Rabu, 06 April 2022

Memahami Makna “Kedekatan” dan “Kebersamaan” Allah

Memahami Makna “Kedekatan” dan “Kebersamaan” Allah

 

Di antara pembahasan yang sangat penting dalam masalah aqidah dan iman kepada Allah  adalah pembahasan tentang makna kedekatan dan kebersamaan Allah  dengan makhluk-Nya. Memahami pembahasan ini dengan benar dan sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus sunnah, di samping akan mengokohkan iman dan keyakinan seorang hamba, juga akan memudahkannya, dengan taufik Allah , untuk meraih kedudukan dan kemuliaan yang agung di sisi-Nya, sebagai buah manis dari keimanan yang benar terhadap dua sifat Allah  yang maha tinggi ini.

Allah  maha dekat dan Dia  memiliki sifat ‘dekat’ dengan hamba-Nya dengan kedekatan yang sesuai dengan kemahatinggian dan kemahaagungan-Nya. Allah  berfirman:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku maha dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al-Baqarah: 186).

"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sembahan (yang benar) bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku maha dekat lagi maha memperkenankan (doa hamba-Nya)” (QS Huud: 61).

Allah  maha dekat dengan kedekatan yang khusus bagi hamba-hamba-Nya yang taat beribadah, mencintai, selalu berdoa dan mengikuti petunjuk-Nya. Inilah sifat maha dekat yang sesuai dengan kemahatinggian dan kemahaagungan-Nya, hakikatnya tidak bisa dijangkau pikiran manusia, karena terbatasnya ilmu mereka, akan tetapi pengaruh positifnya dapat kita rasakan, berupa limpahan kebaikan, rahmat, perhatian dan taufik-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk pengaruh positif sifat maha agung ini adalah pengabulan doa bagi hamba-hamba-Nya yang memohon dan ganjaran pahala bagi hamba-hamba-Nya yang taat beribadah.

Demikian pula halnya dalam memahami sifat ‘kebersamaan’ Allah  dengan mahluk-Nya. Allah  bersama hamba-hamba-Nya dengan kebersamaan yang sesuai dengan kemahatinggian dan kemahaagungan-Nya. Dan ini tidak berarti bahwa Dia  ada di semua tempat di bumi ini, karena Allah  maha tinggi di atas semua mahluk-Nya dan dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy-Nya.

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadiid: 4).

Arti ‘kebersamaan’ Allah  dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah  meliputi semua makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah  lainnya yang merupakan makna Rububiyah-Nya.

Inilah makna yang dijelaskan oleh para Imam Ahli tafsir dari kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan ayat ini:

- Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari berkata: “(Artinya): Dialah yang maha menyaksikan kalian semua wahai manusia, di manapun kalian berada maka Dia maha mengetahui keadaan, perbuatan, kesibukan dan diammu, sedangkan Dia (maha tinggi) di atas ‘Arsy-Nya di atas langit ke tujuh”.

- Imam Ibnu Katsir berkata: “Artinya: Dia maha mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua) ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan”.

- Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “Kebersamaan Allah (dalam ayat ini maknanya) kebersamaan (dengan) pengetahuan dan pengawasan-Nya (terhadap semua makhluk-Nya)”.

Penafsiran dan makna yang dijelaskan oleh para ulama ini sama sekali tidak bertentangan dengan kaidah agung dari para ulama Salaf, seperti Imam al-Auza’i, Malik bin Anas dan Sufyan ats-Tsauri, dalam memahami nama-nama dan sifat Allah , yaitu mengartikannya sesuai dengan makna zhahir (tekstual)nya dalam bahasa Arab, tanpa menyelewengkan maknanya dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk.

Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa makna ‘kedekatan’ dan ‘kebersamaan’ Allah  tidaklah seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh dan sesat, bahwa Allah  DZAT-NYA ada di semua tempat di bumi ini, maha suci Allah  dari sifat-sifat buruk yang mereka katakan. Karena Allah  Dialah yang mengabarkan tentang diri-Nya dalam banyak ayat al-Qur’an bahwa Dia  maha tinggi di atas semua makhluk-Nya dan Dia  beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy-Nya.

Tidak ada pertentangan antara sifat ‘kedekatan’ dan ‘kebersamaan’ Allah  dengan sifat ‘maha tinggi’-Nya, karena Dia  tidak serupa dengan makhluk-Nya dalam semua sifat kesempurnaan-Nya. Allah  berfirman:

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

(QS asy-Syuura: 11).

Maka Allah  maha tinggi dalam ‘kedekatan’-Nya dan maha dekat dalam ‘ketinggian’-Nya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sungguh termasuk dalam hal yang telah kami sebutkan tentang iman kepada Allah, (yaitu) mengimani berita yang Allah sampaikan dalam al-Qur’an dan Rasulullah  dalam hadits-hadits yang mutawatir (sangat banyak jalur periwayatannya), serta disepakati oleh para ulama Salaf (Ahlus sunnah wal jama’ah), bahwa Allah  maha tinggi, di atas ‘Arsy-Nya (dan) terpisah dari makhluk-Nya. Dan Dia  bersama makhluk-Nya di manapun mereka berada, Dia maha mengetahui apa yang mereka perbuat.

Bukanlah makna firman-Nya “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” bahwa Dia  bercampur dengan makhluk-Nya, karena makna yang demikian tidak mesti (bukan makna satu-satunya) dalam bahasa ‘Arab, dan ini bertentangan dengan kesepakatan para ulama Salaf serta tidak sesuai dengan fitrah yang Allah tetapkan pada makhluk-Nya.

Bahkan Bulan yang merupakan salah satu tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Allah dan termasuk makhluk-Nya yang kecil, tempatnya di langit tapi dia bersama musafir dan selainnya (dengan cahayanya) di mana saja dia berada.

Allah  maha tinggi di atas ‘Arsy-Nya, maha mengawasi, maha menyaksikan dan meliputi semua makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, serta makna-makna Rububiyah-Nya yang lain”

Sabda Rasulullah  kepada para Shahabat y ketika mereka mengangkat suara dalam bertakbir:

“Rendahkanlah (suara kalian) pada dirimu sendiri, karena sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada (Dzat) yang tuli dan jauh, (tetapi) sesungguhnya kalian menyeru kepada (Dzat) yang maha mendengar lagi maha dekat, dan Dia bersama kalian”.

Sabda Rasulullah :

“Sedekat-dekatnya seorang hamba dari Rabb-nya (Allah ) adalah ketika hamba itu sedang sujud, maka perbanyaklah doa (ketika sujud dalam shalat)”.

Sabda Rasulullah :

“Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, dan barangsiapa yang mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Jika hamba-Ku menghadapkan diri kepada-Ku dengan berjalan maka akan menghadap kepadanya dengan harwalah (berjalan cepat)”.

Adapun ayat-ayat al-Qur-an yang digunakan sebagai dalil untuk menunjukkan adanya ‘kedekatan’ Allah  yang bersifat umum, seperti firman-Nya:

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS Qaaf: 16).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tapi kamu tidak melihat” (QS al-Waqi’ah: 85).

Maka yang dimaksud dengan ‘kedekatan’ dalam dua ayat ini adalah ‘kedekatan’ para Malaikat Allah  dengan manusia, bukan ‘kedekatan’ Allah  dengan semua manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah.

Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah  bersabda:

“Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah  (kekasih Allah ), yaitu orang yang selalu menetapi ketaatan dan ketakwaan kepada Allah  dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah  menganugerahkan kepadanya kebersamaan-Nya yang khusus yang mengandung arti pertolongan-Nya, taufik-Nya, penjagaan-Nya, dan perlindungan-Nya pada pendengaran, penglihatan, ucapan lisan, langkah kaki dan perbuatan semua anggota badannya lahir dan batin. Sehingga mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan terhindar dari segala keburukan.

http://tauhidmurni99.blogspot.com

 

 

0 komentar:

Posting Komentar