Selasa, 12 April 2022

Rajanya Doa

Rajanya Doa

 

Dalam doa, kita hanya memohon, meminta, tanpa mempedulikan memuji Allah. Padahal teks “rajanya doa” hanya berisi pujian kepada Allah Ta’ala.

Tanggal 9 Dzulhijjah 10 H jadi momen paling bersejarah di Padang Arafah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai manusia yang paling dicintai Allah, bersama ratusan ribu sahabatnya, menunaikan rukun Islam yang kelima. Inilah haji pertama sekaligus terakhir yang beliau tunaikan setelah diangkat menjadi rasul. Benar-benar peristiwa langka dan momen luar biasa. Apalagi jika mengingat bahwa wukuf di Arafah adalah inti ritual haji. “Haji adalah Arafah,” tegas beliau.[1]

Gersangnya Padang Arafah dan teriknya matahari tidak mengurungkan tekad para sahabat untuk memerhatikan dengan seksama setiap gerakan dan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau sendiri berulang kali mengingatkan sedari awal agar mereka meneladani praktek manasiknya sebaik mungkin, sebab beliau mungkin takkan berjumpa lagi dengan mereka setelah itu.

Masih tertanam kuat dalam ingatan para sahabat, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan fenomena wukuf yang demikian agung dalam sabdanya, “Pada hari Arafah, Allah turun ke langit dunia dan membanggakan mereka yang wukuf di hadapan para malaikat. Allah berkata, ‘Lihatlah hamba-hamba-Ku itu! Mereka datang dari segala penjuru dengan rambut kusut dan tubuh berdebu … saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Para malaikat menyela, ‘Akan tetapi di sana ada si fulan dan si fulan?’ namun kata Allah: ‘Aku telah mengampuni mereka.’ Tidak ada satu hari pun yang saat itu Allah demikian banyak membebaskan manusia dari neraka, melebihi hari Arafah, lanjut Nabi.”[2]

Jangan Anda bayangkan kondisi mereka seperti jemaah haji kita. Tidak. Jemaah haji kita hanya menempuh 10 jam untuk tiba di Tanah Suci. Sedangkan para sahabat harus menempuhnya 10 hari. Jemaah kita naik pesawat full-AC, sedangkan para sahabat hanya mengendarai unta diterpa hawa panas gurun Sahara. Makanya, dipastikan setelah 10 hari lebih dalam keadaan ihram, rambut mereka kusut dan berdebu.

Mereka juga tidak tinggal dalam kemah yang sejuk dengan makanan yang melimpah. Mayoritas sahabat , termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,  justru melalui hari yang demikian terik tadi tanpa naungan apa pun.

Singkatnya, pada hari itu terkumpul pada mereka sejumlah faktor penting penyebab terkabulnya doa. Mulai kondisi yang memprihatinkan, waktu dan tempat mulia, hingga dekatnya Allah kepada mereka.

Karenanya, para sahabat takkan melupakan petuah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan, “Sebaik-baik doa, adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan oleh para nabi sebelumku, adalah:

 

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ

 

“Tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Milik-Nya semua kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”[3]

Kita pantas bertanya saat mendengar hadits yang agung ini… manakah ungkapan yang menunjukkan doa dalam hadis ini? Bukankah kalimat ini isinya “sekadar” pujian kepada Allah dan pengakuan atas keesaan-Nya?

Benar. Bunyi doa tersebut memang tidak bernada meminta, namun dialah rajanya doa. Tidak ada pujian yang lebih dicintai Allah melebihi pengakuan atas uluhiyyah-Nya. Tiada sesuatu yang lebih agung di mata Allah dari pada tauhid. Simak pula bagaimana doa Nabi Yunus tatkala mendekam dalam perut ikan…

 

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِين

 

“Tiada ilah selain Engkau (Allah)… Mahasuci Engkau, dan aku benar-benar termasuk hamba yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)

Adakah beliau meminta sesuatu dalam ucapan tadi? Tidak. Namun simaklah bagaimana ayat selanjutnya, yang artinya, “Maka Kami ijabahi doanya, dan kami selamatkan dia dari kesedihannya, dan demikian pula kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.”

Nabi Yunus ‘Alaihissalaam memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Allah dengan pujian yang paling dicintai-Nya. Oleh karenanya, begitu mendengar pujian ini dari dalam perut ikan, di kedalaman lautan, dan di tengah kegelapan malam; Allah langsung mengijabahinya seketika, dan mengeluarkannya dari perut ikan. Beliau terbebas dari tiga lapis kegelapan.

Inilah makna yang tersirat dalam anjuran Rasulullah untuk memperbanyak bacaan tadi di hari Arafah. Imam Sufyan bin Uyainah, guru besar Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pernah ditanya tentang doa hari Arafah tadi. “Ini adalah pujian, bukan doa,” kata si penanya. Beliau menjawab dengan menyitir sebait syair yang diucapkan Umayyah bin Abi Shalt saat minta santunan kepada Abdullah bin Jud’an yang terkenal dermawan.

Perlukah kusebut hajatku, ataukah rasa malu

 cukup bagimu, karena engkau memang pemalu?

Bila seseorang menyanjungmu di suatu hari

                        cukuplah itu baginya, daripada harus meminta

Begitu mendengar syair itu, Ibnu Jud’an langsung menyantuninya. Sufyan bin Uyainah berkomentar, “Jikalau manusia saja cukup dipuji agar dia memberi, lantas bagaimana dengan Sang Pencipta yang tiada tara?”[4] (PM)

Pull-Quote:

1.    “Sebaik-baik doa, adalah doa di hari Arafah.”

2.    Nabi Yunus ‘Alaihissalaam memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Allah dengan pujian yang paling dicintai-Nya.”

3.    Sufyan bin Uyainah berkomentar, “Jikalau manusia saja cukup dipuji agar dia memberi, lantas bagaimana dengan Sang Pencipta yang tiada tara?”

KETERANGAN:

[1]       Penggalan dari sebuah hadis shahih riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

[2] HR. Ibnu Khuzaimah (No 2840) dan Ibnu Hibban (No 3853). Hadis ini dihasankan oleh Ibnu Mandah dalam kitab At Tauhid (No 984).

[3]        HR. Tirmidzi (No 1536) dan dihasankan oleh Al Albani.

[4]        Diriwayatkan oleh Ad-Dainuri dalam Al-Mujalasah (No. 49)

 

 

Ditulis oleh: Ustadz DR. Sufyan Baswedan

https://pengusahamuslim.com

 

0 komentar:

Posting Komentar