Rajanya Doa
Dalam doa, kita hanya memohon, meminta, tanpa
mempedulikan memuji Allah. Padahal teks “rajanya doa” hanya berisi pujian
kepada Allah Ta’ala.
Tanggal 9 Dzulhijjah 10 H jadi momen paling bersejarah di
Padang Arafah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai manusia yang
paling dicintai Allah, bersama ratusan ribu sahabatnya, menunaikan rukun Islam
yang kelima. Inilah haji pertama sekaligus terakhir yang beliau tunaikan
setelah diangkat menjadi rasul. Benar-benar peristiwa langka dan momen luar
biasa. Apalagi jika mengingat bahwa wukuf di Arafah adalah inti ritual haji.
“Haji adalah Arafah,” tegas beliau.[1]
Gersangnya Padang Arafah dan teriknya matahari tidak
mengurungkan tekad para sahabat untuk memerhatikan dengan seksama setiap gerakan
dan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau sendiri
berulang kali mengingatkan sedari awal agar mereka meneladani praktek
manasiknya sebaik mungkin, sebab beliau mungkin takkan berjumpa lagi dengan
mereka setelah itu.
Masih tertanam kuat dalam ingatan para sahabat, bahwa
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan fenomena wukuf yang
demikian agung dalam sabdanya, “Pada hari Arafah, Allah turun ke langit dunia
dan membanggakan mereka yang wukuf di hadapan para malaikat. Allah berkata,
‘Lihatlah hamba-hamba-Ku itu! Mereka datang dari segala penjuru dengan rambut
kusut dan tubuh berdebu … saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah mengampuni
mereka.’ Para malaikat menyela, ‘Akan tetapi di sana ada si fulan dan si
fulan?’ namun kata Allah: ‘Aku telah mengampuni mereka.’ Tidak ada satu hari
pun yang saat itu Allah demikian banyak membebaskan manusia dari neraka,
melebihi hari Arafah, lanjut Nabi.”[2]
Jangan Anda bayangkan kondisi mereka seperti jemaah haji
kita. Tidak. Jemaah haji kita hanya menempuh 10 jam untuk tiba di Tanah Suci.
Sedangkan para sahabat harus menempuhnya 10 hari. Jemaah kita naik pesawat
full-AC, sedangkan para sahabat hanya mengendarai unta diterpa hawa panas gurun
Sahara. Makanya, dipastikan setelah 10 hari lebih dalam keadaan ihram, rambut
mereka kusut dan berdebu.
Mereka juga tidak tinggal dalam kemah yang sejuk dengan
makanan yang melimpah. Mayoritas sahabat , termasuk Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam, justru melalui hari
yang demikian terik tadi tanpa naungan apa pun.
Singkatnya, pada hari itu terkumpul pada mereka sejumlah
faktor penting penyebab terkabulnya doa. Mulai kondisi yang memprihatinkan,
waktu dan tempat mulia, hingga dekatnya Allah kepada mereka.
Karenanya, para sahabat takkan melupakan petuah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan, “Sebaik-baik doa,
adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan
oleh para nabi sebelumku, adalah:
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَهُ الحَمْدُ
وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
“Tiada ilah
melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Milik-Nya semua kerajaan, dan
bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”[3]
Kita pantas
bertanya saat mendengar hadits yang agung ini… manakah ungkapan yang
menunjukkan doa dalam hadis ini? Bukankah kalimat ini isinya “sekadar” pujian
kepada Allah dan pengakuan atas keesaan-Nya?
Benar.
Bunyi doa tersebut memang tidak bernada meminta, namun dialah rajanya doa.
Tidak ada pujian yang lebih dicintai Allah melebihi pengakuan atas
uluhiyyah-Nya. Tiada sesuatu yang lebih agung di mata Allah dari pada tauhid.
Simak pula bagaimana doa Nabi Yunus tatkala mendekam dalam perut ikan…
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِين
“Tiada ilah
selain Engkau (Allah)… Mahasuci Engkau, dan aku benar-benar termasuk hamba yang
zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Adakah
beliau meminta sesuatu dalam ucapan tadi? Tidak. Namun simaklah bagaimana ayat
selanjutnya, yang artinya, “Maka Kami ijabahi doanya, dan kami selamatkan dia
dari kesedihannya, dan demikian pula kami menyelamatkan orang-orang yang
beriman.”
Nabi Yunus
‘Alaihissalaam memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Allah dengan
pujian yang paling dicintai-Nya. Oleh karenanya, begitu mendengar pujian ini
dari dalam perut ikan, di kedalaman lautan, dan di tengah kegelapan malam;
Allah langsung mengijabahinya seketika, dan mengeluarkannya dari perut ikan.
Beliau terbebas dari tiga lapis kegelapan.
Inilah
makna yang tersirat dalam anjuran Rasulullah untuk memperbanyak bacaan tadi di
hari Arafah. Imam Sufyan bin Uyainah, guru besar Imam Syafi’i dan Imam Ahmad,
pernah ditanya tentang doa hari Arafah tadi. “Ini adalah pujian, bukan doa,”
kata si penanya. Beliau menjawab dengan menyitir sebait syair yang diucapkan
Umayyah bin Abi Shalt saat minta santunan kepada Abdullah bin Jud’an yang
terkenal dermawan.
Perlukah
kusebut hajatku, ataukah rasa malu
cukup bagimu, karena engkau memang pemalu?
Bila
seseorang menyanjungmu di suatu hari
cukuplah itu baginya,
daripada harus meminta
Begitu
mendengar syair itu, Ibnu Jud’an langsung menyantuninya. Sufyan bin Uyainah
berkomentar, “Jikalau manusia saja cukup dipuji agar dia memberi, lantas
bagaimana dengan Sang Pencipta yang tiada tara?”[4] (PM)
Pull-Quote:
1.
“Sebaik-baik
doa, adalah doa di hari Arafah.”
2.
Nabi
Yunus ‘Alaihissalaam memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Allah
dengan pujian yang paling dicintai-Nya.”
3.
Sufyan
bin Uyainah berkomentar, “Jikalau manusia saja cukup dipuji agar dia memberi,
lantas bagaimana dengan Sang Pencipta yang tiada tara?”
KETERANGAN:
[1] Penggalan
dari sebuah hadis shahih riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
[2] HR. Ibnu Khuzaimah (No 2840) dan Ibnu Hibban (No
3853). Hadis ini dihasankan oleh Ibnu Mandah dalam kitab At Tauhid (No 984).
[3] HR.
Tirmidzi (No 1536) dan dihasankan oleh Al Albani.
[4]
Diriwayatkan oleh Ad-Dainuri dalam Al-Mujalasah (No. 49)
Ditulis oleh: Ustadz DR. Sufyan Baswedan
0 komentar:
Posting Komentar