan semua kesenangan.”

Nashir Makarim Asy-Syairazi, dalam kitabnya ‘Al-Amtsal fî Tafsîri KitâbillÂh Al-Munazzal’ juga berkata, “Mengapa diisyaratkan kepada waktu sahur dari semua waktu siang-malam, padahal istighfar dan dzikir itu dituntut pada tiap waktu? Itu tersebab keistimewaan waktu sahur; ialah waktu tenang, hening dan jauh dari aktivitas-aktivitas yang bersifat materi, dan juga karena semangat yang dirasakan seseorang setelah bangun dari istirahat dan tidurnya,. Ia menjadi lebih siap menghadap Allah. Inilah yang bisa dicerna sesuai dengan pengalaman. Sehingga beberapa ulama ada yang mengoptimalkan waktu sahur ini untuk memecahkan masalah-masalah ilmiah. Jadi, cahaya berfikir dan ruh manusia itu lebih berpendar dan memancar pada waktu tersebut, dibanding waktu kapan pun. Dan juga karena ruh ibadah dan istighfar adalah menghadapkan dan menghadirkan hati, maka ibadah dan istighfar pada waktu ini lebih agung dari waktu kapan pun.”

Karenanya, waktu sahur ialah salah satu waktu teristimewa untuk berdoa, meminta, dan beristighfar kepada Allah. Orang yang paling beruntung adalah orang yang memanfaatkan kesempatan emas ini, karena doa, pinta dan istighfar akan dijawab oleh Allah. Pada waktu inilah, -lantaran termasuk sepertiga malam terakhir-, Dzat yang Maha Kaya, Pemilik segala perbendaharaan langit dan bumi turun ke langit dunia untuk mengabulkan semua doa, pinta dan istighfar hamba-hamba-Nya. Rasulullah bersabda,


« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ »

            
“Rabb kita Tabâraka wa Ta’âlâ turun pada setiap malam ke langit dunia ketika malam hanya tinggal sepertiga di akhir, lalu berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, barangsiapa meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri, dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku, pasti akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, hadits nomor 1094).

Tentang hadits di atas, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan tentang perbedaan antara tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu doa, pinta dan istighfar. Beliau berkata, “Sesuatu yang dicari itu bisa berupa terhindarnya seseorang dari mudharat dan tercapainya keinginan, atau karena ingin mendapatkan maslahat agama, atau bisa juga karena ingin mendapatkan maslahat duniawi. Istighfar bermanfaat untuk mendapatkan poin pertama, doa bermanfaat untuk mendapatkan poin kedua, dan pinta bermanfaat untuk mendapatkan poin ketiga.”

Maka, siapa yang ingin terhindar dari mudharat, keinginannya terkabulkan, mengharap mendapatkan maslahat agama dan dunia, hendaknya memanfaatkan waktu sahur meminta, berdoa dan beristighfar kepada-Nya.

Ah, kita jadi teringat perbincangan antara Nabi Dawud dan Malaikat Jibril yang diabadikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu karyanya, Az-Zuhd. Ketika itu, Nabi Dawud bertanya, “Yâ Jibrîl, ayyul laili afdhal, wahai Jibril, waktu malam manakah yang paling utama.” Kemudian Jibril menjawab, “lâ adri, aku tidak tahu”, tetapi kemudian Jibril memberitakan kejadian di sekitaran langit ketika waktu sahur, “Illâ annal arsya yahtazzu minas sahar, hanyasaja pada waktu sahur, Arsy berguncang.”

Iya, Arsy Allah berguncang. Mungkin karena ada jutaan, bahkan milyaran pinta, doa, dan istighfar manusia dan jin yang naik ke langit itulah, Arsy Ar-Rahman berguncang; hamba-hamba yang lemah, miskin, tak berdaya itu sedang bermunajat kepada Pemilik kekuasaan yang kalau seandai pun Dia memberi semua pinta dan doa semua makhluk; jin dan manusia, dari awal sampai akhir, pengabulan pinta-doa mereka tidak mengurangi kerajaan-Nya, kecuali hanya sebatas seperti jarum yang membawa setitik air dari air laut seluruhnya.

Istighfar pada Waktu Sahur

Mengingat urgensi waktu sahur, maka meminta, berdoa, dan istighfar adalah kebutuhan yang tidak boleh diabaikan. Kita sangat membutuhkan karunia, kebaikan, dan ampunan Allah, melebihi segala-galanya, melebihi semua kenikmatan yang ada.

Beristighfar pada waktu mulia ini menjadi semakin bermakna karena itu merupakan bentuk pengamalan dari perintah Allah.

Anas bin Malik berkata, “Umirnâ an nastaghfira bis sahar sab’îna istighfâratan, kita diperintahkan untuk beristighfar 70 kali pada waktu sahur.”

Oleh itulah, para shalihin mengisi waktu sahur dengan istighfar. Berikut beberapa contohnya :
Nafi’ berkata, “Adalah Ibnu Umar selalu menghidupkan malamnya, kemudian bertanya, “Wahai Nafi’, apakah kita sudah masuk waktu sahur?” aku menjawab, “Belum.” Lalu beliau kembali melanjutkan shalatnya, kemudian bertanya, ketika aku sudah menjawab iya, beliau bersiap-siap beristighfar.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan riwayat Ibrahim bin Hathib yang meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Pada waktu sahur, aku pernah mendengar ada seorang lelaki di sudut masjid berkata, “Yâ Rabb, amartanî fa atha’tuka, wa hadza saharun fa-ghfir lî, Ya Allah, Engkau memerintahkanku lalu aku menaati-Mu, sekarang adalah waktu sahur maka ampunilah aku.” Aku pun melihat lelaki itu, ternyata dia adalah Ibnu Mas’ud.

Ibnu Zaid, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya, mengatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa Nabiyullah Ya’qub Shallallâhu alaihi wa sallam, ketika diminta oleh anak-anaknya agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, “Yâ abânâ-staghfir lanâ dzunûbanâ, wahai ayah, mintalah ampunan untuk dosa-dosa-dosa kami.” Beliau menjawab, “Saufa astaghfiru lakum rabbî, aku akan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.” Ibnu Zaid melanjutkan, “Sebagian ahli ilmu –dan mayoritas mufassirin- menyebutkan bahwa beliau mengakhirkan istighfar untuk mereka (anak-anaknya) hingga waktu sahur.” Sebagian ahli ilmu juga menyebutkan bahwa saat di mana pintu-pintu surga dibuka adalah waktu sahur. [as-sâ’ah al-latî tuftahu fîhâ abwâbul jannatu, as-saharu].

Demikianlah, akhirnya kita berkesimpulan bahwa waktu sahur adalah salah satu waktu terbaik untuk meminta, berdoa dan beristighfar kepada Allah Ta’ala.

Sebagai penutup, mari merenungi kekata Luqman, ahli hikmah yang namanya diabadikan oleh Allah menjadi nama surat di dalam Al-Qur’an itu. Beliau pernah menasehati putranya, “Yâ bunayya, lâ yakunid-dîk akyasa minka, yunâdî bil ashâri wa anta nâ’im, wahai anakku, janganlah sampai ayam jantan lebih cerdas daripada dirimu; dia berkokok pada waktu sahur sementara dirimu masih terlelap tidur.” Allâhumma waffiqnâ lil amalish shâlih.

-terbit di majalah Ar-Risalah edisi mei 2013 insyaAllah.

1 komentar:

DEWAPK^^ agen judi terpercaya, ayo segera bergabungan dengan kami
dicoba keberuntungan kalian bersama kami dengan memenangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera buka link kami ya :)

Posting Komentar