Perbedaan Istighfar
Dan Taubat
Adakah perbedaan antara istighfar dan taubat? Apakah saat
seroang beristighfar serta merta bisa dikatakan bertaubat?
Dua istilah yang tampak sama ini, ternyata pada
hakikatnya terdapat perbedaan. Berikut perbedaannya :
Pertama : Taubat ada batas waktunya, sementara istighfar
tidak ada batas waktunya.
Oleh karenanya sampai orang yang sudah meninggal masih
bisa dimohonkan ampunan. Adapun taubat tak diterima ketika nyawa seorang sampai
pada kerongkongan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.
“Sesungguhnya
Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”
(HR. Tirmidzi, dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma).
Oleh
karenanya seorang yang telah meninggal dunia tidak ditaubatkan, namun mungkin
baginya untuk dimohonkan ampunan atau didoakan istighfar. Sebagaimana firman
Allah ‘azza wa jalla,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hashr :10).
Kedua :
Taubat hanya bisa dilakukan oleh pelaku dosa itu sendiri, adapaun istighfar
bisa dilakukan oleh pelaku dosa dan juga orang lain untuknya.
Oleh
karenanya seorang anak bisa mendoakan isighfar untuk ayahnya, atau seorang
sahabat kepada sahabatnya yang lain, namun tidak bisa dikatakan seorang anak
men-taubatkan bapaknya atau seorang rekan men-taubatkan kawannya.
Ketiga :
Taubat memiliki syarat harus berhenti dari dosa yang ditaubati. Adapun
istighfar tidak disyaratkan demikian.
Oleh
karenanya ada suatu masalah penting yang dikaji oleh para ulama berkaitan hal
ini, yakni apakah istighfar bermanfaat tanpa taubat?
Maksudanya
apabila seorang beristighfar sementara ia masih terus melakukan maksiat, apakah
istighfar itu bermanfat? Misalnya seorang merokok dan ia mengakui bahwa rokok
itu haram, kemudian beristighfar, namun tidak berhenti dari merokok, apajah
istighfarnya tersebut dapat menghapus dosa merokok yang ia lakkan? Mengingat
salahsatu syarat taubat adalah berlepas diri dari dosa yang ditaubati.
Para ulama
berselisih pendapat dalam hal ini :
Pendapat
pertama: istighfar tidak bermanfaat tanpa taubat. Karena istighfar adalah jalan
menuju taubat. Sehingga apabila maksud tidak tercapai maka istighfar yang
dilakukan menjadi sia-sia. Maka menurut ulama yang memegang pendapat ini,
istighfar yang dilakukan oleh perokok pada kasus di atas tidak bermanfaat.
Pendapat
kedua: istighfar bermanfaat meski pelaku belum bertaubat. Karena dalam
hadis-hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dibedakan antara istighfar dan
taubat. Seperti hadis berikut,
وَاللَّهِ إِنِّي
لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ
مَرَّةً
“Demi
Allah, sungguh diriku beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70
kali” (Muttafaqun’alaih).
Dalam
riwayat Muslim disebutkan, “… 100 kali“.
Pada hadis
di atas istighfar dan taubat disebutkan secara terpisah. Menunjukkan bahwa
istighfar dapat bermanfaat dengan sendirinya, meski tidak diiringi taubat.
Maka,
menurut para ulama yang memegang pendapat ini, istighfar yang dilakukan oleh
perokok pada kasus di atas bermanfaat. Boleh jadi Allah mengijabahi permohonan
ampunnya meskipun ia belum bertaubat.
Namun ada
kesimpulan yang sangat baik dari guru kami; Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili -hafidzohullah-
ketika mengkompromikan dua pendapat di atas. Beliau menjelaskan bahwa istighfar
ada dua keadaan :
Pertama :
Istighfar / permohonan ampun untuk pelaku dosa yang dilakukan oleh orang lain.
Seperti
istighfarnya Malaikat untuk orang yang duduk di tempat sholat selama wudhunya
tidak batal, para Malaikat mendoakannya,
اللهم اغفرله اللهم ارحمه
“Ya Allah
ampunilah dan rahmatilah dia..” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah
–radhiyallahu’anhu-).
Atau
istighfar anak untuk orang tuanya,
رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما
كما ربياني صغيرا
“Ya Tuhanku
ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka
telah menyayangiku di waktu kecil“.
Nabi juga
pernah memerintahkan para sahabat beliau ketika raja Najasi meninggal dunia,
untuk mendoakan ampunan untuknya,
استغفروا لأخيكم
“Doakanlah
istighfar untuk saudara kalian..” (HR. Bukhori dan Muslim).
Beliau juga
bersabda sesuai menguburkan salah seorang sahabat beliau,
استغفروا لأخيكم واسلوا له
التثبيت فإنه الآن يسأل
“Doakan
istighfar untuk saudara kalian. Dan mohonkan untuknya ketetapan hati, karena
dia sekarang sedang ditanya” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Hakim).
Maka Nabi
shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan istighfar untuk mayit bukan taubat
untuk mayit. Mengingat perbuatan ini diperintahkan oleh syariat, menunjukkan
bahwa istighfar untuk mayit dapat bermanfaat. Karena Allah tidaklah
memerintahkan sesuatu kecuali perbuatan yang bermanfaat. Ini adalah kaidah yang
sangat penting dalam agama kita.
Kedua :
Istighfar pelaku dosa untuk darinya sendiri.
Yang tepat,
istighfar seperti ini dapat bermanfat untuk pelakunya mesti ia belum bertaubat,
namun, dengan syarat, istighfar tersebut muncul karena rasa takutnya kepada
Allah ‘azza wa jalla yang sebenarnya dan jujur. Maka orang seperti ini berada
pada dua situasi : antara takut kepada Allah dan kalah oleh hawa nafsu. Saat
rasa takut muncul ia beristighfar dan saat ia dikalahkan oleh syahwatnya ia
terjerumus dalam dosa, dan ia memyadari bahwa yang dilakukan adalah dosa.
Istighfar untuk orang seperti ini kita katakana bermanfaat untuknya.
Adapun
istighfar yang hanya di lisan, bukan karena takut kepada Allah, maka ini
istighfar yang dusta. Seorang mengatakan astaghfirullah, akantetapi dalam
hatinya tidak ada rasa bersalah, takut kepada Allah dan kesadaran bahwa yang
dilakukan adalah dosa. Maka istighfar seperti ini tidak bermanfaat sama sekali.
Oleh
karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– ketika menjawab
permohonan Abul Qosim al Maghribi –rahimahullah-, untuk menuliskan wasiat untuknya
yang kemudian tulisan tersebut dikenal dengan Al Wasiyyah As Sughro,
menyatakan,
فإن الله قد يغفر له إجابة عن
دعائه، وإن لم يتب، فإذا اجتمعت الاستغفار و التوبة فهو الكمال
“Allah bisa
jadi mengampuninya sebagai pengabulan atas doanya, meski ia belum bertaubat.
Namun bila berkumpul antara istighfar dan taubat maka itulah yang sempurna” (Al
Wasiyyah As Sughro, hal. 31. Tahqiq Sobri bin Salamah Sāhin).
Bila
seorang dapat mengumpulkan istighfar dan taubat, maka itulah yang sempurna dan
diharapkan. Sebagaimana Allah mengumpulkan kedua hal ini dalam firmanNya,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ
مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
(beristighfar), siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?!
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (bertaubat), sedang mereka
mengetahui” (QS. Ali Imron : 135).
Seperti
yang dilakukan Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam, “Demi Allah, sungguh
diriku beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali”
(Muttafaqun’alaih).
Wallahua’lam
bis showab…
***
Penulis : Ahmad Anshori, Lc
Artikel Muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar