Memahami Makna
“Kedekatan” dan “Kebersamaan” Allah
Di antara pembahasan yang sangat penting dalam masalah
aqidah dan iman kepada Allah adalah
pembahasan tentang makna kedekatan dan kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya. Memahami pembahasan ini
dengan benar dan sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus sunnah, di samping
akan mengokohkan iman dan keyakinan seorang hamba, juga akan memudahkannya, dengan
taufik Allah , untuk meraih kedudukan dan kemuliaan yang agung di sisi-Nya,
sebagai buah manis dari keimanan yang benar terhadap dua sifat Allah yang maha tinggi ini.
Allah maha dekat
dan Dia memiliki sifat ‘dekat’ dengan
hamba-Nya dengan kedekatan yang sesuai dengan kemahatinggian dan
kemahaagungan-Nya. Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku maha dekat. Aku akan mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al-Baqarah: 186).
"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka
Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
sembahan (yang benar) bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku maha dekat lagi maha memperkenankan
(doa hamba-Nya)” (QS Huud: 61).
Allah maha dekat
dengan kedekatan yang khusus bagi hamba-hamba-Nya yang taat beribadah,
mencintai, selalu berdoa dan mengikuti petunjuk-Nya. Inilah sifat maha dekat
yang sesuai dengan kemahatinggian dan kemahaagungan-Nya, hakikatnya tidak bisa
dijangkau pikiran manusia, karena terbatasnya ilmu mereka, akan tetapi pengaruh
positifnya dapat kita rasakan, berupa limpahan kebaikan, rahmat, perhatian dan
taufik-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk pengaruh positif sifat maha agung
ini adalah pengabulan doa bagi hamba-hamba-Nya yang memohon dan ganjaran pahala
bagi hamba-hamba-Nya yang taat beribadah.
Demikian pula halnya dalam memahami sifat ‘kebersamaan’
Allah dengan mahluk-Nya. Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan kebersamaan
yang sesuai dengan kemahatinggian dan kemahaagungan-Nya. Dan ini tidak berarti
bahwa Dia ada di semua tempat di bumi
ini, karena Allah maha tinggi di atas
semua mahluk-Nya dan dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy-Nya.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa;
Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadiid: 4).
Arti ‘kebersamaan’ Allah
dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai dengan
kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan
pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya,
kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang merupakan makna Rububiyah-Nya.
Inilah makna yang dijelaskan oleh para Imam Ahli tafsir
dari kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan ayat ini:
- Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari berkata:
“(Artinya): Dialah yang maha menyaksikan kalian semua wahai manusia, di manapun
kalian berada maka Dia maha mengetahui keadaan, perbuatan, kesibukan dan
diammu, sedangkan Dia (maha tinggi) di atas ‘Arsy-Nya di atas langit ke tujuh”.
- Imam Ibnu Katsir berkata: “Artinya: Dia maha mengawasi
kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di manapun kalian
berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam rumah
atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara
menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua)
ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang
kalian tampakkan dan rahasiakan”.
- Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di berkata:
“Kebersamaan Allah (dalam ayat ini maknanya) kebersamaan (dengan) pengetahuan
dan pengawasan-Nya (terhadap semua makhluk-Nya)”.
Penafsiran dan makna yang dijelaskan oleh para ulama ini
sama sekali tidak bertentangan dengan kaidah agung dari para ulama Salaf,
seperti Imam al-Auza’i, Malik bin Anas dan Sufyan ats-Tsauri, dalam memahami
nama-nama dan sifat Allah , yaitu mengartikannya sesuai dengan makna zhahir
(tekstual)nya dalam bahasa Arab, tanpa menyelewengkan maknanya dan tanpa
menyerupakannya dengan makhluk.
Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa makna
‘kedekatan’ dan ‘kebersamaan’ Allah
tidaklah seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh dan sesat,
bahwa Allah DZAT-NYA ada di semua tempat
di bumi ini, maha suci Allah dari
sifat-sifat buruk yang mereka katakan. Karena Allah Dialah yang mengabarkan tentang diri-Nya
dalam banyak ayat al-Qur’an bahwa Dia
maha tinggi di atas semua makhluk-Nya dan Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas
‘Arsy-Nya.
