Senin, 18 April 2022

Tanda Allah Menghendaki Kebaikan pada Seseorang

 Tanda Allah Menghendaki Kebaikan pada Seseorang

 

BincangSyariah.Com – Setiap manusia (hamba) pasti ingin menggapai kebahagian di dunia dan akhirat, tanpa terkecuali. Kendati pun seorang manusia melakukan keburukan di atas muka bumi ini haruslah ia tetap berharap agar mendapatkan rahmat dan ampunan Allah Swt. Di antara tanda Allah menghendaki kebaikan pada seseorang itu ia bertaubat dari segala dosa yang dilakukan serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Allah swt. berfirman:

 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

 

“Katakanlah, Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya dialah yang maha pengampun dan lagi maha penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53)

Untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, terlebih dahulu kita harus memperbaiki diri masing-masing, karena pada sejatinya kehidupan akan membaik ketika manusia memulai dengan membenahi diri sendiri.

Dalam kondisi ini, ada 3 tanda Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashaihul Ibad:

Pertama, Allah swt. Akan meneguhkan pemahaman seorang hamba terhadap agama Islam, sehingga dalam melaksanakan syariat dia tetap berjalan di atas jalan yang lurus berdasarkan tuntunan Islam. Nabi Muhammad saw bersabda:

 

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

 

“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan meneguhkan pemahamannya tentang agama (Islam).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Imam as-Shan’ani di dalam kitabnya Subulussalam menjelaskan bahwa memahami Islam (Tafaqquh fi al–Din) adalah dengan mengetahui aturan-aturan Islam, mengetahui halal-haram, dan memahami muslim yang tidak dikehendaki baik oleh Allah adalah muslim yang tidak berusaha memiliki pengetahuan tentang Syari’at Islam. Karena tidak mungkin, Islam seseorang bisa dikatakan baik jika ia belum mengetahui tentang apa yang diperintahkan Allah dan dilarang-Nya.

Kedua, hamba yang baik adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlapnya dunia. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalih untuk tidak mencari nafkah, tetaplah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus menggadaikan agama untuk memperoleh dunia.

Ia berpikir bahwa dunia hanyalah sebagai tempat tinggal semata dan bukan tujuan yang utama. Karena tak mungkin seorang hamba dapat mencintai tuhannya, bila ia masih mencintai dunia. Sebagaimana maqolah Imam as-Syafi’i yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:

 

مَنْ ادَّعَى اَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ حُبّ الدُنْيَا وَحُبُّ خَالِقِهَا فِيْ قَلْبِهِ ، فَقَدْ كَذَّبَ

 

“Barang siapa yang mengaku telah mengumpulkan di dalam hatinya antara cinta dunia dan cinta dzat yang mencipta dunia, maka sungguh dia telah berdusta”.

Hamba yang baik akan mengingat janji Allah akan jaminan kehidupan yang kekal kelak di akhirat nanti. Dan ia ingat akan nasihat rasulullah saw. Perihal dunia dalam hadisnya bahwa:

 

حُبُّ الدُنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ

 

“Cinta dunia adalah merupakan pokok dari segala keburukan.” (H.R. Baihaqi)

Imam al-Ghazali menjelaskan di dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengenai makna zuhud. Menurutnya, seseorang yang meninggalkan cinta dunia akan memiliki sifat murah hati (dermawan), karena barang siapa mencintai sesuatu, maka ia akan mempertahankannya (karena berat tangan untuk bersedekah seperti berinfak dijalan Allah), dan hanyalah orang yang beranggapan dunia adalah hal yang remeh, yang sudi melepaskan hartanya (untuk bersedekah).

Ketiga, Allah akan mengkaruniakan kepada hamba-Nya yang dikehendaki menjadi orang baik, Allah akan memperlihatkan terhadap aib-aib dirinya sendiri sehingga ia disibukkan dengan Muhasabah an–Nafs (introspeksi diri) tanpa disibukkan mengurusi aib orang lain. Hal ini selaras dengan perkataan ulama ahli hikmah:

 

طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَاسِ

 

 “Beruntunglah orang-orang yang disibukkan dengan aibn pribadinya daripada aib-aib manusia yang lain.” (Baca: Coba Introspeksi, Pernahkah Kita Sombong Saat Mendapatkan Nikmat?)

Dan nabi pernah bersabda mengenai hal ini didalam hadisnya yang berbunyi:

 

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

 

“Termasuk baik dan sempurnanya keIslaman seseorang adalah melalaikan setiap sesuatu (ucapan ataupun tindakan) yang tidak bermanfaat baginya.” (H.R. Tirmidzi dan Ibn Majah)

Semoga kita termasuk hamba Allah yang selalu diberi Taufik, Hidayah, dan Ma’unah-Nya, sehingga kita masuk dalam golongan hamba yang bertakwa dan dikehendaki baik oleh-Nya sa’adah fi al-dunya wa al-akhirah.

 

Penulis Abqoriyyul Afifi

https://bincangsyariah.com

 

0 komentar:

Posting Komentar