Tanda Allah Menghendaki Kebaikan pada Seseorang
BincangSyariah.Com – Setiap manusia (hamba) pasti ingin
menggapai kebahagian di dunia dan akhirat, tanpa terkecuali. Kendati pun
seorang manusia melakukan keburukan di atas muka bumi ini haruslah ia tetap
berharap agar mendapatkan rahmat dan ampunan Allah Swt. Di antara tanda Allah
menghendaki kebaikan pada seseorang itu ia bertaubat dari segala dosa yang
dilakukan serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Allah swt. berfirman:
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن
رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah,
Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya dialah yang maha pengampun
dan lagi maha penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53)
Untuk
mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, terlebih dahulu kita harus memperbaiki
diri masing-masing, karena pada sejatinya kehidupan akan membaik ketika manusia
memulai dengan membenahi diri sendiri.
Dalam
kondisi ini, ada 3 tanda Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya. Ini
sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nawawi Banten di dalam kitabnya
Nashaihul Ibad:
Pertama,
Allah swt. Akan meneguhkan pemahaman seorang hamba terhadap agama Islam,
sehingga dalam melaksanakan syariat dia tetap berjalan di atas jalan yang lurus
berdasarkan tuntunan Islam. Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang
siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan meneguhkan pemahamannya
tentang agama (Islam).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Imam
as-Shan’ani di dalam kitabnya Subulussalam menjelaskan bahwa memahami Islam
(Tafaqquh fi al–Din) adalah dengan mengetahui aturan-aturan Islam, mengetahui
halal-haram, dan memahami muslim yang tidak dikehendaki baik oleh Allah adalah
muslim yang tidak berusaha memiliki pengetahuan tentang Syari’at Islam. Karena
tidak mungkin, Islam seseorang bisa dikatakan baik jika ia belum mengetahui
tentang apa yang diperintahkan Allah dan dilarang-Nya.
Kedua,
hamba yang baik adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlapnya
dunia. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalih untuk tidak mencari nafkah,
tetaplah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus menggadaikan
agama untuk memperoleh dunia.
Ia berpikir
bahwa dunia hanyalah sebagai tempat tinggal semata dan bukan tujuan yang utama.
Karena tak mungkin seorang hamba dapat mencintai tuhannya, bila ia masih mencintai
dunia. Sebagaimana maqolah Imam as-Syafi’i yang dikutip oleh Imam al-Ghazali
dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:
مَنْ ادَّعَى اَنَّهُ جَمَعَ
بَيْنَ حُبّ الدُنْيَا وَحُبُّ خَالِقِهَا فِيْ قَلْبِهِ ، فَقَدْ كَذَّبَ
“Barang
siapa yang mengaku telah mengumpulkan di dalam hatinya antara cinta dunia dan
cinta dzat yang mencipta dunia, maka sungguh dia telah berdusta”.
Hamba yang
baik akan mengingat janji Allah akan jaminan kehidupan yang kekal kelak di
akhirat nanti. Dan ia ingat akan nasihat rasulullah saw. Perihal dunia dalam
hadisnya bahwa:
حُبُّ الدُنْيَا رَأْسُ كُلِّ
خَطِيْئَةٍ
“Cinta
dunia adalah merupakan pokok dari segala keburukan.” (H.R. Baihaqi)
Imam
al-Ghazali menjelaskan di dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengenai makna zuhud.
Menurutnya, seseorang yang meninggalkan cinta dunia akan memiliki sifat murah
hati (dermawan), karena barang siapa mencintai sesuatu, maka ia akan
mempertahankannya (karena berat tangan untuk bersedekah seperti berinfak
dijalan Allah), dan hanyalah orang yang beranggapan dunia adalah hal yang
remeh, yang sudi melepaskan hartanya (untuk bersedekah).
Ketiga,
Allah akan mengkaruniakan kepada hamba-Nya yang dikehendaki menjadi orang baik,
Allah akan memperlihatkan terhadap aib-aib dirinya sendiri sehingga ia disibukkan
dengan Muhasabah an–Nafs (introspeksi diri) tanpa disibukkan mengurusi aib
orang lain. Hal ini selaras dengan perkataan ulama ahli hikmah:
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ
عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَاسِ
“Beruntunglah orang-orang yang disibukkan
dengan aibn pribadinya daripada aib-aib manusia yang lain.” (Baca: Coba
Introspeksi, Pernahkah Kita Sombong Saat Mendapatkan Nikmat?)
Dan nabi
pernah bersabda mengenai hal ini didalam hadisnya yang berbunyi:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ
الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Termasuk
baik dan sempurnanya keIslaman seseorang adalah melalaikan setiap sesuatu
(ucapan ataupun tindakan) yang tidak bermanfaat baginya.” (H.R. Tirmidzi dan
Ibn Majah)
Semoga kita
termasuk hamba Allah yang selalu diberi Taufik, Hidayah, dan Ma’unah-Nya,
sehingga kita masuk dalam golongan hamba yang bertakwa dan dikehendaki baik
oleh-Nya sa’adah fi al-dunya wa al-akhirah.
Penulis
Abqoriyyul Afifi
0 komentar:
Posting Komentar