Tidak ada pertentangan antara sifat ‘kedekatan’ dan
‘kebersamaan’ Allah dengan sifat ‘maha
tinggi’-Nya, karena Dia tidak serupa
dengan makhluk-Nya dalam semua sifat kesempurnaan-Nya. Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
(QS asy-Syuura: 11).
Maka Allah maha
tinggi dalam ‘kedekatan’-Nya dan maha dekat dalam ‘ketinggian’-Nya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sungguh termasuk
dalam hal yang telah kami sebutkan tentang iman kepada Allah, (yaitu) mengimani
berita yang Allah sampaikan dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam hadits-hadits yang mutawatir (sangat
banyak jalur periwayatannya), serta disepakati oleh para ulama Salaf (Ahlus
sunnah wal jama’ah), bahwa Allah maha
tinggi, di atas ‘Arsy-Nya (dan) terpisah dari makhluk-Nya. Dan Dia bersama makhluk-Nya di manapun mereka berada,
Dia maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Bukanlah makna firman-Nya “Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada” bahwa Dia bercampur
dengan makhluk-Nya, karena makna yang demikian tidak mesti (bukan makna
satu-satunya) dalam bahasa ‘Arab, dan ini bertentangan dengan kesepakatan para
ulama Salaf serta tidak sesuai dengan fitrah yang Allah tetapkan pada
makhluk-Nya.
Bahkan Bulan yang merupakan salah satu tanda-tanda
(kekuasaan dan kebesaran) Allah dan termasuk makhluk-Nya yang kecil, tempatnya
di langit tapi dia bersama musafir dan selainnya (dengan cahayanya) di mana
saja dia berada.
Allah maha tinggi
di atas ‘Arsy-Nya, maha mengawasi, maha menyaksikan dan meliputi semua
makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, serta makna-makna Rububiyah-Nya yang lain”
Sabda Rasulullah
kepada para Shahabat y ketika mereka mengangkat suara dalam bertakbir:
“Rendahkanlah (suara kalian) pada dirimu sendiri, karena
sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada (Dzat) yang tuli dan jauh, (tetapi)
sesungguhnya kalian menyeru kepada (Dzat) yang maha mendengar lagi maha dekat,
dan Dia bersama kalian”.
Sabda Rasulullah :
“Sedekat-dekatnya seorang hamba dari Rabb-nya (Allah )
adalah ketika hamba itu sedang sujud, maka perbanyaklah doa (ketika sujud dalam
shalat)”.
Sabda Rasulullah :
“Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal
maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, dan barangsiapa yang mendekatkan
diri kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Jika
hamba-Ku menghadapkan diri kepada-Ku dengan berjalan maka akan menghadap
kepadanya dengan harwalah (berjalan cepat)”.
Adapun ayat-ayat al-Qur-an yang digunakan sebagai dalil
untuk menunjukkan adanya ‘kedekatan’ Allah
yang bersifat umum, seperti firman-Nya:
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
(QS Qaaf: 16).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tapi kamu
tidak melihat” (QS al-Waqi’ah: 85).
Maka yang dimaksud dengan ‘kedekatan’ dalam dua ayat ini
adalah ‘kedekatan’ para Malaikat Allah
dengan manusia, bukan ‘kedekatan’ Allah
dengan semua manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus
sunnah.
Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi
wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang
lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam),
dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan
(yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku
telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam
pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan
tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku
maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku
maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya”.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan
orang yang menjadi wali Allah (kekasih
Allah ), yaitu orang yang selalu menetapi ketaatan dan ketakwaan kepada
Allah dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah menganugerahkan kepadanya kebersamaan-Nya
yang khusus yang mengandung arti pertolongan-Nya, taufik-Nya, penjagaan-Nya,
dan perlindungan-Nya pada pendengaran, penglihatan, ucapan lisan, langkah kaki
dan perbuatan semua anggota badannya lahir dan batin. Sehingga mereka selalu
berada di atas keridhaan-Nya dan terhindar dari segala keburukan.
http://tauhidmurni99.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar