Mencari Pekerjaan
yang Halal
Seorang muslim dituntut untuk mencari pekerjaan yang
halal, bukan pekerjaan yang asal-asalan, bukan pekerjaan yang mudah mengalirkan
uang. Yang terpenting berkahnya dan kehalalannya.
Perbaguslah Cara Mencari Rezeki
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ
تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا
اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat
manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam
mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia
benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya.
Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari
rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang
haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Dalam
hadits tersebut terdapat dua maslahat yang diperintahkan untuk dicari yaitu
maslahat dunia dan maslahat akhirat. Maslahat dunia dengan pekerjaan yang
halal, maslahat akhirat dengan takwa.
Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan alasan kenapa dua hal itu digabungkan. Beliau
berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara maslahat
dunia dan akhirat dalam hadits “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah
jalan yang baik dalam mencari rezeki.” Nikmat dan kelezatan akhirat bisa diraih
dengan ketakwaan pada Allah. Ketenangan hati dan badan serta tidak rakus dan
serakah pada dunia, dan tidak ada rasa capek dalam mengejar dunia, itu bisa
diraih jika seseorang memperbagus dalam mencari rezeki.
Oleh
karenanya, siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan mendapatkan kelezatan
dan kenikmatan akhirat. Siapa yang menempuh jalan yang baik dalam mencari
rezeki (ijmal fii tholab), maka akan lepas dari rasa penat dalam mengejar
dunia. Hanyalah Allah yang memberikan pertolongan.” (Lihat Al Fawaid, hal. 96).
Berarti
jika kita mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat serta tidak ada rasa letih
dalam mencari nafkah, maka cukupkanlah diri pada pekerjaan yang halal.
Jatah
Rezeki Tetap Ada
Dari Ibnu
Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ
فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ،
فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ
اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ
يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
”Sesungguhnya
ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak
akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya.
Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki.
Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara
bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh
kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan
Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah As
Shahihah no. 2866)
Hadits di
atas ini sebagai penjelas bahwa yang dimaksud memperbagus dalam mencari rezeki
adalah bekerja dengan mencari yang halal.
Bila Pintu
Rezeki Ditutup
Dalam hal
rezeki yang mesti dipahami ada dua yang begitu penting yaitu:
·
Jatah
rezeki tetap terus ada selama nyawa kita masih ada.
·
Jika
salah satu pintu rezeki tertutup, maka akan terbuka pintu rezeki yang lain.
Perhatikan
perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah berikut untuk menerangkan hal di atas.
Beliau berkata,
“Fokuskanlah
pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan
menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal
adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti
datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan
rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih
bermanfaat bagimu.
Renungkanlah
keadaan janin, makanan datang kepadanya, berupa darah dari satu jalan, yaitu
pusar.
Lalu ketika
dia keluar dari perut ibunya dan terputus jalan rezeki itu, Allah membuka
untuknya DUA JALAN REZEKI yang lain (yakni dua puting susu ibunya), dan Allah
mengalirkan untuknya di dua jalan itu; rezeki yang lebih baik dan lebih lezat
dari rezeki yang pertama, itulah rezeki susu murni yang lezat.
Lalu ketika
masa menyusui habis, dan terputus dua jalan rezeki itu dengan sapihan, Allah
membuka EMPAT JALAN REZEKI lain yang lebih sempurna dari yang sebelumnya; yaitu
dua makanan dan dua minuman. Dua makanan yaitu dari hewan dan tumbuhan. Dan dua
minuman yaitu dari air dan susu serta segala manfaat dan kelezatan yang
ditambahkan kepadanya.
Lalu ketika
dia meninggal, terputuslah empat jalan rezeki ini, Namun Allah Ta’ala membuka
baginya -jika dia hamba yang beruntung- DELAPAN JALAN REZEKI. Itulah
pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk surga dari mana saja
dia kehendaki.
Dan
begitulah Allah Ta’ala, Dia tidak menghalangi hamba-Nya untuk mendapatkan
sesuatu, kecuali Dia berikan sesuatu yang lebih afdhol dan lebih bermanfaat
baginya. Dan itu tidak diberikan kepada selain orang mukmin, karenanya Dia
menghalanginya dari bagian yang rendahan dan murah, dan Dia tidak rela hal
tersebut untuknya, untuk memberinya bagian yang mulia dan berharga.” (Al
Fawaid, hal. 94)
Akibat
Pekerjaan yang Haram
Mengapa
harus cari yang haram yang ujungnya hanya kesia-siaan, membuat amalan tidak
diterima?
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ
أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan
menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal). Dan sesungguhnya Allah
telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya
kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang
baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang
beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang
laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai
dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya
dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram,
maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
Kenapa kami
sampai menyebut di awal bahwa gara-gara pekerjaan yang haram, amalan jadi tidak
diterima?
Ibnu Rajab
menyatakan, “Berdasarkan hadits di atas, ada isyarat bahwa amalan seseorang
tidaklah diterima kecuali jika mengonsumsi yang halal. Memang benar bahwa makan
yang haram hanyalah merusak amalan dan membuat amalan tidak diterima. Karena
setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah tidaklah
menerima kecuali dari yang thoyyib (halal), lalu dilanjutkan dengan ayat,
( يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ)
“Wahai para
Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mu’minun: 51).
(يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami
rezekikan kepadamu” (QS. Al Baqarah: 172).
Berdasarkan
ayat di atas, para rasul dan umatnya diperintahkan untuk makan makanan yang
halal dan diperintahkan pula untuk beramal shalih. Selama seseorang mengonsumsi
yang halal, maka amal shalih bisa diterima. Jika yang dikonsumsi tidaklah
halal, bagaimana mungkin amalannya bisa diterima? (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:
260).
Akibat
buruk lainnya dari pekerjaan yang haram disebutkan dalam perkataan Abu Bakr Ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ
السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Siapa yang
dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.”
(HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih
kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)
Ingatlah pula
kata ‘Umar,
بالورع عما حرَّم الله يقبلُ
الله الدعاء والتسبيحَ
“Dengan
sikap wara’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan
do’a dan memperkanankan tasbih (dzikir).” (Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal
Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275).
Penutup
Semoga
Allah mencukupkan diri kita dengan yang halal dan dijauhkan dari yang haram.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى
بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Allahumak-finii
bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak” [Ya Allah
cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan
cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu] (HR. Tirmidzi
no. 3563, hasan menurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al Albani)
—
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar