Di antara nikmat besar yang sering dilalaikan manusia
adalah nikmat mendapatkan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua
nikmat yang banyak membuat manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu
luang.”[1]
Kita bisa
melihat kondisi diri kita, ketika kita sedang ada waktu luang. Kita justru
menghabiskan waktu tersebut untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya, baik
manfaat untuk kehidupan di dunia, lebih-lebih manfaat untuk kehidupan kita di
akhirat kelak. Kita jutsru menghabiskan waktu untuk main game seharian, atau
nonton serial film, atau mengecek timeline facebook dari ujung atas sampai
ujung bawah dilihat dan dibaca satu-satu padahal tidak ada status yang
berfaidah. Atau ngobrol di grup whatsapp sampai ke sana ke mari ratusan chat,
yang terkadang membuat kita terjerumus ke dalam dosa besar berupa menggunjing
aib saudara kita. Kondisi yang hampir kita tidak lakukan ketika kita sedang
sibuk dengan urusan-urusan penting sehingga kita tidak memiliki waktu yang
cukup untuk sekedar istirahat.
Padahal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita, bahwa di antara
tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ada
manfaatnya. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ
الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara (tanda)
kebaikan Islam seseorang adalah (dia) meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat.”[2]
Oleh karena
itu, manfaatkanlah waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. Demikian juga semua
nikmat Allah Ta’ala yang lainnya. Jika tidak, bisa jadi Allah Ta’ala justru
akan menguji kita dengan berbagai hal yang membahayakan diri kita sendiri.
Bentuknya, justru kita menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang Allah
Ta’ala haramkan.
Oleh karena
itu, sungguh indah penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di
rahimahullah ketika beliau menjelaskan ayat,
وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ
“Dan
setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa
(kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab
(Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)-nya, seolah-olah mereka
tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 101)
Ketika
Rasul datang kepada mereka yang membawa kitab yang membenarkan apa yang ada
pada mereka, mereka jutsru mengingkarinya (bukannya bersyukur dan beriman atas
nikmat tersebut), seolah-olah mereka tidak mengetahui (padahal mereka
mengetahui kebenaran).
Syaikh
‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
ولما كان من العوائد القدرية
والحكمة الإلهية أن من ترك ما ينفعه، وأمكنه الانتفاع به فلم ينتفع، ابتلي
بالاشتغال بما يضره، فمن ترك عبادة الرحمن، ابتلي بعبادة الأوثان، ومن ترك محبة
الله وخوفه ورجاءه، ابتلي بمحبة غير الله وخوفه ورجائه، ومن لم ينفق ماله في طاعة
الله أنفقه في طاعة الشيطان، ومن ترك الذل لربه، ابتلي بالذل للعبيد، ومن ترك الحق
ابتلي بالباطل.
”Termasuk
di antara keajaiban takdir dan hikmah ilahiyyah adalah barangsiapa yang
meninggalkan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, padahal memungkinkan baginya
untuk meraihnya (namun dia tidak mau berusaha meraihnya), maka dia akan
mendapat ujian dengan disibukkan dalam hal-hal yang membahayakan dirinya.
Barangsiapa yang meninggalkan ibadah kepada Allah, maka dia akan mendapat ujian
berupa beribadah kepada berhala. Barangsiapa yang meninggalkan rasa cinta
kepada Allah, takut, dan berharap kepada-Nya, maka dia akan mendapat ujian
dengan mencintai, takut, dan berharap kepada selain Allah. Barangsiapa yang
tidak membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, maka dia akan
membelanjakannya dalam ketaatan kepada setan. Barangsiapa yang meninggalkan
ketundukan kepada Allah, dia akan mendapat ujian dengan tunduk kepada hamba-Nya.
Dan barangsiapa yang meninggalkan kebenaran, dia akan mendapat ujian dengan
terjerumus dalam kebatilan.” [3]
[1] HR. Bukhari no. 6412
[2] HR. Tirmidzi no. 2317; Ibnu Majah no. 3976. Dinilai
shahih oleh Syaikh Al-Albani
[3] Taisiir Karimir Rahman, hal. 60-61
***
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar