Mewaspadai Kufur
Nikmat
Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyak.
Tidak ada seorangpun diantara kita yang mampu menghitungnya. Baik berupa harta,
keluarga, kesehatan dan yang paling besar adalah nikmat hidayah iman dan islam.
Sebagaimana yang Allah firmankan :
وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl:
53)
Namun
seringkali kita kurang menyadari akan nikmat yang telah kita terima tersebut.
Sehingga tentu saja membuat kita lalai dari mensyukurinya. Padahal seorang
muslim wajib mensyukuri nikmat yang ia peroleh. Allah ta’ala berfirman :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah
kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku,
janganlah kalian kufur” (QS. Al Baqarah: 152)
Dalam ayat
ini, Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk bersyukur atas nikmat yang
telah Allah berikan dan melarang kita untuk berbuat kufur. Bahkan di ayat yang
lain Allah mengancam orang-orang yang berbuat kufur dengan adzab yang pedih.
Sebagaimana dalam firman Nya :
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“… dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS.
Ibrahim: 7)
Oleh karena
itu wajib bagi kita untuk perhatian terhadap perkara yang penting ini, sehingga
tidak menjadi golongan orang-orang yang kufur atas nikmat Allah dan dapat
terhindar dari ancaman adzab yang pedih.
Definisi
kufur nikmat
Kufur
nikmat merupakan lawan dari mensyukuri nikmat. Syukur adalah menampakkan
pengaruh nikmat yang telah Allah berikan kepada seorang hamba dari hatinya
dengan keimanan, dari lisannya dengan pujian dan dari anggota badannya dengan
ibadah serta ketaatan1. Sehingga seorang dapat dikatakan bersyukur jika
terpenuhi tiga unsur :
Hatinya
meyakini bahwa semua nikmat yang didapatkan adalah berasal dari Allah
Lisannya
memuji Allah
Anggota
badannya digunakan untuk beramal sholeh
Barangsiapa
yang tidak merealisasikan ketiga perkara tersebut, maka ia telah terjatuh dalam
kufur nikmat.
Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan dalam kitab At-Tamhid : “Maka
wajib bagi seorang hamba memahami benar-benar bahwa setiap nikmat adalah
berasal dari Allah. Kesempurnaan tauhid tidak mungkin terwujud tanpa sikap penyandaran
setiap nikmat kepada Allah. Penyandaran nikmat kepada selain Allah merupakan
kekurangan dari kesempurnaan tauhid dan termasuk dalam kesyirikan kepada
Allah”2
Seringkali
kita jumpai, sebagian orang menyandarkan nikmat yang ia terima kepada selain Allah.
Misalnya seorang ketika dalam kesulitan (yang disertai kegelisahan hati),
tiba-tiba temannya datang memberikan pertolongan. Kemudian serta merta hati dia
menjadi tenang dan mengucapkan “Untung ada kamu, coba kalau tidak… pasti akan
terjadi bigini dan begitu”.
Maka hal
ini adalah keliru. Karena sesungguhnya nikmat pertolongan itu datang dari Allah
ta’ala. Allah menjadikan sebab datangnya seseorang untuk terwujudnya
pertolongan. Sudah sepatutnya kita menyandarkan hati/tawakal hanya kepada Allah
dan bersyukur kepada-Nya.
Allah
ta’ala berfirman :
يَعْرِفُونَ نِعْمَةَ اللَّهِ
ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا
“Mereka
mengetahui nikmat Allâh, kemudian mereka mengingkarinya” (QS : An-Nahl:83).
Syaikh
‘Utsaimin menjelaskan makna ayat tersebut : “Mereka mengingkari penyandaran
nikmat kepada Allah. Mereka menjadikan penyandaran hatinya hanya kepada sebab.
Mereka lupa kepada yang menciptakan sebab yaitu Allah subhanahu wata’ala.”3
Hukum
menyandarkan nikmat kepada selain Allah
Para ulama
merinci orang yang menyandarkan nikmat kepada selain Allah menjadi beberapa
keadaan.
1. Jika
penyandaran nikmat tersebut dengan maksud berita, serta berita tersebut adalah
berita yang benar dan sesuai kenyataan, maka hal ini dibolehkan.
contoh :
Seorang mendapat warisan sebuah rumah yang ia tinggali. Kemudian ia di tanya
:”Dari mana engkau dapatkan rumah ini?” maka ia menjawab :”Rumah ini warisan
dari orang tua saya”
2. Jika
penyandaran nikmat tersebut menunjukkan sebab diperolehnya nikmat, maka dirinci
menjadi beberapa keadaan :
Sebab
tersebut adalah sebab yang tidak nampak dan tidak dapat memberikan pengaruh
sama sekali, maka hal ini termasuk kedalam syirik akbar.
Contoh :
Seseorang berkata : Seandainya tidak ada wali fulan tidak akan terjadi ini dan
itu (dengan keyakinan wali yang telah mati tersebut dapat mengatur apa yang
terjadi di dunia)
Sebab
tersebut adalah sebab yang diterima secara syari’at atau qodari (yaitu sebab
yang diketahui dapat memberikan pengaruh setelah melalui percobaan atau
penelitian), maka hal ini diperbolehkan dengan syarat tanpa disertai keyakinan
bahwasanya sebab tersebut dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya dan tanpa
melupakan Dzat yang sesungguhnya telah memberikan nikmat tersebut, yaitu Allah
ta’ala
Contoh :
Seseorang mendapatkan nikmat sembuh dari suatu penyakit dengan sebab meminum
obat tertentu. Namun ia meyakini yang memberikan kesembuhan adalah Allah. Ia
mengatakan “Setelah minum obat ini penyakit saya sembuh atas izin Allah”
Sebab
tersebut adalah sebab yang nampak, namun bukan merupakan sebab yang dibenarkan
baik secara syari’at maupun qodari, dengan tetap diiringi keyakinan Allah yang
memberikan nikmat tersebut. Maka hal ini termasuk dalam syirik kecil.
Contoh :
Seseorang menggunakan jimat karena menganggap dapat menjadi sebab agar dirinya
tercegah dari pengaruh buruk. Namun ia tetap meyakini bahwa yang mencegah
keburukan darinya adalah Allah4.
Kisah Qorun
sebagai pelajaran bagi orang yang kufur nikmat
Allah
ta’ala memberikan banyak pelajaran kepada kita melalui kisah-kisah yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Diantara kisah tersebut adalah kisah Qorun yang
memiliki harta berlimpah sebagaimana terdapat dalam Al- Qur’an surat Al-Qashash
ayat 76 sampai 83. Pada ayat tersebut diceritakan Qorun berlaku sombong atas
harta yang ia miliki. Allah berfirman :
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ
عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ
قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Qorun
berkata: “”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS Al-Qashash : 78)
Dalam ayat
tersebut, Allah menceritakan kisah Qorun yang tidak mensyukuri nikmat yang
telah diberikan kepadanya. Ia tidak memuji Allah yang telah memberikan nikmat
kepadanya. Ia juga tidak menggunakan nikmat harta yang diperoleh dalam jalan
ketaatan. Maka inilah bentuk kufur nikmat yang dilakukan Qorun. Maka Allah
memberikan adzab yang pedih yaitu ditenggelamkan ke dalam bumi beserta seluruh
hartanya. Allah ta’ala berfirman :
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ
الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا
كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ
“Maka Kami
benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu
golonganpun yang menolongnya terhadap adzab Allah. Dan tiadalah ia termasuk
orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al Qashash : 81).
Demikianlah
balasan bagi orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Sudah seharusnya
kita mengambil pelajaran dari kisah tersebut sehingga tidak ada pada diri kita
sifat kufur nikmat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang
pandai bersyukur dan dijauhkan dari sifat kufur nikmat.
***
Catatan
kaki
1 Syaikh
Muhammad Sholeh Al Munajid dalam kitab Asy-Syukru hal 8
2 Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh dalam kitab At – Tamhid 2/134
3 Syaikh
Utsaimin, dalam kitab Al-Qoul Al-Mufid 2/201
4 Syaikh
Utsaimin, dalam kitab Al-Qoul Al-Mufid 2/203
—
Penulis: Ndaru Tri Utomo
Artikel Muslim.Or.Id
1 komentar:
DEWAPK^^ agen judi terpercaya, ayo segera bergabungan dengan kami
dicoba keberuntungan kalian bersama kami dengan memenangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera buka link kami ya :)
Posting Komentar